Pandemi Covid-19 tidak hanya menimbulkan krisis kesehatan dan ekonomi, namun juga berdampak pada ketenagakerjaan di Indonesia. Setelah tahun 2021 upah buruh tidak mengalami kenaikan karena resesi ekonomi yang terjadi pada tahun 2020, maka pada saat ini buruh menuntut kenaikan upah 7-10 persen untuk tahun 2022. Tuntutan kenaikan upah tersebut bagaikan pisau bermata dua antara komitmen memberikan kehidupan yang layak bagi buruh dan upaya pemulihan ekonomi di tengah pandemi yang belum sepenuhnya berakhir.
Jika merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 75 tahun 2015, kenaikan UMP tahun depan sebesar 8,67 persen yang
merupakan hasil penjumlahan dari pertumbuhan ekonomi triwulan 2-2021 sebesar
7,07 persen dan angka inflasi September 2021 (year on year) sebesar 1,6
persen.
Akan tetapi, jika menggunakan aturan
pengupahan yang baru sesuai PP Nomor 21 tahun 2021, maka kenaikan upah buruh
tidak sebesar itu. Dalam aturan yang terbaru kenaikan upah bukan berdasarkan
penjumlahan pertumbuhan ekonomi dan angka inflasi, namun menggunakan nilai
salah satu yang terbesar di antara pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Jika pada
peraturan sebelumnya angka pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang digunakan
adalah angka level nasional, pada penyesuaian upah dengan formula yang baru
menggunakan angka pertumbuhan ekonomi dan inflasi tingkat provinsi.
Merujuk pada peraturan pemerintah tentang
pengupahan, kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak
pekerja/buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Penghasilan yang
memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan adalah jumlah
penerimaan/pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu
memenuhi kehidupan pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar.
Formula penyesuaian upah minimum yang
baru ini lebih rigid dan rumit dari peraturan sebelumnya. Dalam menghitung
batas atas upah minimum memasukkan nilai rata-rata konsumsi per kapita
dikalikan dengan rata-rata jumlah anggota rumah tangga, dan dibagi dengan rata-rata
jumlah anggota rumah tangga yang bekerja. Harapannya formula ini benar-benar
mencerminkan kondisi hidup layak tidak hanya untuk pekerja lajang namun
kebutuhan rumah tangga pada nilai rata-rata di masing-masing daerah.
Kenaikan upah minimum tidak hanya
berdasarkan kenaikan harga barang/jasa, namun juga perubahan komponen
pengeluaran/konsumsi. Kehidupan layak sebelum dan sesudah pandemi tentu akan
berbeda karena pola konsumsi yang berubah. Menurut hasil survei dampak Covid-19
yang dilakukan oleh BPS tahun 2020, pengeluaran penduduk mengalami peningkatan
proporsi pada kesehatan dan informasi/komunikasi. Menggunakan data konsumsi
rata-rata hasil survei sosial ekonomi nasional (Susenas) yang diselenggarakan
setiap tahun oleh BPS merupakan langkah tepat sebagai jembatan untuk
mengakomodir komponen kebutuhan hidup yang bersifat dinamis.
Dalam penghitungan yang baru, semakin
besar selisih antara UMP/UMK dengan batas atas upah minimum, maka semakin besar
pengali untuk kenaikan UMP/UMK setiap tahunnya. Demikian juga apablia nominal
UMP/UMK semakin mendekati batas atas upah minimum, maka semakin kecil pengali
untuk kenaikan UMP/UMK setiap tahunnya. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan
formula kenaikan UMP/UMK pada peraturan sebelumnya, maka dalam PP No.36 tahun
2021 kenaikannya akan lebih kecil karena hanya menggunakan salah satu nilai tertinggi
dari pertumbuhan ekonomi atau inflasi, bukan penjumlahan keduanya.
Permasalahan selanjutnya adalah ketimpangan
upah antar pekerja mengingat kebijakan upah minimum ini diberlakukan untuk
usaha berskala menengah dan besar, sedangkan 75 persen tenaga kerja di
Indonesia bekerja pada usaha mikro kecil. Ketentuan upah minimum dikecualikan
bagi usaha mikro dan kecil. Upah untuk pekerja usaha mikro kecil berdasarkan
kesepakatan antara antara pengusaha dan buruh, paling sedikit 50 % dari
rata-rata konsumi masyarakat tingkat provinsi atau 25 persen dari di atas garis
kemiskinan provinsi.
Oleh karena itu, pekerja usaha mikro
kecil ini juga harus memperoleh perhatian karena pada kelompok inilah yang
rentan untuk jatuh dalam jurang kemiskinan di tengah guncangan ekonomi. Kebijakan
upah minimum di Indonesia berpengaruh positif dan signifikan pada desil ke-5
hingga desil ke-8 dari distribusi upah, namun tidak memberikan pengaruh
signifikan pada kelompok 40 persen terbawah distribusi upah (Pratomo, 2012). Mendorong
transisi Usaha Mikro dan Kecil (UMK) menjadi Usaha Menengah Besar (UMB) sangat
diperlukan untuk meningkatkan nilai tambah dalam perekonomian sekaligus
meningkatkan kesejahteraan buruh/pekerja agar mampu hidup layak.
Secara teori, kenaikan upah minimum
hingga melebihi titik keseimbangan antara penawaran dan permintaan tenaga kerja
akan berdampak pada penurunan permintaan terhadap tenaga kerja terutama di sektor
formal. Dalam penelitian David Card (salah satu peraih nobel bidang ekonomi
pada tahun 2021) kenaikan upah minimum tidak serta merta berdampak negatif
terhadap pengangguran dan penyerapan tenaga kerja. Namun yang perlu diwaspadai
adalah kelebihan penawaran tenaga kerja pada sektor formal akan mendorong
transisi dari tenaga kerja formal menjadi tenaga kerja informal.
Pada kenyataannya, jumlah tenaga kerja
informal di Indonesia mengalami peningkatan selama pandemi, dari 75,50 juta
orang pada Februari 2020 menjadi 78,14 juta orang pada Februari 2021. Informalitas
mempunyai dampak yang berbahaya terhadap hak-hak pekerja dan mempunyai dampak
negatif terhadap sustainable enterprises karena faktor rendahnya
produktivitas dan terbatasnya akses modal (ILO, 2018). Oleh karena itu, untuk
buruh/pekerja usaha mikro atau tenaga kerja informal yang belum mencapai upah
minimum memerlukan perlindungan sosial dari pemerintah agar mampu memenuhi
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar