Halaman

Kamis, 16 Juni 2022

#135 Inflasi dalam Pertumbuhan Ekonomi




 

(Dimuat di Koran Republika, tanggal 15 Juni 2022)

Di tengah optimisme pemulihan ekonomi pasca pandemi ini, Indonesia dan dunia dihadapkan pada ancaman inflasi yang tinggi. Indonesia telah mencatatkan pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2022 sebesar 5,01 persen. Dalam bidang ketenagakerjaan juga menunjukkan sinyal positif yaitu terdapat penyerapan tenaga kerja baru hingga 4,55 juta orang dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Namun, capaian tersebut sedikit terancam keberlanjutannya karena tekanan inflasi global yang tengah terjadi saat ini. Bahkan IMF harus menaikkan proyeksi inflasi global pada tahun 2022 dan menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global dari 4,4 persen menjadi 3,6 persen. Demikian juga dengan Bank Dunia yang menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global dari 4,1 persen menjadi 2,9 persen.

Pada Mei 2022 Inflasi (yoy) di negara mitra dagang Indonesia seperti Amerika Serikat sebesar 8,6 persen, Brazil 12,1 persen, India 7,8 persen, Uni Eropa 8,1 persen, dan China 2,1 persen. Bahkan salah satu negara G20 ada yang mengalami inflasi hingga di atas 70 persen yaitu Turki. Inflasi global berasal dari lonjakan harga komoditas pangan dan energi di dunia. Beberapa komoditas seperti minyak mentah mengalami peningkatan 64,28 persen dibanding tahun sebelumnya, gas alam meningkat 350,61 persen, CPO meningkat 56,09 persen, gandum meningkat 76,29 persen, kedelai meningkat 20,71 persen, dan jagung meningkat 29,80 persen. Di antara komoditas tersebut merupakan barang yang diimpor oleh Indonesia sehingga akan berdampak pada kenaikan harga barang dalam negeri.

Inflasi di Indonesia pada Mei 2022 (year on year) sebesar 3,55 persen dengan inflasi paling tinggi pada komponen makanan/minuman dan energi. Inflasi tahunan ini merupakan inflasi tertinggi sejak Desember 2017. Kenaikan harga bahan makanan dalam setahun terakhir sebesar 5,93 persen dan komponen energi sebesar 4,18 persen. Inflasi Indonesia yang relatif masih terkendali ini tidak lepas dari upaya pemerintah dalam mempertahankan harga jual energi agar tidak mengalami kenaikan. Harga jual energi bersubsidi seperti pertalite dan LPG 3 kg saat ini berada jauh di bawah harga ekonomi. Untuk menutup selisih harga tersebut pemerintah meningkatkan anggaran subsidi demi menjaga inflasi tetap stabil di tengah pemulihan ekonomi.

Dalam penelitian empiris terbaru menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang tidak linier antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Laju inflasi yang berada di bawah ambang batas 4,64 persen berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Sementara itu tingkat inflasi di atas ambang batas 4,64 persen akan berpengaruh negatif (Aziz, 2016). Hal ini berarti untuk menjaga pertumbuhan ekonomi tetap stabil maka perlu untuk menjaga inflasi berada di bawah ambang batas.

Tidak mengherankan jika kemudian pemerintah berusaha sekuat tenaga untuk menjaga inflasi berada dalam batas moderat dengan meningkatkan anggaran subsisi dan kompensasi terutama untuk komoditas energi yang saat ini tengah mengalami peningkatan harga secara global. Langkah pemerintah untuk melakukan automatic adjustment terhadap anggaran di kementerian/Lembaga ini sebagai antisipasi jika diperlukan tambahan dana untuk keperluan subsidi maupun perlindungan sosial.

Yang menjadi kekhawatiran selanjutnya apabila tekanan inflasi global ini tidak kunjung mereda, sedangkan kemampuan APBN sebagai shock absorbder memiliki keterbatasan. Menjadi sebuah dilemma manakala pemerintah hendak menyesuaikan harga jual BBM dan LPG bersubsidi sesuai dengan harga ekonomi. Kenaikan harga bahan bakar minyak dan gas akan berdampak pada harga komoditas lainnya karena bahan bakar minyak dan gas ini menjadi salah satu komponen biaya produksi. Tarif transportasi yang meningkat akan memicu kenaikan harga barang, demikian juga tarif listrik dan harga gas yang meningkat akan memicu kenaikan biaya produksi. Efek berganda inilah yang kemudian akan memicu kenaikan harga barang secara umum. Sebagai contoh, penyesuaian harga BBM bersubsidi pada tahun 2013 dan 2014 memicu inflasi nasional 2013 hingga 8,38 persen dan inflasi tahun 2014 sebesar 8,36 persen. Hasilnya pada dua tahun tersebut pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan, bahkan pada Maret 2015 jumlah penduduk miskin mengalami kenaikan sebanyak 860 ribu orang yang salah satunya disebabkan oleh inflasi yang cukup tinggi dalam enam bulan sebelumnya.

Di tengah pendapatan penduduk yang belum sepenuhnya pulih saat ini, kenaikan harga barang akan berdampak pada daya beli penduduk. Risikonya penduduk miskin dan hampir miskin akan semakin meningkat. Bantuan sosial yang diberikan oleh pemerintah tidak cukup mampu mengkompensasi kenaikan harga barang dan jasa secara umum. Pada kenyataannya pengeluaran untuk bensin dan listrik menduduki pengeluaran terbesar kedua dan ketiga untuk komoditas non makanan setelah pengeluaran perumahan (perkiraan sewa rumah sendiri). Rata-rata pengeluaran perkapita perbulan untuk bensin sebesar 51.312 rupiah dan untuk listrik sebesar 37.032 rupiah. Sedangkan pengeluaran untuk LPG sebesar 12.679 ribu rupiah perkapita perbulan.

Secara makro, menurunnya daya beli penduduk ini akan berdampak pertumbuhan ekonomi mengingat 53,65 persen PDB Indonesia ditopang oleh konsumsi rumah tangga. Adapun menurut sisi produksi, menurunnya daya beli akan berdampak pada penurunan permintaan barang dan jasa yang pada akhirnya akan berdampak pada produksi. Produksi yang menurun akan berakibat pada menurunnya penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Padahal di tengah pemulihan ekonomi saat ini sangat diperlukan percepatan pertumbuhan ekonomi untuk menyerap 8,4 juta orang penganggur di Indonesia dan untuk mendorong transisi 78,14 juta tenaga kerja informal menjadi tenaga kerja formal. Menjaga inflasi agar tetap terkendali menjadi sebuah keharusan untuk mempertahankan daya beli penduduk sekaligus mendorong pemulihan ekonomi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

#138 Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas

  (Dimuat di Kolom Opini Republika, 25 November 2022) Perekonomian Indonesia mampu tumbuh mengesankan di tengah ancaman resesi global saat i...