Dampak pandemi Covid-19 masih
berlangsung hingga tahun 2021 yang ditandai dengan kontraksi ekonomi pada
triwulan satu sebesar 0,74 persen (year on year). Indonesia mengalami
pertumbuhan minus selama 4 triwulan berturut-turut sejak triwulan II 2020.
Upaya pemulihan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah telah berdampak pada
percepatan ekonomi dibandingkan triwulan sebelumnya, namun belum mampu
memberikan pertumbuhan positif pada triwulan satu tahun ini.
Dirinci menurut komponen pengeluaran, konsumsi rumah tangga menjadi sumber kontraksi terdalam dengan andil sebesar minus 1,22 persen. Konsumsi rumah tangga mengalami kontraksi sebesar 2,23 persen dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya. Kontraksi ini disebabkan oleh penurunan pengeluaran untuk makanan minuman (-2,31 persen), pakaian, alas kaki, dan jasa perawatan (-2,71%), transportasi dan komunikasi (-4,24 persen), dan restoran dan hotel (-4,16 persen).
Untuk mendongkrak perekonomian 2021,
tentu memerlukan dorongan permintaan salah satunya momentum ramadan dan idul
fitri pada triwulan dua tahun ini. Namun apa daya ketika pada tahun ini pemerintah
mengambil kebijakan pelarangan mudik untuk mencegah penularan Covid-19 yang
saat ini kembali merangkak naik. Potensi ekonomi dari aktivitas mudik akan
hilang. Harus diakui bahwa aktivitas mudik akan menggerakkan permintaan barang
dan jasa pada sektor transportasi, perdagangan, akomodasi dan restoran/makan
minum, hingga rekreasi dan hiburan. Beberapa lapangan usaha tersebut mengalami
penurunan yang sangat tajam selama terjadinya pandemi Covid-19.
Untuk memacu pertumbuhan ekonomi,
berbagai stimulus disiapkan oleh pemerintah salah satunya dengan diskon pajak
penjualan atas barang mewah (PPnBM) mobil. Menurut data Gabungan Industri
Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) program tersebut terbukti meningkatkan
penjualan ritel mobil pada bulan Maret 2021 hingga 65,1 persen dibanding bulan
Februari 2021. Program ini masih akan diteruskan hingga bulan November dengan
relaksasi insentif secara bertahap. Kebijakan ini diharapkan mendorong konsumsi
penduduk menengah atas yang selama ini tertahan dengan adanya pandemi Covid-19.
Bukan tanpa alasan pemerintah mendorong
konsumsi mengingat perekonomian Indonesia 56,93 persen ditopang oleh konsumsi
rumah tangga. Bahkan untuk kelompok 40 persen kelas menengah berkontribusi
sebesar 35,85 persen dan kelompok 20 persen kelas atas berkontribusi 46,22 persen
dari seluruh konsumsi rumah tangga nasional. Pengeluaran kedua kelompok ini
sangat tergantung pada pengendalian pandemi Covid-19, karena kesehatan
merupakan prioritas pertama bagi mereka. Selama pandemi belum bisa dikendalikan
maka pengeluaran kedua kelompok ini masih akan tertahan. Berdasarkan laporan
Bank Dunia, Aspiring Indonesia, pengeluaran penduduk kelompok menengah atas di
Indonesia didominasi oleh pengeluaran untuk perumahan dan leisure (hiburan).
Selanjutnya pemerintah juga
menganggarkan Rp500 miliar untuk subsidi bebas ongkos kirim belanja secara daring
pada hari belanja online nasional (Harbolnas) lebaran dari H-10 hingga H-5 Idul
Fitri. Harapannya para pekerja formal (buruh/karyawan, termasuk juga pegawai
negeri sipil/TNI/Polri) yang memperoleh tunjangan hari raya (THR) akan
membelanjakan uangnya dengan tetap tinggal di rumah.
Namun yang perlu diperhatikan, apakah
berbagai program tersebut juga akan menetes pada penduduk kelompok 40 persen
terbawah? Mengingat pelaku usaha dari kelompok terbawah ini masih terbatas
kemampuannya dalam mengakses ekonomi digital atau platform ecommerce. Oleh
karena itu semangat belanja ini juga harus ditujukan kepada pedagang kecil yang
belum tersentuh ekonomi digital agar terjadi perputaran ekonomi pada kelompok
40 persen terbawah. Mengingat bantuan sosial tunai nonregular bagi penduduk 40
persen terbawah ini hanya diberikan selama empat bulan hingga April 2021.
Meskipun harus diakui memacu konsumsi
pada penduduk 40 persen terbawah tidak akan berdampak besar terhadap
pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini karena kontribusi pada kelompok ini hanya
17,93 persen dari seluruh konsumsi rumah tangga nasional. Namun, meningkatkan
daya beli bagi kelompok ini akan menaikkan kesejahteraan penduduk sehingga
memperkecil beban pembangunan agar perekonomian dapat melaju dengan cepat.
Konsumsi tahun ini belum akan pulih
seperti sebelum pandemi. Hal ini karena banyak pekerja yang kehilangan
pekerjaan atau mengalami penurunan pendapatan. Berdasarkan hasil survei angkatan
kerja nasional (Sakernas, Februari 2021) ada 8,75 juta orang yang menganggur
tidak memiliki pekerjaan dan 11,42 juta orang yang bekerja dengan jam kerja di
bawah normal.
Selain konsumsi rumah tangga, instrumen
lagi yang bisa memacu pemulihan ekonomi adalah investasi, pengeluaran
pemerintah, dan ekspor. Untuk investasi tentu sangat bergantung kemampuan
pemerintah dalam mengendalikan pandemi Covid-19, karena hal ini berbanding
lurus dengan tingkat kepercayaan investor. Investasi atau pembentukan modal
tetap bruto (PMTB) berkontribusi 31,98 persen dalam perekonomian Indonesia atau
menduduki peringkat kedua setelah konsumsi rumah tangga. Untuk ekspor, awal
tahun 2021 ini Indonesia diuntungkan dengan adanya kenaikan harga komoditas dan
membaiknya perekonomian mitra dagang di pasar global. Momentum ini diharapkan
turut serta mampu mendorong pemulihan ekonomi mengingat komponen ekspor
berkontribusi 19,18 persen terhadap perekonomian Indonesia.
Percepatan pemulihan ekonomi ini sangat
diperlukan untuk menyerap tenaga kerja. Ketiadaan lapangan pekerjaan akan
menimbulkan masalah sosial ekonomi bagi penduduk, terlebih lagi tingkat
kemiskinan pada September 2020 yang mencapai 10,19 persen atau setara dengan
27,55 juta jiwa. Pemulihan ekonomi tersebut memerlukan syarat yaitu
terkendalinya pandemi Covid-19 agar konsumsi penduduk kembali normal sehingga
mendorong kegiatan produksi dalam negeri. Upaya ini tentu membutuhkan
keterlibatan dari seluruh penduduk dengan menerapkan protokol kesehatan secara
ketat agar pandemic segera terkendali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar