Halaman

Jumat, 25 November 2022

#138 Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas

 

(Dimuat di Kolom Opini Republika, 25 November 2022)

Perekonomian Indonesia mampu tumbuh mengesankan di tengah ancaman resesi global saat ini dengan pertumbuhan sebesar 5,72 persen pada triwulan III 2022. Akan tetapi, di tengah angin segar pertumbuhan ekonomi tersebut, justru pemutusan hubungan kerja (PHK) saat ini tengah terjadi pada ribuan karyawan. PHK yang terjadi di tengah pemulihan ekonomi ini tentu menimbulkan kecemasan bagi angkatan kerja yang meningkat lebih dari tiga juta orang pertahun. Hal ini kemudian menimbulkan sebuah pertanyaan, apakah pertumbuhan ekonomi yang terjadi saat ini hanya semu dan kurang berkualitas?

Dalam publikasi Bank Dunia, pertumbuhan berkualitas didefinisikan sebagai pertumbuhan ekonomi yang mampu mengurangi kemiskinan ekstrem, mempersempit ketimpangan struktural, melindungi lingkungan, dan menopang proses pertumbuhan itu sendiri (Thomas et al. 2000). Harus diakui bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi pascapandemi ini telah mampu mengurangi jumlah penduduk miskin dan juga pengangguran. Akan tetapi, untuk ketimpangan yang diukur dengan indeks gini rasio justru mengalami peningkatan pada kondisi Maret 2022. Yang menjadi catatan selanjutnya adalah apakah pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak mampu dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat sehingga memperlebar kesenjangan antar penduduk di Indonesia?

Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkualitas diperlukan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, kesempatan kerja penuh dan produktif serta pekerjaan yang layak untuk semua; kesetaraan gender; dan adopsi kebijakan fiskal, upah, dan perlindungan sosial yang bertujuan untuk mencapai kesetaraan yang lebih besar secara progresif.

Apabila dicermati lebih dalam, pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada kuartal III tahun ini mampu menyerap tenaga kerja hingga 4,25 juta orang dalam setahun terakhir. Hal ini tentu melegakan karena mampu menurunkan angka pengangguran. Namun demikian penyerapan ini lebih banyak pada tenaga kerja informal dibandingkan dengan tenaga kerja formal. Pada Agustus 2022, tenaga kerja informal meningkat 2,33 juta orang sedangkan tenaga kerja formal meningkat lebih sedikit yaitu sebanyak 1,92 juta orang. Kenyataan ini semakin meningkatkan dominasi tenaga kerja informal di Indonesia yang saat ini mencapai 59,31 persen atau setara 80,24 juta orang. Perlu juga diingat bahwa sebagian besar penduduk miskin di Indonesia bekerja pada sektor informal.

 Bahkan pada provinsi besar seperti Jawa Timur, perekonomiannya mampu tumbuh sebesar 5,58 persen akan tetapi dalam setahun terakhir justru terjadi penurunan jumlah tenaga kerja formal. Pada Agustus 2022, terjadi penurunan tenaga kerja fomal di Jawa Timur sebanyak 50,26 ribu orang dan peningkatan tenaga kerja infomal sebanyak 625,80 ribu orang. Kehilangan pekerjaan formal mendorong angkatan kerja untuk beralih pada pekerjaan informal karena informalitas menurut Kays (2011) merupakan jaring pengaman bagi pengangguran yang menyediakan sarana untuk mengentaskan kemiskinan dan melindungi individu dari pengangguran yang panjang. Artinya orang akan memilih untuk bekerja informal sekalipun dengan pendapatan rendah dibanding menjadi pengangguran. Gelombang PHK yang saat ini tengah terjadi berpotensi untuk meningkatkan jumlah tenaga kerja informal di Indonesia.

Menurut ILO, informalitas adalah salah satu alasan utama tingginya tingkat ketimpangan di negara berkembang. Oleh karena itu, mengurangi informalitas seringkali menjadi prasyarat untuk menurunkan ketimpangan. Di seluruh dunia, sekita 2 miliar pekerja atau setara dengan 61,2 persen dari penduduk dunia berada dalam pekerjaan informal. Pada hasil penelitian yang lain diungkapkan bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan diperlukan transisi atau mobilitas dari status tenaga kerja informal menjadi tenaga kerja formal.

Dalam perspektif modernisasi, tingginya informalitas dikarenakan ketidakmampuan sistem perekonomian dalam menciptakan lapangan pekerjaan formal. Oleh karena itu pertumbuhan ekonomi yang berkualitas adalah yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan formal bagi angkatan kerja. Penciptaan lapangan kerja formal ini akan mempersempit ketimpangan upah antar pekerja dan pada akhirnya akan mengurangi ketimpangan kesejahteraan secara umum.

Terkait dengan upah, sayangnya kebijakan upah minimum hanya mencakup tenaga kerja formal dan tidak mencakup tenaga kerja informal seperti pekerja bebas. Berdasarkan penelitian empirispun kebijakan upah minimum ini hanya berdampak positif pada penduduk kelompok menengah yaitu antara 50 persen hingga 80 persen kelompok pendapatan. Upah minimum tidak memberikan pengaruh signifikan pada kelompok penduduk 40 persen terbawah.

Oleh karena itu agar pertumbuhan ekonomi mampu dirasakan oleh kelompok 40 persen terbawah perlu untuk mendorong peningkatan pendapatan pada kelompok ini. Pada tenaga kerja informal paling banyak berstatus sebagai wirausaha mandiri dengan jumlah mencapai 29,82 juta orang (22,04 persen) dan berusaha dibantu buruh tidak tetap sebanyak 19,79 juta orang atau setara 14,62 persen.

Ketika sistem perekonomian tidak mampu menciptakan lapangan pekerjaan formal, maka yang perlu dilakukan adalah memberikan intervensi untuk mendorong transisi tenaga kerja informal menjadi formal dan transisi wirausaha informal menjadi formal. Mendorong transisi tenaga kerja/wirausaha informal menjadi formal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan penggunaan teknologi digital dalam bekerja/berusaha dan meningkatkan penyaluran kredit atau modal usaha terutama untuk usaha mikro kecil yang digeluti oleh sebagian besar penduduk di Indonesia. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi yang terjadi semakin berkualitas dan mampu dinikmati oleh seluruh lapisan penduduk. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

#139 Kemiskinan Dalam Tekanan Inflasi

Tren penurunan jumlah penduduk miskin pasca pandemi sedikit terganggu dengan lonjakan inflasi yang terjadi pada akhir tahun 2022. Hal ini di...