Halaman

Minggu, 28 Agustus 2022

#136 Fenomena Pengangguran Usia Muda

 



(Dimuat di Koran Republika, tanggal 11 Agustus 2022)

Fenomena Citayam fashion week yang sempat viral beberapa waktu lalu menyisakan fakta yang menarik terkait dengan penduduk usia muda yang masuk dalam kategori Gen Z (usia 9-24 tahun). Kegiatan tersebut merupakan luapan ekspresi dan kreativitas dari anak-anak muda yang sebelumnya biasa nongkrong di daerah Dukuh Atas tersebut. Tidak sedikit dari peserta kegiatan tersebut yang merupakan remaja putus sekolah. 

Bahkan yang menarik perhatian saat ada salah seorang peserta kegiatan tersebut yang menolak beasiswa demi bisa bekerja membantu orang tuanya. Bisa jadi ini merupakan fenomena yang jamak, meninggalkan sekolah karena ketiadaan biaya. Kemiskinan berpengaruh terhadap partisipasi sekolah anak pada keluarga miskin. Semakin rendah tingkat ekonomi penduduk, semakin rendah angka partisipasi sekolah untuk semua jenjang pendidikan. Pada kelompok pengeluaran 20 persen terbawah terdapat 10,91 persen anak jenjang SMP/Sederajat yang tidak bersekolah. Adapun untuk jenjang SMA/ sederajat persentase anak yang tidak bersekolah lebih tinggi lagi yaitu mencapai 31,39 persen. Kenyataan ini menunjukkan bahwa ada banyak anak usia sekolah yang belum memperoleh pendidikan.

Tidak dapat dipungkiri, dalam mengikuti pendidikan terdapat dua jenis biaya yang harus dikorbankan yaitu out of pockets expense dan forgone earning. Out of pockets merupakan biaya langsung yang dikeluarkan untuk membiayai seluruh proses pendidikannya termasuk peralatan sekolah dan biaya transpostasi dan lain-lain. Sedangkan forgone earning merupakan hilangnya pendapatan yang dapat diperoleh seseorang apabila ia tidak bersekolah dan masuk ke pasar tenaga kerja. Hilangnya pendapatan inilah yang kemungkinan menjadi alasan utama bagi sebagian anak muda ketika mereka enggan kembali ke bangku sekolah. 

Meski pemerintah menawarkan beasiswa atau sekolah gratis sekalipun, hal tersebut tidak juga menggerakkan mereka untuk kembali ke bangku sekolah untuk menyelesaikan pendidikannya. Bagi anak muda jaman sekarang, sesuatu yang viral bisa jadi mendatangkan uang secara cepat. Namun hal tersebut tidak selalu berlaku dalam jangka panjang. Keberlanjutan atas kreativitas yang tidak mengganggu kepentingan umum menjadi hal penting yang harus dipikirkan. Dan ini tentu membutuhkan ilmu serta pengetahuan. 

Padahal dalam jangka panjang, individu yang melakukan investasi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi akan memperoleh tingkat pengembalian yang lebih tinggi pula. Secara empiris, semakin tinggi tingkat pendidikan akan memperolah pendapatan yang semakin tinggi pula. Secara rata-rata upahpun, lulusan pendidikan yang lebih tinggi akan memperoleh upah yang lebih tinggi. Tentu akan berbeda, jika yang dibahas adalah kasus per kasus. Pendidikan memiliki peran penting dalam mendorong transisi tenaga kerja informal menjadi formal, meningkatkan produktivitas tenaga kerja, dan berpengaruh positif dalam meningkatkan kesejahteraan. Pendidikan juga merupakan salah satu alat untuk memutus mata rantai kemiskinan. Tidak hanya pengetahuan yang bertambah,namun juga pola pikir juga akan berubah dalam kaitanya dengan rencana-rencana jangka panjang.

Dalam hal ketenagakerjaan, penduduk usia muda tanpa kegiatan (Youth not in education, employment, dan training/NEET) di Indonesia pada tahun 2021 sebesar 22,40 persen. Artinya dari 100 orang penduduk usia muda (15-24 tahun) terdapat 22-23 orang yang tidak bekerja, tidak bersekolah, dan tidak sedang mengikjuti pelatihan. Anak-anak muda ini yang kemungkinan memenuhi tempat nongkrong kekinian tanpa kegiatan apapun. Tingginya kawula muda tanpa kegiatan yang masuk kategori NEET ini mengindikasikan berkurangnya pendatang usia muda sebagai tenaga kerja potensial. Menjadi sebuah keharusan untuk mengembalikan anak usia sekolah untuk kembali ke sekolah dan mendorong usia muda lainnya untuk mengikuti pelatihan agar keterampilannya meningkat sebagai bekal memasuki dunia kerja. Angka partisipasi sekolah penduduk usia 13-15 tahun sebesar 95,99 persen sedangkan pada umur 16-18 tahun angka partisipasi sekolahnya sebesar 73,09 persen, artinya masih ada 26,91 persen anak usia 16-18 tahun yang tidak bersekolah. Pada sisi yang lain, beberapa penelitian menunjukkan ketertarikan Generasi Z terhadap metode pembelajaran informal, mandiri, dan kooperatif. Pembelajaran mandiri memungkinkan Gen Z mengatur sendiri kecepatan belajar di luar lingkungan belajar tradisional.

Fakta lain menunjukkan tingkat pengangguran terbuka penduduk usia muda di Indonesia nilainya empat kali lipat lebih tinggi dibanding tingkat pengangguran usia dewasa. Pengangguran usia muda pada Februari 2022 sebesar 17,08 persen yang berarti dari 100 angkatan kerja berusia 15-24 tahun terdapat 17 orang yang menganggur. Tingkat pengangguran terbuka usia muda di wilayah perkotaan lebih tinggi jika dibandingkan dengan wilayah perdesaan. Menurut penelitian Bohdziewicz Gen Z mengharapkan kebebasan dan fleksibilitas di tempat kerja untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarga mereka. Gen Z yang begitu lekat dengan teknologi Informasi memanfaatkan teknologi dalam meningkatkan pengetahuan sehingga memiliki peluang yang lebih besar untuk berwirausaha. 

Karakteristik Gen Z lainnya adalah keinginan mereka untuk merujuk pada orang-orang sukses dan meniru perilaku mereka. Orang sukses ini adalah mentor, panutan, dan referensi bagi kaum muda. Lebih jauh, hal ini semakin menekankan peran institusi pendidikan sebagai mentor untuk memotivasi siswa/mahasiswa untuk lebih banyak menghadirkan praktisi dalam proses pembelajaran. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

#138 Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas

  (Dimuat di Kolom Opini Republika, 25 November 2022) Perekonomian Indonesia mampu tumbuh mengesankan di tengah ancaman resesi global saat i...