(Dimuat di Koran Republika, 16 Juli 2021)
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka kemiskinan terbaru untuk kondisi Maret 2021, jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 27,54 juta orang atau setara dengan 10,14 persen. Jika dibandingkan dengan Maret 2020 pada masa awal pandemi, jumlah penduduk miskin mengalami peningkatan sebanyak 1,12 juta orang. Akan tetapi jika dibandingkan dengan September 2020, jumlah penduduk miskin mengalami penurunan sebanyak 0,01 juta orang. Angka kemiskinan ini mampu memotret pengeluaran penduduk miskin, namun belum mampu mengukur dimensi lain kehidupan penduduk. Padahal pada masa pandemi, sebagian besar penduduk tidak hanya mengalami penurunan pendapatan/pengeluaran saja, namun juga mengalami kehilangan pada berbagai dimensi kehidupan seperti kesehatan, pendidikan dan standar hidup layak.
Angka kemiskinan yang selama ini
dihitung berdasarkan pengeluaran atau moneter belum mampu menangkap semua dimensi
di atas. Mengkaji kemiskinan multidimensi memberikan informasi yang lebih
spesifik terhadap kemiskinan sehingga akan mendorong kebijakan yang relevan
dalam upaya pengentasannya. Alkire et al (2020) memandang bahwa
deprivasi/kehilangan yang dihadapi oleh penduduk miskin multidimensi di
negara-negara berkembang dapat berakibat pada meningkatnya kerentanan
terinfeksi Covid-19. Deprivasi pada indikator air minum, nutrisi, dan bahan
bakar memasak diperkirakan dapat meningkatkan risiko seseorang terinfeksi
Covid-19. Hasil penelitian dari Prakarsa (2020) diperoleh hasil bahwa terdapat
korelasi positif yang kuat antara jumlah orang yang berisiko Covid-19 dan
jumlah orang miskin multidimensi di suatu provinsi di Indonesia.
Pengukuran kemiskinan multidimensi
menurut OPHI dan UNDP, memandang kemiskinan secara lebih holistik dan lebih
mendalam mencakup permasalahan kesehatan, pendidikan juga mengenai kualitas
kehidupan. Indikator yang digunakan dalam penghitungan indeks kemiskinan
multidimensi ini merupakan butir-butir target yang ada di dalam sustainable
development goals (SDGs). Pada tahun 2020 OPHI dan UNDP merilis hasil indeks
kemiskinan multidimensi di 107 negara berkembang di dunia, hasilnya sebanyak
1,3 miliar orang hidup dalam kemiskinan multidimensi atau 22 persen penduduk
dunia.
Di Indonesia penelitian mengenai
pengukuran kemisknan multidimensi digagas oleh Prakarsa pada tahun 2015,
hasilnya bahwa penduduk yang mengalami kemiskinan multidimensi jumlahnya jauh
lebih besar jika dibandingkan dengan penduduk yang mengalami kemiskinan
moneter. Pada tahun 2014 contohnya persentase penduduk yang mangalami
kemiskinan moneter sebanyak 11,3 persen, sedangkan penduduk yang mengalami
kemiskinan multidimensi sebanyak 29,7 persen. Penelitian yang dilakukan di
Yogyakarta tahun 2016-2017 menghasilkan temuan menarik bahwa penurunan
persentase penduduk miskin secara moneter tidak dibarengi dengan penurunan
penduduk miskin multidimensi. Hal ini berarti bahwa peningkatan pengeluaran
penduduk hingga di atas garis kemiskina tidak serta merta meningkatkan
kapabilitas penduduk miskin pada dimenasi yang lainnya seperti kesehatan,
pendidikan, dan standar hidup layak.
Hasil penelitian dari Artha dan Dartanto
(2018) menjelaskan bahwa dimensi kesehatan yang paling besar kontribusinya
terhadap kemiskinan rumah tangga di Indonesia. Sedangkan variabel pendidikan
kepala rumah tangga yang menyelamatkan rumah tangga dari kemiskinan, baik
kemiskinan multidimensi maupun kemiskinan moneter. Pemberian bantuan pinjaman
kepada masyarakat kurang mampu hanya berpengaruh pada penurunan peluang
mengalami kemiskinan secara moneter, namun tidak berdampak signifikan pada
kemiskinan multidimensi.
Dalam dimensi kesehatan, indikator yang
digunakan adalah indikator Body mass index (BMI) untuk melihat kecukupan gizi dan
kematian bayi. Karena keterbatasan data yang tersedia, biasanya digunakan data
konsumsi protein rumah tangga dan konsumsi kalori rumah tangga. Seseorang
dikatakan memiliki kekurangan dalam pemenuhan nutris kalori jika kalori yang
dikonsumsi kurang dari 70 persen AKG, sedangkan protein batasnya 80 persen AKG.
Penduduk dengan pengeluaran yang sama
bisa jadi kualitas kesehatannya berbeda-beda sesuai dengan jenis barang yang
dikonsumsi. Terlebih pada keluarga miskin dimana pengeluaran terbesar bagi
penduduk miskin adalah untuk beras dan rokok. Pengeluaran yang besar untuk
rokok tidak akan meningkatkan status gizi penduduk miskin, apalagi pengeluaran
untuk protein proporsinya jauh lebih kecil daripada rokok. Di perkotaan, poporsi
pengeluaran penduduk miskin untuk beras sebesar 20,03 persen dan untuk rokok
sebesar 11,90 persen. Adapun proporsi pengeluaran untuk sumber protein seperti telur
ayam ras sebesar 4,15 persen, daging ayam ras 4,29. persen, dan tempe/tahu
kurang dari 2 persen. Bahkan untuk wilayah perdesaan proporsi pengeluaran untuk
sumber protein nilainya lebih kecil lagi.
Pada masa pandemi, pengeluaran konsumsi
sebagian besar penduduk di Indonesia mengalami penurunan yang berisiko
terjadinya penurunan kuantitas maupun kualitas makanan yang dikonsumsi. Dibandingkan
dengan sebelum pandemi terjadi penurunan rata-rata konsumsi kalori per kapita
per hari yang dari 2.127,19 Kkal pada September 2019 menjadi 2.112,06 Kkal pada
Maret 2020. Demikian juga untuk rata-rata konsumsi protein per kapita per hari
mengalami penurunan dari 62,43 gram pada September 2019 menjadi 61,98 gram pada
Maret 2020.
Pada dimensi pendidikan, dua indikator
yang digunakan adalah lama sekolah dan kehadiran di sekolah. Pada masa pandemi
sangat mungkin terjadi penurunan lama sekolah dan kehadiran di sekolah.
Terlebih ketika diharuskan untuk belajar daring yang membutuhkan perangkat
elektronik dan jaringan internet. Bagi penduduk 40 persen terbawah yang
mengalami keterbatasan pengetahuan dan ekonomi, sekolah daring ini bisa jadi
sangat memberatkan dan berdampak pada kehadiran siswa di sekolah dan angka
putus sekolah.
Dimensi standar hidup dalam kemiskinan
multidimenasi bertujuan untuk merefleksikan pola kehidupan keseharian
masyarakat. Indikatornya adalah air minum yang layak, sanitasi yang layak,
listrik, kondisi lantai rumah, bahan bakar untuk memasak, dan kepemilikan
asset. Pada masa pandemi, indikator yang sangat rentan mengalami
deprivasi/kehilangan adalah pada kepemilikan asset. Ketika pendapatan menurun
atau kehilangan pekerjaan, maka sangat mungkin penduduk akan menjual aset-aset
yang dimilikinya untuk menyambung hidup.
Dengan kenyataan di atas, pandemi
Covid-19 jelas berdampak tidak hanya pada pendapatan/pengeluaran penduduk saja,
namun juga berdampak pada berbagai dimensi kehidupan yang berisiko meningkatkan
kemiiskinan multidimensi. Mengkaji kemiskinan multidimensi ini akan melengkapi
informasi dalam upaya pengentasan kemiskinan yang lebih konkret.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar