(Dimuat di Koran Republika, tanggal 23 Maret 2022)
Keputusan pemerintah untuk melepas harga minyak goreng kemasan mengikuti harga pasar lonjakan harga pada minyak goreng kemasan. Saat ini, harga keekonomian minyak goreng kemasan di pasaran berkisar Rp 23-25 ribu per liternya, jauh dari harga eceran tertinggi (HET) Rp 14 ribu per liter yang telah dicabut oleh pemerintah. Benar bahwa pemerintah memberikan subsidi pada minyak goreng curah agar harganya sesuai dengan HET Rp 14 ribu per liter. Namun karena pasokan yang belum merata mengakibatkan kelangkaan di beberapa daerah. Kenaikan harga minyak goreng dapat memicu kenaikan harga barang lainnya terutama pada makanan olahan yang menggunakan minyak goreng. Terlebih ketika menjelang bulan suci ramadahn ketika permintaan bahan pangan mengalami kenaikan.
Minyak
goreng menjadi salah satu komoditas strategis karena dikonsumsi oleh hampir 90
persen rumah tangga di Indonesia dengan rata-rata konsumsi yang terus meningkat
setiap tahun. Konsumsi minyak goreng dalam rumah tangga mengalami peningkatan,
dari 10,33 liter/kapita/tahun pada tahun 2015 menjadi 12,25 liter/kapita/tahun
pada tahun 2021. Dengan konsumsi sebesar itu, tidak mengherankan jika kemudian
banyak ibu-ibu yang rela mengantri berjam-jam demi mendapatkan minyak goreng
murah.
Tidak
hanya minyak goreng, namun beberapa komoditas strategis lain seperti daging
sapi, daging ayam ras, cabai rawit, dan gula pasir juga mengalami peningkatan
harga. Kenaikan bahan pangan ini akan mendorong inflasi secara umum karena
perannya dalam konsumsi rumah tangga cukup besar. Pada kenyataannya, rata-rata
pengeluaran penduduk Indonesia untuk pangan sebesar 49,25 persen. Bahkan pada
kelompok ekonomi 40 persen terbawah, pengeluaran untuk pangan mencapai lebih
dari 60 persen. Di tengah pemulihan ekonomi dan upah buruh yang hanya sedikit mengalami
kenaikan, maka inflasi ini harus diantisipasi karena berpotensi menurunkan daya
beli dan kesejahteraan penduduk.
Secara
umum, harga bahan pangan terus mengalami kenaikan. Indeks harga konsumen (IHK) (tahun
dasar 2018) untuk kelompok makanan, minuman, dan tembakau pada Februari 2022
sebesar 111,68. Artinya bahwa sejak tahun 2018, harga kelompok makanan,
minuman, dan tembakau sudah meningkat sebesar 11,68 persen. Demikian juga
dengan konsumsi bahan pangan mengalami kenaikan setiap tahun terlebih pada
momen ramadhan dan hari raya idul fitri. Berkaca pada tahun-tahun sebelumnya,
peningkatan permintaan pada bulan Ramadhan akan mendorong inflasi secara umum.
Harga
merupakan interaksi antara permintaan dan penawaran. Penawaran atau
ketersediaan produk akan sangat bergantung pada produksi dan distribusi.
Produksi yang melimpah namun distribusi yang kurang lancar akan mengakibatkan
ketersediaan terganggu yang menimbulkan kelangkaan dan memicu kenaikan harga.
Demikian juga dengan produksi yang salah satunya bergantung pada faktor alam
seperti cuaca. Jika cuaca merupakan faktor yang sulit untuk dimitigasi, maka faktor
distribusi harus bisa diantisipasi untuk memastikan kelancarannya dan menjaga
harga tetao stabil.
Mengetahui
pola distribusi menjadi suatu kebutuhan untuk mengendalikan kenaikan harga dari
produsen hingga konsumen. BPS melakukan survei pola distribusi perdagangan pada
beberapa komoditas strategis seperti beras, minyak goreng, cabai merah, jagung,
daging ayam ras, daging sapi, gula pasir, bawang merah, dan telur ayam ras.
Selain untuk mengetahui pola distribusi utama, survei tersebut juga untuk mengetahui
margin perdagangan dan pengangkutan (MPP). Semakin panjang rantai distribusi,
semakin besar pula MPP yang timbul sehingga semakin besar pula kenaikan harga
barang dari produsen hingga konsumen.
Hasil
survei pola distribusi menunjukkan bahwa MPP minyak goreng secara nasional
sebesar 17,41 persen pada tahun 2020.
Angka tersebut mengindikasikan bahwa secara umum kenaikan harga minyak
goreng dari produsen sampai dengan konsumen akhir sebesar 17,41 persen dengan
melibatkan dua pelaku distribusi perdagangan utama yaitu distributor dan
pedagang eceran. Kenaikan harga sebesar itu pada kondisi tahun 2020 ketika
pasokan cukup dan lancar. Akan berbeda ketika pasokan dan ketersediaannya
kurang mencukupi sebagaimana yang terjadi saat ini.
Hasil
suvei juga menunjukkan bahwa minyak goreng produksi Indonesia yang berasal dari
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan
Jawa Timur diekspor ke luar negeri. Demikian juga meski produksi kelapa sawit
paling banyak berasal dari Sumatera dan Kalimantan, namun keberadaan pabrik
minyak goreng cenderung masih terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Contoh
komoditas lain yang harganya berfluktuasi adalah komoditas cabai merah. Total
MPP cabai merah tahun 2019 sebesar 61,31 persen atau meningkat jika dibandingkan
dengan MPP total tahun 2018 yang nilainya sebesar 43,09 persen. Hal ini berarti
bahwa kenaikan harga cabai merah dari tingkat petani sampai dengan konsumen
akhir di Indonesia sebesar 61,31 persen dengan melibatkan dua pelaku distribusi
perdagangan utama yaitu pedagang pengepul dan pedagang eceran.
Pada
tahun 2019, margin perdagangan dan pengangkutan pada pedagang pengepul komoditas
cabai merah mengalami peningkatan lebih tinggi dibandingkan dengan pedagang
eceran. MPP pedagang pengepul awalnya 17,52 persen menjadi 30,93 persen, sedangkan
MPP pada pedagang eceran meningkat dari 21,76 persen menjadi 23,20 persen. Untuk
cabai merah ini, pola terpanjang dapat terjadi di Provinsi Jawa Barat dan Jawa
Tengah, padahal kedua wilayah tersebut merupakan sentra produksi cabai merah.
Berdasarkan
kenyataan tersebut di atas, maka memperpendek rantai distribusi menjadi sebuah langkah
agar kenaikan harga dari produsen hingga konsumen tidak terlalu tinggi dan
inflasi tetap terjaga. Sistem lelang terhadap komoditas pertanian akan memotong
rantai distribusi dan meningkatkan nilai tawar bagi petani. Untuk produk olahan
seperti minyak goreng, menjaga ketersediaan minyak goreng curah menjadi sebuah
keharusan agar tidak memicu lonjakan harga minyak goreng kemasan sebagai barang
subtitusinya. Demikian juga pengawasan yang ketat terhadap penyalurannya agar tidak
disalahgunakan dan dijual kembali dalam bentuk minyak goreng kemasan. Dengan
tercukupinya minyak goreng curah, harapannya minyak goreng kemasan akan
menemukan titik keseimbangan harga yang terjangkau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar