Dibalik
kemelut penetapan upah minimum 2022, terdapat persoalan yang tidak kalah peliknya
yaitu ketersediaan lapangan pekerjaan yang layak. Tingkat pendidikan angkatan
kerja yang semakin meningkat tentu membutuhkan lapangan pekerjaan yang layak
dan sesuai. Sayangnya, antara permintaan dan penawaran dalam pasar tenaga kerja
tidak seimbang hingga menyisakan 9,1 juta penganggur dan 11,42 juta penduduk
setengah penganggur. Celakanya lagi, sebagian besar dari penganggur tersebut berusia muda (15-24 tahun) dan berpendidikan menengah atas.
Tingginya tingkat pengangguran pada usia muda dan terdidik ini menunjukkan adanya potensi tenaga kerja yang kurang termanfaatkan (under utilized). Tingkat pengangguran terbuka kelompok umur muda empat kali lipat lebih tinggi daripada tingkat pengangguran umur dewasa. Selain itu, ada 24,28 persen penduduk usia muda yang tidak sedang bekerja, tidak mengikuti pendidikan, dan tidak mengikuti pelatihan (Not in Education, Employment and Trainng/NEET). Kaum rebahan yang tergolong NEET ini paling tinggi pada lulusan SMK (31,72 persen) dan sebagian berpendidikan tinggi (29,43 persen). Tingginya NEET ini menjadi tantangan bagi pemerintah untuk mendorong kaum muda berpendidikan ini untuk aktif dalam meningkatkan keterampilan maupun dalam mencari pekerjaan untuk memaksimalkan potensinya.
Menurut
pendidikannya sebagian besar pekerja muda berpendidikan menengah (55,68 persen),
35,11 persen berpendidikan rendah, dan 8,95 persen berpendidikan tinggi.
Pekerja usia muda paling banyak bekerja sebagai buruh/karyawan/pegawai dengan
proporsi mencapai 59,96 persen. pekerja usia muda merupakan salah satu kelompok
yang memperoleh pukulan berat selama pandemi Covid-19. Buruh/karyawan usia muda
yang kehilangan pekerjaan pada masa pandemi sebagian besar berubah menjadi
tenaga kerja informal dengan menjadi pekerja keluarga/tidak dibayar.
Ketidakmampuan
sistem perekonomian dalam menciptakan pekerjaan yang layak untuk semua angkatan
kerja mengakibatkan meningkatnya tenaga kerja informal disamping pengangguran.
Pada kenyataannya ada lebih dari 59 persen penduduk yang bekerja sebagai tenaga
kerja informal di Indonesia. Informalitas didefinisikan oleh Organisasi Tenaga
Kerja Dunia (ILO) sebagai pekerjaan yang mempunyai dampak berbahaya terhadap
hak-hak pekerja dan mempunyai dampak negatif terhadap sustainable enterprises
karena
faktor rendahnya produktivitas dan terbatasnya akses modal.
Melimpahnya
angkatan kerja dan upah murah di Indonesia ternyata belum cukup sebagai modal
untuk menarik investor sehingga menambah lapangan pekerjaan baru. Padahal di
luar pengangguran saat ini, ada peningkatan jumlah angkatan kerja baru yang
mencapai hampir 2 juta orang juta setiap tahunnya. Diperlukan pertumbuhan
ekonomi yang berkualitas di tengah pemulihan ekonomi pasca pandemic agar
tercipta pekerjaan yang layak bagi angkatan kerja.
Pekerjaan
yang layak diperlukan untuk dapat membiayai hidup secara layak dan berharkat,
serta menjamin keselamatan fisik dan psikologis. Kelayakan pekerjaan dapat
dilihat dari status pekerjaan, lapangan pekerjaan, jumlah jam kerja, dan kegiatan
formal-informal. Sebagai contoh, status pekerjaan sebagai buruh/karyawan
cenderung lebih layak karena memiliki penghasilan tetap dengan jaminan
ketenagakerjaan dibandingkan dengan pekerja bebas yang penghasilannya tidak
menentu.
Pendidikan
merupakan salah satu fackor untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan
pendapatan. Semakin tinggi tingkat pendidikan rata-rata upah yang diterima juga
semakin tinggi. Berdasarkan survei Angkatan kerja nasional (Sakernas),
rata-rata pendapatan buruh dengan pendidikan perguruan tinggi nilainya lebih
dari dua kali lipat dari rata-rata upah buruh berpendidikan SMP ke bawah.
Rata-rata pendapatan buruh lulusan perguruan tinggi pada tahun 2021 sebesar 4,39
juta rupiah, sedangkan rata-rata pendapatan buruh lulusan SD ke bawah nilainya
kurang dari dua juta rupiah.
Akan tetapi, ketika pendidikan sudah berhasil
ditingkatkan, yang terjadi selanjutnya tidak tersedia pekerjaan yang sesuai
dengan pendidikan dan kompetensi mereka. Tidak mengherankan jika kemudian
terpaksa pengangguran dengan mencari pekerjaan yang lebih layak. Pilihan
menjadi pengangguran merupakan barang mewah yang hanya dimiliki oleh mereka
yang mempunyai tabungan atau pendapatan di luar pekerjaan. Sedangkan bagi
penduduk miskin dan hampir miskin yang berpendidikan renadah mereka tidak bisa
menganggur, mereka harus bekerja apa saja untuk dapat hidup (too poor to be
unemployed). Sehingga apapun pekerjaannya akan mereka lakukan termasuk
menjadi tenaga kerja informal maupun setengah pengangguran. Penduduk setengah
menganggur didominasi oleh pekerja dengan pendidikan dasar yang mencapai 57,30
persen. Mereka bekerja namun dengan jam kerja di bawah jam kerja normal dan
masih mencari tambahan pekerjaan untuk meningkatkan pendapatan. Selain itu,
sebagian besar penduduk miskin di Indonesia bekerja sebagai tenaga kerja
informal.
Hal
ini menjadi PR selanjutnya untuk menyediakan pekerjaan layak sehingga angkatan
kerja yang sudah memperoleh pendidikan menengah atas terberdayakan dalam
kegiatan ekonomi. Jangan sampai mengejar pendidikan tinggi namun ujungnya
menjadi pengangguran karena tidak tersedia lapangan pekerjaan yang layak sesuai
pendidikannya. Pada kenyataannya tingkat pengangguran tertinggi di Indonesia
paling banyak pada lulusan SMK dan SMA yaitu sebesar 11,13 persen dan 9,09
persen. Untuk lulusan perguruan tinggi tingkat pengangguran terbuka nilainya di
atas 5 persen.
Untuk
lulusan perguruan tinggi pun harus jeli dalam memilih lokasi untuk mencari pekerjaan.
Sebagai contoh di Provinsi Kaltara lebih dari 40 persen pengangguran merupakan
lulusan perguruan tinggi, di Papua Barat proporsi pengangguran lulusan
perguruan tinggi lebih dari 38 persen, dan di Bali proporsi pengangguran yang
berpendidikan tinggi sebesar 36,87 persen. Adapun provinsi dengan proporsi
pengangguran tamatan perguruan tinggi yang paling rendah ada di Banten, Jawa
Barat, dan Jawa Timur. Informasi ini memberikan gambaran bagaimana peluang
lulusan perguruan tinggi untuk memperoleh pekerjaan berdasarkan wilayahnya.
Menanti
sistem perekonomian menciptakan lapangan pekerjaan layak bisa jadi membutuhkan
waktu yang cukup lama. Salah satu langkah lain yang bisa dilakukan untuk menciptakan
lapangan kerja adalah dengan mendorong kewirausahaan. Kewirausahaan telah
diidentifikasi sebagai salah satu pendorong utama kemakmuran ekonomi dan
dianggap sebagai kendaraan yang masuk akal yang dapat digunakan untuk membantu
pertumbuhan ekonomi negara berkembang (Kimmitt et al., 2020) dan solusi dalam
mengatasi kemiskinan ekstrim di negara-negara berkembang (Sutter et al., 2019; Si et al., 2020).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar