(Dimuat di Koran Republika, tanggal 18 Februari 2022)
Pertumbuhan
ekonomi sebesar 3,69 persen pada tahun 2021 membangkitkan optimisme dalam
pemulihan ekonomi Indonesia. Tren pertumbuhan ini harus terus dijaga terlebih
di tengah ancaman gelombang ketiga pandemic Covid-19. Diperlukan percepatan
pertumbuhan ekonomi agar mampu menyerap pengangguran yang mencapai 9,1 juta
orang dan mengentaskan penduduk miskin yang mencapai 26,50 juta orang.
Harus diakui, pandemi yang terjadi sejak tahun 2020 ini telah meninggalkan luka cukup dalam terutama pada pengangguran dan kemiskinan. Meskipun pengangguran sudah mulai berkurang seiring dengan pemulihan ekonomi, namun kondisinya belum sama dengan kondisi sebelum pandemi. Ancaman gelombang ketiga pandemi Covid-19, tidak hanya menimbulkan kekhawatiran dalam bidang kesehatan namun juga kekhawatiran dalam masalah ketenagakerjaan. Angkatan kerja yang meningkat sebanyak 2,74 juta orang dalam setahun ini membutuhkan lapangan pekerjaan agar tidak semakin menambah pengangguran.
Angkatan
kerja yang melimpah dalam negeri akan menjadi salah satu sumber pertumbuhan
ekonomi jika disertai dengan produktivitas tenaga kerja yang tinggi. Pada
kenyataannya produktivitas tenaga kerja Indonesia masih rendah jika
dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand (Asian
Produktivity Organisation/APO, 2021). Bahkan jika dibandingkan dengan rata-rata produktivitas
tenaga kerja di kawasan ASEAN, produktivitas tenaga kerja Indonesia masih
berada di bawahnya.
Di
samping itu, pertumbuhan produktivitas tenaga kerja Indonesia dalam kurun waktu
sepuluh tahun terkahir hanya sebesar 1,7 persen, jauh di bawah negara lain
seperti China (6 persen), Vietnam (5,5 persen), India (5,4 persen), Kamboja
(4,6 persen), Myanmar (4,1 persen), dan Thailand (3,9 persen). Rendahnya
pertumbuhan dan produktivitas tenaga kerja ini perlu diantisipasi karena salah
satu jalan menuju pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dalam jangka panjang adalah
melalui peningkatan produktivitas yang memungkinkan ekonomi untuk memproduksi
lebih banyak output dengan jumlah input yang sama, atau menggunakan input yang
lebih sedikit untuk menghasilkan jumlah output yang sama. Oleh karena itu,
pemantauan dan peningkatan produktivitas nasional menjadi sasaran kebijakan
publik yang penting.
Produktivitas
menjadi salah satu indikator yang yang dapat digunakan untuk menilai kinerja
pembangunan suatu wilayah. Penyerapan tenaga kerja yang tinggi namun dengan
produktivitas kurang yang rendah akan menyebabkan taraf hidup pekerja menjadi
rendah. Sebaliknya, penyerapan tenaga kerja yang tinggi dan diikuti dengan
produktivitas tenaga kerja yang tinggi akan menggerakkan perekonomian menjadi
lebih maju.
Pada
kenyataannya tenaga kerja di Indonesia didominasi oleh tenaga kerja informal
dengan persentase mencapai 59,45 persen. Bahkan pada saat pandemi tahun 2020,
proporsi tenaga kerja informal ini mencapai lebih dari 60 persen. Informalitas
ini menurut ILO mempunyai dampak yang berbahaya terhadap hak-hak pekerja dan
mempunyai dampak negatif terhadap keberlangsungan usaha karena rendahnya
produktivitas dan terbatasnya akses modal. sehingga perlu mendorong transisi
tenaga kerja informal menjadi tenaga kerja formal agar produktivitasnya
meningkat.
Produktivitas
tenaga kerja dapat ditingkatkan melalui dua jenis modal, yaitu modal manusia
dan modal tetap. Modal manusia merupakan ukuran kualitas Sumber Daya Manusia
(SDM) berdasarkan aspek pendidikan, kesehatan, maupun kapasitas manusia
lainnya. Kualitas SDM yang baik akan meningkatkan produktivitas.
Selain
produktivitas yang masih rendah, persoalan yang lainnya adalah adanya
kesenjangan yang lebar antara nilai tambah per tenaga kerja menurut sektor
ekonomi. Nilai tambah per tenaga kerja pada sektor manufaktur
memiliki nilai paling besar, sedangkan nilai tambah pada sektor pertanian
paling kecil. Pada tahun 2021, nilai tambah per tenaga kerja pada sektor manufaktur
(sekunder) sebesar 148,03 juta rupiah atau hampir empat kali lipat dari nilai
tambah per tenaga kerja pada sektor pertanian (primer) yang nilainya sebesar
37,80 juta rupiah. Adapun nilai tambah per tenaga kerja pada sektor jasa (tersier)
sebesar 76,29 juta rupiah. Perbedaan nilai tambah per tenaga kerja yang cukup
besar antar sektor ekonomi ini mengindikasikan bahwa diperlukan peningkatan
produktivitas terutama pada sektor pertanian untuk meningkatkan kesejahteraan
tenaga kerja. Terlebih lagi, sektor pertanian ini menjadi mata pencaharian bagi
28,33 persen penduduk bekerja di Indonesia.
Hasil
dari penelitian empiris menunjukkan bahwa meningkatkan pendidikan,
memberikan pelatihan bersertifikat, mendorong penggunaan teknologi digital, dan
internet dalam pekerjaan akan mendorong peningkatan produktivitas tenaga kerja
yang ditandai dengan kecenderungan menjadi tenaga kerja formal yang lebih besar.
Keempat variabel tersebut juga terbukti mencegah tenaga kerja formal mengalami
transisi/penurunan produktivitas menjadi tenaga kerja informal pada masa
pandemi Covid-19.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pada setiap sektor ekonomi memiliki variabel unggulan yang berbeda dalam mendorong peningkatan produktivitas tenaga kerja. Pada sektor pertanian, penggunaan teknologi digital memberikan pengaruh paling besar untuk meningkatkan produktivitas menjadi tenaga kerja formal. Pada sektor manufaktur, variabel keterampilan memiliki pengaruh yang paling besar untuk mendorong menjadi tenaga kerja formal. sedangkan pada sektor jasa, variabel pendidikan tinggi memberikan pengaruh yang paling besar dalam meningkatkan produktivitas menjadi tenaga kerja formal.
Dalam kenyataan tersebut, untuk mendorong produktivitas tenaga kerja tidak hanya meningkatkan capaian pendidikan saja, namun juga harus dibarengi dengan peningkatan keterampilan melalui pelatihan, termasuk pelatihan dalam penggunaan teknologi digital dan internet. Angkatan kerja yang melimpah dengan produktivitas yang tinggi akan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar