Halaman

Jumat, 10 Desember 2021

#130 Darurat Pengangguran Usia Muda

 

(Dimuat di Koran Republika tanggal 10 Desember 2021)


Di tengah kemelut penetapan upah minimum tahun 2022, tersimpan krisis pengangguran usia muda yang kian meningkat selama pandemi. Tingkat pengangguran usia muda (umur 15-24 tahun) di Indonesia mengalami peningkatan dari 16,31 persen pada Februari 2020 menjadi 18,03 persen pada Februari 2021. Tingkat pengangguran terbuka pada kelompok umur muda empat kali lipat lebih tinggi daripada tingkat pengangguran umur dewasa.

Tidak hanya itu, pandemi juga meningkatkan kawula muda yang tidak melakukan kegiatan apapun (Not in employment, education, training/NEET). Pada tahun 2020 ada 24,28 persen penduduk usia muda yang tergolong NEET atau mengalami peningkatan jika dibandingkan sebelum pandemi. NEET paling tinggi pada tamatan SMK (31,72 persen) dan tamatan SD ke bawah (30,44 persen). Tingginya tingkat pengangguran pada usia muda ini menunjukkan adanya potensi tenaga kerja yang kurang termanfaatkan (under utilized).

Tingkat pengangguran usia muda dan NEET merupakan salah satu indikator kesempatan kerja. Kegagalan di sekolah dan meninggalkan sekolah lebih awal cenderung menyebabkan pengangguran dan tidak aktif di kemudian hari. Menurut ILO, pengangguran dan ketidakaktifan memiliki konsekuensi jangka panjang baik bagi individu muda maupun bagi masyarakat secara keseluruhan seperti pengurangan kesempatan kerja dan pendapatan yang lebih rendah di masa dewasa, ketergantungan yang lebih besar pada kesejahteraan, kehamilan dini, dan perilaku anti-sosial. Pengangguran pada usia muda secara eksplisit juga terkait dengan risiko kemiskinan dan pengucilan sosial di kemudian hari (Papadakis et al., 2017).

Pandemi Covid-19 memberikan dampak paling besar salah satunya pada pekerja usia muda. Bahkan di negara berpenghasilan menengah, kehilangan pekerjaan pada kaum muda sekitar dua kali lipat dibanding orang dewasa. Usia muda memiliki lebih sedikit pengalaman kerja sehingga berimbas pada kecilnya kesempatan kerja dan tingginya pengangguran pada kelompok ini. Krisis ekonomi berdampak parah bagi kaum muda dalam tiga dimensi: (1) gangguan terhadap pendidikan, pelatihan dan pembelajaran berbasis kerja; (2) meningkatnya kesulitan untuk pencari kerja muda dan pendatang baru di pasar tenaga kerja; dan (3) hilangnya pekerjaan dan pendapatan, serta memburuknya kualitas pekerjaan.

Kaum muda merupakan bagian besar dari pencari kerja. Pandemi menurunkan permintaan barang dan jasa sehingga permintaan tenaga kerja menurun. Pada waktu yang bersamaan, kaum muda terkonsentrasi di sektor ekonomi yang paling parah terkena dampaknya selama pandemi seperti akomodasi dan penyediaan makanan/minuman. Selain itu, pekerja muda lebih mudah dan lebih murah untuk dipecat serta kurang memperoleh perlindungan dalam pekerjaan.

Bagi wirausaha muda, mereka rentan terhadap penghentian kegiatan ekonomi (karena pembatasan sosial dan sebagainya) karena mereka kekurangan sumber daya keuangan untuk menghadapi penurunan permintaan barang/jasa. Wirausaha muda juga cenderung memiliki akses yang lebih lemah terhadap informasi dan dukungan dalam bisnis.

Dengan kenyataan di atas, amat disayangkan ketika capaian pendidikan yang meningkat dan kualitas kesehatan yang semakin baik berakhir menjadi pengangguran muda maupun kaum rebahan yang tergolong NEET. Peningkatan kualitas SDM yang tercermin dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) belum diimbangi dengan penyediaan lapangan kerja yang cukup dan berkualitas.

Sumber daya manusia atau People merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru Indonesia menurut Annual International Forum on Economic Development and Policy (AIFED) 2021 selain product, policy, dan place. Angkatan kerja yang melimpah merupakan salah satu modal dalam perekonomian. Dalam kaitannya dengan SDM, diperlukan optimalisasi tenaga kerja yang mampu beradaptasi dengan perubahan dinamika perekonomian serta pemanfaatan modal sosial.

Salah satu program unggulan pemerintah dalam percepatan pemulihan ekonomi nasional adalah program pelatihan kartu prakerja yang akan berlanjut pada tahun 2022. Program ini bisa dipertajam penerima manfaatnya agar lebih tepat sasaran. Pada kenyataannya peserta kartu pra kerja pada tahun lalu didominasi oleh penduduk yang sudah bekerja dengan persentase mencapai 66,47 persen. Adapun penerima manfaat kartu prakerja yang berasal dari pengangguran sebesar 22 persen dan berasal dari bukan angkatan kerja sebanyak 11 persen. Untuk selanjutnya perlu diperbesar porsi penerima manfaat kartu prakerja yang berasal dari pengangguran dan diprioritaskan pada penduduk usia muda sehingga keberadaan program ini mampu meningkatkan jumlah penduduk bekerja di Indonesia.

Pada kenyataannya tingkat pengangguran tertinggi di Indonesia paling tinggi pada lulusan SMK dan SMA yaitu sebesar 11,13 persen dan 9,09 persen. Oleh karena itu materi pelatihan yang diberikan harus mendukung keterampilan yang dibutuhkan oleh kelompok tersebut seperti keterampilan keuangan, kewirausahaan, dan literasi digital. Pemanfaatan teknologi digital untuk mempromosikan kewirausahaan kaum muda diperlukan untuk memfasilitasi akses ke pasar termasuk akses keuangan. Harapannya angkatan kerja muda yang melimpah di Indonesia tidak hanya menunggu tersedianya lapangan kerja, namun juga mampu menciptakan lapangan kerja melalui wirausaha. Kewirausahaan merupakan salah satu pendorong utama kemakmuran ekonomi dan digunakan untuk membantu pertumbuhan ekonomi negara berkembang (Kimmitt et al., 2020).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

#139 Kemiskinan Dalam Tekanan Inflasi

Tren penurunan jumlah penduduk miskin pasca pandemi sedikit terganggu dengan lonjakan inflasi yang terjadi pada akhir tahun 2022. Hal ini di...