(Dimuat di Koran Republika, tanggal 15 Juni 2022)
Di tengah optimisme pemulihan ekonomi pasca pandemi ini, Indonesia dan dunia dihadapkan pada ancaman inflasi yang tinggi. Indonesia telah mencatatkan pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2022 sebesar 5,01 persen. Dalam bidang ketenagakerjaan juga menunjukkan sinyal positif yaitu terdapat penyerapan tenaga kerja baru hingga 4,55 juta orang dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Namun, capaian tersebut sedikit terancam keberlanjutannya karena tekanan inflasi global yang tengah terjadi saat ini. Bahkan IMF harus menaikkan proyeksi inflasi global pada tahun 2022 dan menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global dari 4,4 persen menjadi 3,6 persen. Demikian juga dengan Bank Dunia yang menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global dari 4,1 persen menjadi 2,9 persen.
Pada Mei 2022 Inflasi (yoy) di negara
mitra dagang Indonesia seperti Amerika Serikat sebesar 8,6 persen, Brazil 12,1
persen, India 7,8 persen, Uni Eropa 8,1 persen, dan China 2,1 persen. Bahkan
salah satu negara G20 ada yang mengalami inflasi hingga di atas 70 persen yaitu
Turki. Inflasi global berasal dari lonjakan harga komoditas pangan dan energi
di dunia. Beberapa komoditas seperti minyak mentah mengalami peningkatan 64,28
persen dibanding tahun sebelumnya, gas alam meningkat 350,61 persen, CPO
meningkat 56,09 persen, gandum meningkat 76,29 persen, kedelai meningkat 20,71
persen, dan jagung meningkat 29,80 persen. Di antara komoditas tersebut merupakan
barang yang diimpor oleh Indonesia sehingga akan berdampak pada kenaikan harga
barang dalam negeri.
Inflasi di Indonesia pada Mei 2022 (year
on year) sebesar 3,55 persen dengan inflasi paling tinggi pada komponen
makanan/minuman dan energi. Inflasi tahunan ini merupakan inflasi tertinggi
sejak Desember 2017. Kenaikan harga bahan makanan dalam setahun terakhir
sebesar 5,93 persen dan komponen energi sebesar 4,18 persen. Inflasi Indonesia
yang relatif masih terkendali ini tidak lepas dari upaya pemerintah dalam
mempertahankan harga jual energi agar tidak mengalami kenaikan. Harga jual energi
bersubsidi seperti pertalite dan LPG 3 kg saat ini berada jauh di bawah harga
ekonomi. Untuk menutup selisih harga tersebut pemerintah meningkatkan anggaran subsidi
demi menjaga inflasi tetap stabil di tengah pemulihan ekonomi.
Dalam penelitian empiris terbaru menunjukkan
bahwa terdapat hubungan yang tidak linier antara inflasi dan pertumbuhan
ekonomi. Laju inflasi yang berada di bawah ambang batas 4,64 persen berpengaruh
positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Sementara itu tingkat inflasi di atas
ambang batas 4,64 persen akan berpengaruh negatif (Aziz, 2016). Hal ini berarti
untuk menjaga pertumbuhan ekonomi tetap stabil maka perlu untuk menjaga inflasi
berada di bawah ambang batas.
Tidak mengherankan jika kemudian
pemerintah berusaha sekuat tenaga untuk menjaga inflasi berada dalam batas
moderat dengan meningkatkan anggaran subsisi dan kompensasi terutama untuk
komoditas energi yang saat ini tengah mengalami peningkatan harga secara
global. Langkah pemerintah untuk melakukan automatic adjustment terhadap
anggaran di kementerian/Lembaga ini sebagai antisipasi jika diperlukan tambahan
dana untuk keperluan subsidi maupun perlindungan sosial.
Yang menjadi kekhawatiran selanjutnya
apabila tekanan inflasi global ini tidak kunjung mereda, sedangkan kemampuan
APBN sebagai shock absorbder memiliki keterbatasan. Menjadi sebuah
dilemma manakala pemerintah hendak menyesuaikan harga jual BBM dan LPG
bersubsidi sesuai dengan harga ekonomi. Kenaikan harga bahan bakar minyak dan
gas akan berdampak pada harga komoditas lainnya karena bahan bakar minyak dan gas
ini menjadi salah satu komponen biaya produksi. Tarif transportasi yang
meningkat akan memicu kenaikan harga barang, demikian juga tarif listrik dan
harga gas yang meningkat akan memicu kenaikan biaya produksi. Efek berganda
inilah yang kemudian akan memicu kenaikan harga barang secara umum. Sebagai
contoh, penyesuaian harga BBM bersubsidi pada tahun 2013 dan 2014 memicu
inflasi nasional 2013 hingga 8,38 persen dan inflasi tahun 2014 sebesar 8,36
persen. Hasilnya pada dua tahun tersebut pertumbuhan ekonomi mengalami
perlambatan, bahkan pada Maret 2015 jumlah penduduk miskin mengalami kenaikan
sebanyak 860 ribu orang yang salah satunya disebabkan oleh inflasi yang cukup
tinggi dalam enam bulan sebelumnya.
Di tengah pendapatan penduduk yang belum
sepenuhnya pulih saat ini, kenaikan harga barang akan berdampak pada daya beli
penduduk. Risikonya penduduk miskin dan hampir miskin akan semakin meningkat.
Bantuan sosial yang diberikan oleh pemerintah tidak cukup mampu mengkompensasi
kenaikan harga barang dan jasa secara umum. Pada kenyataannya pengeluaran untuk
bensin dan listrik menduduki pengeluaran terbesar kedua dan ketiga untuk
komoditas non makanan setelah pengeluaran perumahan (perkiraan sewa rumah
sendiri). Rata-rata pengeluaran perkapita perbulan untuk bensin sebesar 51.312
rupiah dan untuk listrik sebesar 37.032 rupiah. Sedangkan pengeluaran untuk LPG
sebesar 12.679 ribu rupiah perkapita perbulan.
Secara makro, menurunnya daya beli
penduduk ini akan berdampak pertumbuhan ekonomi mengingat 53,65 persen PDB
Indonesia ditopang oleh konsumsi rumah tangga. Adapun menurut sisi produksi,
menurunnya daya beli akan berdampak pada penurunan permintaan barang dan jasa
yang pada akhirnya akan berdampak pada produksi. Produksi yang menurun akan
berakibat pada menurunnya penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Padahal di
tengah pemulihan ekonomi saat ini sangat diperlukan percepatan pertumbuhan
ekonomi untuk menyerap 8,4 juta orang penganggur di Indonesia dan untuk mendorong
transisi 78,14 juta tenaga kerja informal menjadi tenaga kerja formal. Menjaga
inflasi agar tetap terkendali menjadi sebuah keharusan untuk mempertahankan
daya beli penduduk sekaligus mendorong pemulihan ekonomi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar