Halaman

Senin, 08 November 2021

#127 Upah dan Hidup Layak

(Dimuat di Koran Republika, 4 November 2021)

Pandemi Covid-19 tidak hanya menimbulkan krisis kesehatan dan ekonomi, namun juga berdampak pada ketenagakerjaan di Indonesia. Setelah tahun 2021 upah buruh tidak mengalami kenaikan karena resesi ekonomi yang terjadi pada tahun 2020, maka pada saat ini buruh menuntut kenaikan upah 7-10 persen untuk tahun 2022. Tuntutan kenaikan upah tersebut bagaikan pisau bermata dua antara komitmen memberikan kehidupan yang layak bagi buruh dan upaya pemulihan ekonomi di tengah pandemi yang belum sepenuhnya berakhir.

Jika merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 75 tahun 2015, kenaikan UMP tahun depan sebesar 8,67 persen yang merupakan hasil penjumlahan dari pertumbuhan ekonomi triwulan 2-2021 sebesar 7,07 persen dan angka inflasi September 2021 (year on year) sebesar 1,6 persen.

Akan tetapi, jika menggunakan aturan pengupahan yang baru sesuai PP Nomor 21 tahun 2021, maka kenaikan upah buruh tidak sebesar itu. Dalam aturan yang terbaru kenaikan upah bukan berdasarkan penjumlahan pertumbuhan ekonomi dan angka inflasi, namun menggunakan nilai salah satu yang terbesar di antara pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Jika pada peraturan sebelumnya angka pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang digunakan adalah angka level nasional, pada penyesuaian upah dengan formula yang baru menggunakan angka pertumbuhan ekonomi dan inflasi tingkat provinsi.

Merujuk pada peraturan pemerintah tentang pengupahan, kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan adalah jumlah penerimaan/pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kehidupan pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar.

Formula penyesuaian upah minimum yang baru ini lebih rigid dan rumit dari peraturan sebelumnya. Dalam menghitung batas atas upah minimum memasukkan nilai rata-rata konsumsi per kapita dikalikan dengan rata-rata jumlah anggota rumah tangga, dan dibagi dengan rata-rata jumlah anggota rumah tangga yang bekerja. Harapannya formula ini benar-benar mencerminkan kondisi hidup layak tidak hanya untuk pekerja lajang namun kebutuhan rumah tangga pada nilai rata-rata di masing-masing daerah.

Kenaikan upah minimum tidak hanya berdasarkan kenaikan harga barang/jasa, namun juga perubahan komponen pengeluaran/konsumsi. Kehidupan layak sebelum dan sesudah pandemi tentu akan berbeda karena pola konsumsi yang berubah. Menurut hasil survei dampak Covid-19 yang dilakukan oleh BPS tahun 2020, pengeluaran penduduk mengalami peningkatan proporsi pada kesehatan dan informasi/komunikasi. Menggunakan data konsumsi rata-rata hasil survei sosial ekonomi nasional (Susenas) yang diselenggarakan setiap tahun oleh BPS merupakan langkah tepat sebagai jembatan untuk mengakomodir komponen kebutuhan hidup yang bersifat dinamis.

Dalam penghitungan yang baru, semakin besar selisih antara UMP/UMK dengan batas atas upah minimum, maka semakin besar pengali untuk kenaikan UMP/UMK setiap tahunnya. Demikian juga apablia nominal UMP/UMK semakin mendekati batas atas upah minimum, maka semakin kecil pengali untuk kenaikan UMP/UMK setiap tahunnya. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan formula kenaikan UMP/UMK pada peraturan sebelumnya, maka dalam PP No.36 tahun 2021 kenaikannya akan lebih kecil karena hanya menggunakan salah satu nilai tertinggi dari pertumbuhan ekonomi atau inflasi, bukan penjumlahan keduanya.

Permasalahan selanjutnya adalah ketimpangan upah antar pekerja mengingat kebijakan upah minimum ini diberlakukan untuk usaha berskala menengah dan besar, sedangkan 75 persen tenaga kerja di Indonesia bekerja pada usaha mikro kecil. Ketentuan upah minimum dikecualikan bagi usaha mikro dan kecil. Upah untuk pekerja usaha mikro kecil berdasarkan kesepakatan antara antara pengusaha dan buruh, paling sedikit 50 % dari rata-rata konsumi masyarakat tingkat provinsi atau 25 persen dari di atas garis kemiskinan provinsi.

Oleh karena itu, pekerja usaha mikro kecil ini juga harus memperoleh perhatian karena pada kelompok inilah yang rentan untuk jatuh dalam jurang kemiskinan di tengah guncangan ekonomi. Kebijakan upah minimum di Indonesia berpengaruh positif dan signifikan pada desil ke-5 hingga desil ke-8 dari distribusi upah, namun tidak memberikan pengaruh signifikan pada kelompok 40 persen terbawah distribusi upah (Pratomo, 2012). Mendorong transisi Usaha Mikro dan Kecil (UMK) menjadi Usaha Menengah Besar (UMB) sangat diperlukan untuk meningkatkan nilai tambah dalam perekonomian sekaligus meningkatkan kesejahteraan buruh/pekerja agar mampu hidup layak.

Secara teori, kenaikan upah minimum hingga melebihi titik keseimbangan antara penawaran dan permintaan tenaga kerja akan berdampak pada penurunan permintaan terhadap tenaga kerja terutama di sektor formal. Dalam penelitian David Card (salah satu peraih nobel bidang ekonomi pada tahun 2021) kenaikan upah minimum tidak serta merta berdampak negatif terhadap pengangguran dan penyerapan tenaga kerja. Namun yang perlu diwaspadai adalah kelebihan penawaran tenaga kerja pada sektor formal akan mendorong transisi dari tenaga kerja formal menjadi tenaga kerja informal.

Pada kenyataannya, jumlah tenaga kerja informal di Indonesia mengalami peningkatan selama pandemi, dari 75,50 juta orang pada Februari 2020 menjadi 78,14 juta orang pada Februari 2021. Informalitas mempunyai dampak yang berbahaya terhadap hak-hak pekerja dan mempunyai dampak negatif terhadap sustainable enterprises karena faktor rendahnya produktivitas dan terbatasnya akses modal (ILO, 2018). Oleh karena itu, untuk buruh/pekerja usaha mikro atau tenaga kerja informal yang belum mencapai upah minimum memerlukan perlindungan sosial dari pemerintah agar mampu memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

#138 Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas

  (Dimuat di Kolom Opini Republika, 25 November 2022) Perekonomian Indonesia mampu tumbuh mengesankan di tengah ancaman resesi global saat i...