Halaman

Minggu, 27 Maret 2022

#132 Antisipasi inflasi

 



 (Dimuat di Koran Republika, tanggal  23 Maret 2022)

Keputusan pemerintah untuk melepas harga minyak goreng kemasan mengikuti harga pasar lonjakan harga pada minyak goreng kemasan. Saat ini, harga keekonomian minyak goreng kemasan di pasaran berkisar Rp 23-25 ribu per liternya, jauh dari harga eceran tertinggi (HET) Rp 14 ribu per liter yang telah dicabut oleh pemerintah. Benar bahwa pemerintah memberikan subsidi pada minyak goreng curah agar harganya sesuai dengan HET Rp 14 ribu per liter. Namun karena pasokan yang belum merata mengakibatkan kelangkaan di beberapa daerah. Kenaikan harga minyak goreng dapat memicu kenaikan harga barang lainnya terutama pada makanan olahan yang menggunakan minyak goreng. Terlebih ketika menjelang bulan suci ramadahn ketika permintaan bahan pangan mengalami kenaikan.

Minyak goreng menjadi salah satu komoditas strategis karena dikonsumsi oleh hampir 90 persen rumah tangga di Indonesia dengan rata-rata konsumsi yang terus meningkat setiap tahun. Konsumsi minyak goreng dalam rumah tangga mengalami peningkatan, dari 10,33 liter/kapita/tahun pada tahun 2015 menjadi 12,25 liter/kapita/tahun pada tahun 2021. Dengan konsumsi sebesar itu, tidak mengherankan jika kemudian banyak ibu-ibu yang rela mengantri berjam-jam demi mendapatkan minyak goreng murah.

Tidak hanya minyak goreng, namun beberapa komoditas strategis lain seperti daging sapi, daging ayam ras, cabai rawit, dan gula pasir juga mengalami peningkatan harga. Kenaikan bahan pangan ini akan mendorong inflasi secara umum karena perannya dalam konsumsi rumah tangga cukup besar. Pada kenyataannya, rata-rata pengeluaran penduduk Indonesia untuk pangan sebesar 49,25 persen. Bahkan pada kelompok ekonomi 40 persen terbawah, pengeluaran untuk pangan mencapai lebih dari 60 persen. Di tengah pemulihan ekonomi dan upah buruh yang hanya sedikit mengalami kenaikan, maka inflasi ini harus diantisipasi karena berpotensi menurunkan daya beli dan kesejahteraan penduduk.

Secara umum, harga bahan pangan terus mengalami kenaikan. Indeks harga konsumen (IHK) (tahun dasar 2018) untuk kelompok makanan, minuman, dan tembakau pada Februari 2022 sebesar 111,68. Artinya bahwa sejak tahun 2018, harga kelompok makanan, minuman, dan tembakau sudah meningkat sebesar 11,68 persen. Demikian juga dengan konsumsi bahan pangan mengalami kenaikan setiap tahun terlebih pada momen ramadhan dan hari raya idul fitri. Berkaca pada tahun-tahun sebelumnya, peningkatan permintaan pada bulan Ramadhan akan mendorong inflasi secara umum.

Harga merupakan interaksi antara permintaan dan penawaran. Penawaran atau ketersediaan produk akan sangat bergantung pada produksi dan distribusi. Produksi yang melimpah namun distribusi yang kurang lancar akan mengakibatkan ketersediaan terganggu yang menimbulkan kelangkaan dan memicu kenaikan harga. Demikian juga dengan produksi yang salah satunya bergantung pada faktor alam seperti cuaca. Jika cuaca merupakan faktor yang sulit untuk dimitigasi, maka faktor distribusi harus bisa diantisipasi untuk memastikan kelancarannya dan menjaga harga tetao stabil.

Mengetahui pola distribusi menjadi suatu kebutuhan untuk mengendalikan kenaikan harga dari produsen hingga konsumen. BPS melakukan survei pola distribusi perdagangan pada beberapa komoditas strategis seperti beras, minyak goreng, cabai merah, jagung, daging ayam ras, daging sapi, gula pasir, bawang merah, dan telur ayam ras. Selain untuk mengetahui pola distribusi utama, survei tersebut juga untuk mengetahui margin perdagangan dan pengangkutan (MPP). Semakin panjang rantai distribusi, semakin besar pula MPP yang timbul sehingga semakin besar pula kenaikan harga barang dari produsen hingga konsumen.

Hasil survei pola distribusi menunjukkan bahwa MPP minyak goreng secara nasional sebesar 17,41 persen pada tahun 2020.  Angka tersebut mengindikasikan bahwa secara umum kenaikan harga minyak goreng dari produsen sampai dengan konsumen akhir sebesar 17,41 persen dengan melibatkan dua pelaku distribusi perdagangan utama yaitu distributor dan pedagang eceran. Kenaikan harga sebesar itu pada kondisi tahun 2020 ketika pasokan cukup dan lancar. Akan berbeda ketika pasokan dan ketersediaannya kurang mencukupi sebagaimana yang terjadi saat ini.

Hasil suvei juga menunjukkan bahwa minyak goreng produksi Indonesia yang berasal dari Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur diekspor ke luar negeri. Demikian juga meski produksi kelapa sawit paling banyak berasal dari Sumatera dan Kalimantan, namun keberadaan pabrik minyak goreng cenderung masih terkonsentrasi di Pulau Jawa.

Contoh komoditas lain yang harganya berfluktuasi adalah komoditas cabai merah. Total MPP cabai merah tahun 2019 sebesar 61,31 persen atau meningkat jika dibandingkan dengan MPP total tahun 2018 yang nilainya sebesar 43,09 persen. Hal ini berarti bahwa kenaikan harga cabai merah dari tingkat petani sampai dengan konsumen akhir di Indonesia sebesar 61,31 persen dengan melibatkan dua pelaku distribusi perdagangan utama yaitu pedagang pengepul dan pedagang eceran.

Pada tahun 2019, margin perdagangan dan pengangkutan pada pedagang pengepul komoditas cabai merah mengalami peningkatan lebih tinggi dibandingkan dengan pedagang eceran. MPP pedagang pengepul awalnya 17,52 persen menjadi 30,93 persen, sedangkan MPP pada pedagang eceran meningkat dari 21,76 persen menjadi 23,20 persen. Untuk cabai merah ini, pola terpanjang dapat terjadi di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah, padahal kedua wilayah tersebut merupakan sentra produksi cabai merah.

Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, maka memperpendek rantai distribusi menjadi sebuah langkah agar kenaikan harga dari produsen hingga konsumen tidak terlalu tinggi dan inflasi tetap terjaga. Sistem lelang terhadap komoditas pertanian akan memotong rantai distribusi dan meningkatkan nilai tawar bagi petani. Untuk produk olahan seperti minyak goreng, menjaga ketersediaan minyak goreng curah menjadi sebuah keharusan agar tidak memicu lonjakan harga minyak goreng kemasan sebagai barang subtitusinya. Demikian juga pengawasan yang ketat terhadap penyalurannya agar tidak disalahgunakan dan dijual kembali dalam bentuk minyak goreng kemasan. Dengan tercukupinya minyak goreng curah, harapannya minyak goreng kemasan akan menemukan titik keseimbangan harga yang terjangkau.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

#138 Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas

  (Dimuat di Kolom Opini Republika, 25 November 2022) Perekonomian Indonesia mampu tumbuh mengesankan di tengah ancaman resesi global saat i...