(Dimuat di Koran Republika, tanggal 22 Oktober 2022)
Pandemi Covid-19 memberikan pelajaran berharga bagi keberlangsungan UMKM di Indonesia. Pandemi Covid-19 dan resesi yang terjadi pada tahun 2021 berdampak besar pada penurunan pendapatan dan penutupan UMKM. Di tengah bangkitnya perekonomian Indonesia saat ini, dunia kembali dibayangi oleh tantangan resesi global pada tahun 2023.
Satu yang sudah mulai dirasakan adalah peningkatan inflasi dalam negeri yang dipicu oleh kenaikan harga bahan bakar minyak. Inflasi (year on year) yang mencapai 5,95 persen pada September 2022 merupakan lampu kuning akan potensi penurunan daya beli penduduk. Penurunan daya beli ini berisiko menurunkan permintaan barang dan jasa tidak terkecuali pada UMKM Akankah UMKM mampu bertahan setelah belajar dari pandemic Covid-19 pada tahun sebelumnya?
Meski diyakini bahwa resesi global tahun depan tidak banyak berpengaruh terhadap perekonomian dalam negeri, namun antisipasi lebih dini diperlukan agar kolapsnya UMKM pada tahun 2021 tidak terulang Kembali.
Perhatian besar pada UMKM diperlukan karena jumlahnya mencapai 99 persen dari seluruh usaha di Indonesia dan menyerap 97 persen tenaga kerja di Indonesia. Hal ini berarti bahwa keberlangsungan UMKM terkait erat dengan kesejahetraan sebagian besar penduduk di Indonesia. Selain itu, UMKM menjadi penampung bagi angkatan kerja yang terus meningkat setiap tahun. Meningkatkan resiliensi UMKM sangat diperlukan karena kewirausahaan telah mendapatkan momentum sebagai kendaraan utama untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (Lakuma et al., 2019).
Kendala terbesar yang dihadapi oleh UMKM adalah pemasaran dan kendala modal. Upaya yang dilakukan pada masa pandemi adalah dengan mengubah metode pemasaran dengan menggunakan teknologi digital dan internet. Hal ini terbukti bahwa usaha yang menggunakan pemasaran daring selama pandemic Covid-19 memiliki pendapatan 1,14 kali lipat dibandingkan dengan usaha yang tidak melakukan penjualan daring. Akan tetapi, transformasi digital ini tidak mudah diterapkan oleh pelaku UMKM. Hal inilah yang menjadikan jumlah UMKM yang tutup maupun yang mengalami penurunan pendapatan jumlahnya lebih besar jika dibandingkan dengan usaha skala besar. Terbatasnya modal dan penguasaan teknologi yang rendah menjadi salah satu alasan UMKM tidak dapat bersaing dengan usaha dalam skala besar.
Digitalisasi pada UMKM ini menjadi sebuah kebutuhan yang mendesak. Apabila penggunaan teknologi digital pada UMKM tidak ditingkatkan maka akan semakin memperlebar ketimpangan digital antara usaha besar dan UMKM. Jika ini dibiarkan yang akan terjadi selanjutnya adalah pasar akan semakin dikuasai oleh perusahaan besar atau multinasional, sehingga UMKM akan semakin tersisihkan karena tidak memperoleh ceruk pasar. Digitalisasi terutama dalam pemasaran memungkinkan UMKM mampu bersaing dalam menjangkau lebih banyak pelanggan dibandingkan dengan cara-cara konvensional dimana hanya yang memiliki jaringan saja yang dapat menjangkau penjualan lebih luas.
Pada kenyataannya penggunaan internet paling banyak digunakan untuk tujuan komunikasi, hiburan, dan sosial media. Penggunaan internet untuk tujuan pembelian maupun penjualan persentasenya masih sangat rendah. Kesiapan infrastruktur digital yang ada belum dimanfaatkan sepenuhnya untuk bekerja/berusaha. Hal inilah yang perlu dioptimalkan. Sedangkan digitalisasi, selain mendorong perkembangan UMKM juga menjadikan UMKM lebih berdaya tahan dalam menghadapi dinamika persaingan usaha yang kian dinamis. Pada masa pandemi Covid-19 penggunaan teknologi digital dan internet mampu mencegah wirausaha atau UMKM mengalami penurunan kelas. Terlebih penjualan melalui media sosial dan marketplace secara empiris terbukti mampu meningkatkan pendapatan UMKM sekaligus meningkatkan peluang UMKM untuk naik kelas.
Pada kenyataannya masih banyak UMKM yang belum memanfaatkan potensi digital. Pada industri mikro kecil, usaha yang sudah menggunakan internet dalam berusaha hanya 16,39 persen. Pelaku UMKM yang didominasi penduduk berpendidikan rendah dan kurang pengetahuan menjadikan adopsi teknologi digital pada UMKM semakin sulit dilakukan. Pada kondisi demikian maka pelatihan dan pendampingan sangat diperlukan. Pendampingan berkelanjutan memungkinkan pelaku UMKM dapat memanfaatkan teknologi digital dalam melakukan usaha. Kolaborasi dengan perguruan tinggi melalui kegiatan pengabdian kepada masyarakat (PKM) Tematik maupun Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) bisa menjadi salah satu alternatif dalam pendampingan digitalisasi UMKM secara berkelanjutan. Perguruan tinggi yang tersebar di seluruh negeri dan mahasiswa yang melek teknologi merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan dalam upaya transformasi UMKM di Indonesia.
Tantangan lain yang dihadapi oleh UMKM di Indonesia adalah akses terhadap modal. Agar mampu tumbuh dan berkembang, diperlukan modal bagi UMKM agar dapat memperluas usaha. Sebagai contoh pada industry mikro kecil, hanya 5,73 persen usaha yang memperoleh akses kredit dari perbankan. Alasan yang paling banyak diungkapkan oleh pelaku usaha ini adalah tidak ada minat, suku bunga yang tinggi, dan ketiadaan agunan. Tidak dapat dipungkiri, beberapa syarat administrasi yang diperlukan untuk memperoleh kredit perbankan ini yang menyurutkan niat pelaku UMKM yang Sebagian besar berpendidikan rendah. Pada kenyataannya hanya sedikit UMKM yang melakukan pembukuan keuangan maupun terdaftar dalam perijinan usaha. Dua hal tersebut merupakan beberapa syarat bagi UMKM untuk dapat mengakses pembiayaan atau kredit UMKM. Lagi-lagi diperlukan pelatihan sekaligus pendampingan bagi UMKM.
Inklusi keuangan dan transformasi digital oleh UMKM merupakan dua Langkah yang dapat dilakukan agar UMKM lebih resilien atau berdaya tahan dalam menghadapi resesi maupun persaingan usaha. Keberlangsungan UMKM terkait erat dengan kesejahteraan penduduk dan menjadi penyedia lapangan pekerjaan yang besar bagi angkatan kerja Indonesia yang terus meningkat setiap tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar