Halaman

Jumat, 13 Agustus 2021

#123 Memaknai Angka Pertumbuhan 7 Persen

 


Kehebohan terjadi. Angka 7 persen yang menjadi pangkalnya. Sebagian sangat senang sedangkan sebagian yang lain meragukan. Itulah angka pertumbuhan ekonomi 7,07 persen pada triwulan II-2021 secara tahunan (year on year) yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik pada Kamis (5/7). Jika melihat 7 persennya, angka ini seolah-olah menggambarkan kondisi ekonomi sudah normal kembali, bahkan lebih meroket jika dibandingkan pertumbuhan ekonomi sebelum pandemi yang berkisar di angka 5 persen. Akhirnya timbul pertanyaan. Benarkah ekonomi tumbuh 7,07 persen di tengah kondisi ekonomi yang masih terasa sulit hari ini?

Sebenarnya, pertumbuhan ekonomi sebesar 7,07 persen jika terjadi pada kondisi perekonomian stabil dan normal, maka hal tersebut bisa dibanggakan bahwa perekonomian melesat dan meroket. Sebagaimana kita tahu bahwa perekonomian Indonesia dalam beberapa tahun sebelumnya hanya dalam kisaran 5 persen. Namun jika tumbuh lebih dari tujuh persen dengan pembandingnya adalah perekonomian yang berada pada titik terendahnya, maka hal tersebut sesuatu yang tidak luar biasa. Akan menjadi luar biasa jika perekonomian mampu tumbuh dua digit sebagaimana yang terjadi di China pada triwulan I tahun ini.

Pertumbuhan ekonomi triwulan dua secara tahunan (year on year) dihitung dengan membandingkan PDB atas harga konstan triwulan II-2021 dengan triwulan II-2020. Sebagaimana kita tahu, pada triwulan II-2020 perekonomian Indonesia mengalami pertumbuhan minus hingga 5,32 persen. PDB yang nyungsep pada tahun sebelumnya menjadi penyebab adanya low base effect bagi pertumbuhan ekonomi 7,07 persen pada triwulan II tahun ini. Selain itu, pada triwulan dua tahun ini terbantu dengan adanya momentum Ramadan dan Idul Fitri dimana pengeluaran rumah tangga mengalami kenaikan.  Hal ini tercermin pada pertumbuhan konsumsi rumah tangga triwulan dua tahun ini sebesar 1,27 persen dibanding triwulan I-2021.

Nah, pengaruh basis pertumbuhan ekonomi yang rendah ini pada triwulan selanjutnya tidak akan sebesar pada triwulan dua ini. Karenanya, pertumbuhan tujuh persen ini akan tidak mudah terulang kembali jika tidak ada kebijakan yang lebih expansif dari triwulan sebelumnya. Hal ini karena base PDB ataupun pembandingnya tidak serendah pada triwulan dua, dimana perekonomian pada triwulan tiga 2020 sudah mengalami perbaikan dengan kontraksi yang lebih dangkal.

Fenomena pertumbuhan ekonomi tinggi pasca krisis sebenarnya juga terjadi di beberapa negara lain. Antara lain China yang tumbuh 18,3 persen dan Hongkong tumbuh 7,8 persen pada triwulan I-2021. Bahkan pada triwulan IV-2020 Perekonomian China sudah mampu tumbuh 6,5 persen dan Vietnam tumbuh 4,5 persen, saat Indonesia masih mengalami partumbuhan minus 2,19 persen.

Pertumbuhan ekonomi cukup tinggi pasca krisis sebelumnya pernah terjadi di Indonesia saat krisis ekonomi 1998/1999 dimana pertumbuhan ekonomi saat itu minus 18,02 persen, kemudian pada tahun 1999 tumbuh 1,3 persen, dan tahun 2000 tumbuh 5,73 persen. Pada tahun 2021 ini tentu amat berat untuk mengejar pertumbuhan ekonomi tahunan sebesar 5 persen dengan modal pertumbuhan minus 0,74 persen pada triwulan I dan 7,07 persen pada triwulan II. Tidak mengherankan jika kemudian beberapa lembaga internasional merevisi ke bawah target pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2021 seperti IMF yang memprediksi 3,9 persen dan ADB memprediksi 4,1 persen. Bahkan Bank Indonesia juga menurunkan target pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2021 menjadi 3,5%-4,3%.

Jika membandingkan dengan kondisi perekonomian tahun 2020, maka pada tahun ini sudah ada perbaikan. Hal ini terkonfirmasi dari angka pengangguran yang berkurang 1,02 juta orang pada Februari 2021 (dibanding Agustus 2020), demikian juga dengan penduduk miskin yang berkurang 0,01 juta orang pada Maret 2021 (dibanding September 2020). Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur juga mengalami peningkatan hingga bulan Juni, meski pada Juli kembali mengalami penurunan seiring dengan melonjaknya kasus Covid-19 dan pemberlakukan PPKM darurat.

Akan tetapi, jika kondisi hari ini dibandingkan dengan sebelum pandemi, maka benar bahwa kondisi sosial ekonomi saat ini belum kembali seperti sebelumnya. Keraguan akan pertumbuhan ekonomi ini bisa jadi muncul karena kenyataan di lapangan menunjukkan adanya 8,75 juta pengangguran yang membutuhkan lapangan pekerjaan baru, ada 11,42 juta orang setengah pengangguran yang membutuhkan tambahan pekerjaan, dan ada 27,54 juta penduduk miskin yang membutuhkan peningkatan pendapatan. Kondisi sosial ekonomi yang demikian tersebut ada di sekeliling kita, sehingga bisa jadi menambah sulit untuk menerima kenyataan bahwa perekonomian saat ini sebenarnya telah tumbuh jika dibandingkan dengan kondisi yang sama pada setahun sebelumnya.

Berharap bahwa ekonomi diakui tumbuh jika semua orang memperoleh pekerjaan yang layak, meningkatnya pendapatan penduduk, dan menurunnya kemiskinan secara drastis adalah hal yang wajar dan memang itulah yang dicita-citakan. Bahkan PBB mencantumkannya dalam tujuan pembangunan berkelanjutan/SGDs yang kedelapan yaitu mempromosikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, inklusif dan berkelanjutan, pekerjaan penuh dan produktif, dan pekerjaan yang layak untuk semua. Untuk menuju cita-cita tersebut, tentu diperlukan pertumbuhan ekonomi secara terus menerus dan berkelanjutan.

Kembali kepada makna angka pertumbuhan ekonomi 7,07 persen, bagi pihak yang optimis angka tujuh persen merupakan sinyal yang baik dalam proses pemulihan ekonomi Indonesia. Upaya pemerintah melalui program PEN membuahkan hasil, meski belum seperti yang diharapkan. Tentu kita menginginkan uang triliunan rupiah yang digelontorkan oleh pemerintah mampu memberikan pengaruh postif dalam pertumbuhan ekonomi. Demikian pula upaya pelaku usaha dan buruh yang harus mempertaruhkan kesehatan dalam menjalankan usahanya akan berdampak baik dalam mendorong perbaikan ekonomi. Yang jelas, kita tidak boleh berpuas dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 7,07 persen. Dibutuhkan percepatan pertumbuhan ekonomi untuk penyediaan lapangan kerja yang layak dan peningkatan kesejahateraan penduduk yang merosot tajam selama pandemi Covid-19.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

#139 Kemiskinan Dalam Tekanan Inflasi

Tren penurunan jumlah penduduk miskin pasca pandemi sedikit terganggu dengan lonjakan inflasi yang terjadi pada akhir tahun 2022. Hal ini di...