(Dimuat di Detik.com, tanggal 21 April 2022)
Cita-cita Kartini agar perempuan memperoleh hak yang setara dengan laki-laki telah banyak mengalami kemajuan. Bahkan angka pasrtisipasi sekolah pada perempuan sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki pada seluruh kelompok umur. Namun demikian, catatan apik dalam bidang pendidikan tersebut belum diikuti dalam bidang ketenagakerjaan. Masih terdapat ketimpangan pasar kerja dan diperparah dengan perbedaan upah antara laki-laki dan perempuan.
Tingkat partisipasi angkatan kerja
perempuan di Indonesia berkisar pada angka 53,34 persen, jauh di bawah
partisipasi laki-laki yang nilainya pada di atas 82,27 persen. Hal ini tidak
terlepas dari peran domestik perempuan dalam rumah tangga. Perempuan yang
kegiatan utamanya hanya mengurus rumah tangga proporsinya sekitar sepertiga
dari seluruh perempuan usia kerja dan tidak banyak mengalami perubahan dalam
sepuluh tahun terakhir.
Meski partisipasi perempuan tidak
mengalami banyak perubahan dalam sepuluh tahun terakhir, namun tenaga kerja
perempuan telah mengalami dinamika dalam status dan jenis pekerjaan. Telah
terjadi pergeseran status pekerjaan utama pada tenaga kerja perempuan. Pada sepuluh
tahun yang lalu sebagian besar tenaga kerja perempuan berstatus sebagai pekerja
keluarga/tidak dibayar dengan persentase mencapai 33,93 persen. Saat ini
sebagian besar perempuan bekerja sebagai karyawan/pegawai/buruh dengan
persentase mencapai 33,57 persen. Demikian juga dengan proporsi perempuan yang
bekerja sebagai wirausaha mandiri juga mengalami peningkatan dalam sepuluh
tahun terakhir.
Menurut lapangan usaha, telah terjadi pergeseran
dari yang awalnya didominasi oleh tenaga kerja pertanian kemudian berubah menjadi
tenaga kerja penjualan. Tahun 2011 tenaga kerja perempuan yang bekerja sebagai
tenaga kerja pertanian proporsinya sebesar 37,69 persen kemudian menurun
menjadi 25,51 persen pada tahun 2021. Adapun perempuan yang bekerja sebagai
tenaga penjualan mengalami peningkatan dari 23,95 persen pada tahun 2011
menjadi 27,75 persen pada tahun 2021. Kenyataan tersebut mengindikasikan bahwa
tenaga kerja perempuan semakin produktif.
Kemajuan dalam pendidikan dan pekerjaan pada
perempuan belum diikuti oleh kesetaraan pada tingkat upah. Pada tahun 2021, kesenjangan
upah berdasarkan jenis kelamin (gender wage gap) sebesar 20,39. Hal ini
berarti bahwa rata-rata upah yang diterima buruh laki-laki 20,39 persen lebih
tinggi daripada rata-rata upah yang diterima oleh buruh perempuan. Rata-rata
upah buruh laki-laki pada tahun 2021 sebesar 2,96 juta rupiah per bulan
sedangkan rata-rata upah buruh perempuan sebesar 2,35 juta rupiah. Ketimpangan
upah tidak mengenal latar belakang pendidikan. Pada tingkat pendidikan tinggi,
rata-rata buruh perempuan hanya 69,91 persen dari rata-rata upah buruh
laki-laki.
Pandemi Covid-19 semakin menyingkap kerentanan
pada tenaga kerja perempuan. ILO mengungkapkan bahwa pandemi Covid-19
memberikan dampak yang besar terhadap kehilangan pekerjaan pada perempuan. Kenaikan
tingkat pengangguran pada perempuan dan penurunan partisipasi perempuan dalam
pasar tenaga kerja merupakan dampak yang nyata dari pandemi. Menurunnya
partisipasi perempuan dalam pasar tenaga kerja semakin meningkatkan ketimpangan
gender dalam pekerjaan. Dari perspektif ekonomi, mengurangi kesenjangan gender
dalam partisipasi angkatan kerja secara substansi akan meningkatkan PDB global
dan meningkatkan kesejahteraan individu (ILO,
2017). Bahkan, pertumbuhan berkelanjutan dalam pekerjaan
perempuan sejak awal 1990-an berdampak signifikan dalam meningkatkan kinerja
ekonomi (Albanesi, 2019).
Tenaga kerja perempuan tidak semua mampu
bertahan di tengah guncangan ekonomi pada masa pandemi. Hasil penelitian
empiris menunjukkan bahwa keberadaan balita, status perkawinan, status
pekerjaan perempuan, tingkat pendidikan, dan tempat bekerja terbukti
berpengaruh terhadap kehilangan pekerjaan pada perempuan di tengah pandemi
Covid-19.
Perempuan yang berstatus berusaha
sendiri/wirausaha mandiri memiliki peluang yang besar mengalami kehilangan
pekerjaan pada masa pandemi Covid-19 dibandingkan dengan perempuan yang
berstatus sebagai karyawan/pegawai. Hal ini harus menjadi perhatian agar
wirausaha perempuan mampu bertahan di tengah guncangan ekonomi. Modal yang
terbatas umumnya menjadi salah satu kendala bagi wirausaha perempuan.
Berdasarkan survei dampak Covid-19 terhadap pelaku usaha yang dilakukan oleh
BPS, bantuan yang paling diharapkan oleh usaha mikro kecil (UMK) adalah bantuan
modal. UMK pada sektor industri pengolahan, penyediaan makan minum, dan
perdagangan merupakan pelaku usaha yang paling mengharapkan bantuan modal
usaha.
Sebaliknya. faktor yang mencegah perempuan
mengalami kehilangan pekerjaan pada masa pandemi Covid-19 adalah pendidikan
tinggi dan penggunaan teknologi digital dalam pekerjaan. Mendorong seorang
perempuan untuk meningkatkan pendidikannya hingga perguruan tinggi akan
memperkecil peluang mengalami kehilangan pekerjaan pada masa pandemi Covid-19.
Demikian juga mendorong penggunaan teknologi digital pada wirausaha perempuan
akan mencegahnya mengalami gulung tikar selama pandemi. Penggunaan teknologi
digital ini termasuk penggunaan internet untuk tujuan pemasaran dan penjualan.
Pada kenyataannya internet paling banyak digunakan hanya untuk tujuan
komunikasi saja.
Yang menjadi masalah selanjutnya adalah tenaga kerja perempuan masih didominasi oleh lulusan sekolah dasar (SD)
ke bawah yang mencapai 20,95 juta orang atau setara dengan 41,32 persen. Tenaga
kerja dengan tingkat pendidikan tersebut sebagian besar berusia 40 tahun ke
atas. Dengan kondisi demikian tentu amat berat untuk dapat menguasai teknologi
digital agar mampu beradaptasi dalam pekerjaan. Pelatihan dan pendampingan terutama
pada wirausaha perempuan sangat diperlukan agar tenaga kerja perempuan mampu
bertahan di tengah guncangan ekonomi. Menjadi wirausaha memungkinkan perempuan
masih bisa melakukan peran domestiknya tanpa harus keluar dari pasar tenaga
kerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar