(Dimuat di Kolom Opini Republika, 25 November 2022)
Perekonomian Indonesia mampu tumbuh mengesankan di tengah ancaman resesi global saat ini dengan pertumbuhan sebesar 5,72 persen pada triwulan III 2022. Akan tetapi, di tengah angin segar pertumbuhan ekonomi tersebut, justru pemutusan hubungan kerja (PHK) saat ini tengah terjadi pada ribuan karyawan. PHK yang terjadi di tengah pemulihan ekonomi ini tentu menimbulkan kecemasan bagi angkatan kerja yang meningkat lebih dari tiga juta orang pertahun. Hal ini kemudian menimbulkan sebuah pertanyaan, apakah pertumbuhan ekonomi yang terjadi saat ini hanya semu dan kurang berkualitas?
Dalam
publikasi Bank Dunia, pertumbuhan berkualitas didefinisikan sebagai pertumbuhan
ekonomi yang mampu mengurangi kemiskinan ekstrem, mempersempit ketimpangan
struktural, melindungi lingkungan, dan menopang proses pertumbuhan itu sendiri
(Thomas et al. 2000). Harus diakui bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi
pascapandemi ini telah mampu mengurangi jumlah penduduk miskin dan juga
pengangguran. Akan tetapi, untuk ketimpangan yang diukur dengan indeks gini
rasio justru mengalami peningkatan pada kondisi Maret 2022. Yang menjadi catatan
selanjutnya adalah apakah pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak mampu
dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat sehingga memperlebar kesenjangan
antar penduduk di Indonesia?
Untuk
mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkualitas diperlukan pertumbuhan ekonomi
yang inklusif dan berkelanjutan, kesempatan kerja penuh dan produktif serta
pekerjaan yang layak untuk semua; kesetaraan gender; dan adopsi kebijakan
fiskal, upah, dan perlindungan sosial yang bertujuan untuk mencapai kesetaraan
yang lebih besar secara progresif.
Apabila
dicermati lebih dalam, pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada kuartal III tahun
ini mampu menyerap tenaga kerja hingga 4,25 juta orang dalam setahun terakhir.
Hal ini tentu melegakan karena mampu menurunkan angka pengangguran. Namun
demikian penyerapan ini lebih banyak pada tenaga kerja informal dibandingkan
dengan tenaga kerja formal. Pada Agustus 2022, tenaga kerja informal meningkat
2,33 juta orang sedangkan tenaga kerja formal meningkat lebih sedikit yaitu sebanyak
1,92 juta orang. Kenyataan ini semakin meningkatkan dominasi tenaga kerja informal
di Indonesia yang saat ini mencapai 59,31 persen atau setara 80,24 juta orang. Perlu
juga diingat bahwa sebagian besar penduduk miskin di Indonesia bekerja pada sektor
informal.
Menurut
ILO, informalitas adalah salah satu alasan utama tingginya tingkat ketimpangan
di negara berkembang. Oleh karena itu, mengurangi informalitas seringkali
menjadi prasyarat untuk menurunkan ketimpangan. Di seluruh dunia, sekita 2
miliar pekerja atau setara dengan 61,2 persen dari penduduk dunia berada dalam
pekerjaan informal. Pada hasil penelitian yang lain diungkapkan bahwa untuk
meningkatkan kesejahteraan diperlukan transisi atau mobilitas dari status tenaga
kerja informal menjadi tenaga kerja formal.
Dalam
perspektif modernisasi, tingginya informalitas dikarenakan ketidakmampuan sistem
perekonomian dalam menciptakan lapangan pekerjaan formal. Oleh karena itu
pertumbuhan ekonomi yang berkualitas adalah yang mampu menciptakan lapangan
pekerjaan formal bagi angkatan kerja. Penciptaan lapangan kerja formal ini akan
mempersempit ketimpangan upah antar pekerja dan pada akhirnya akan mengurangi
ketimpangan kesejahteraan secara umum.
Terkait
dengan upah, sayangnya kebijakan upah minimum hanya mencakup tenaga kerja
formal dan tidak mencakup tenaga kerja informal seperti pekerja bebas.
Berdasarkan penelitian empirispun kebijakan upah minimum ini hanya berdampak
positif pada penduduk kelompok menengah yaitu antara 50 persen hingga 80 persen
kelompok pendapatan. Upah minimum tidak memberikan pengaruh signifikan pada
kelompok penduduk 40 persen terbawah.
Oleh karena itu agar pertumbuhan ekonomi mampu
dirasakan oleh kelompok 40 persen terbawah perlu untuk mendorong peningkatan
pendapatan pada kelompok ini. Pada tenaga kerja
informal paling banyak berstatus sebagai wirausaha mandiri dengan jumlah
mencapai 29,82 juta orang (22,04 persen) dan berusaha dibantu buruh tidak tetap
sebanyak 19,79 juta orang atau setara 14,62 persen.
Ketika
sistem perekonomian tidak mampu menciptakan lapangan pekerjaan formal, maka
yang perlu dilakukan adalah memberikan intervensi untuk mendorong transisi
tenaga kerja informal menjadi formal dan transisi wirausaha informal menjadi
formal. Mendorong transisi tenaga kerja/wirausaha informal menjadi formal ini dapat
dilakukan dengan meningkatkan penggunaan teknologi digital dalam
bekerja/berusaha dan meningkatkan penyaluran kredit atau modal usaha terutama
untuk usaha mikro kecil yang digeluti oleh sebagian besar penduduk di
Indonesia. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi yang terjadi semakin berkualitas
dan mampu dinikmati oleh seluruh lapisan penduduk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar