Indonesia hampir pasti mengalami resesi ekonomi tahun ini. Pandemi Covid-19 mengakibatkan penurunan di hampir semua sektor ekonomi. Salah satu sektor yang mampu tumbuh positif tahun ini adalah sektor pertanian. Pandemi Covid-19 ini juga telah menghentak kesadaran pemerintah untuk serius dalam menciptakan ketahanan pangan nasional. Ancaman krisis pangan yang dikeluarkan oleh FAO pada Maret lalu, membuat negara-negara produsen beras membatasi ekspornya demi menjaga ketersediaan pangan dalam negeri. Bagi Indonesia yang berpenduduk 268 juta jiwa, hal ini tentu menjadi sebuah tantangan untuk meningkatkan produksi beras nasional. Menindaklanjuti perihal tersebut pemerintah berencana membangun lumbung pangan nasional (food estate) di Kalimantan Tengah.
Namun, rencana tersebut tidak lepas dari pro dan kontra, mengingat
lumbung pangan yang direncanakan sebelumnya seperti 1,2 juta hektar lahan di
Merauke juga belum terrealisasi. Oleh karena itu, pembangunan lumbung pangan
baru ini harus dipertimbangkan secara cermat, agar biaya yang dikeluarkan lebih
efisien dalam meningkatkan produksi beras nasional. Tantangan produksi pangan
nasional ada pada produktivitas yang belum optimal dan biaya produksi pertanian
yang masih tinggi.
Berdasarkan data BPS, produktivitas padi di Indonesia tahun 2019
sebesar 5,11 ton per hektar atau
mengalami penurunan jika dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 5,2 ton
per hektar. Jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Thailand dan
Vietnam, produktivitas padi Indonesia masih jauh di bawahnya. Produktivitas
padi di Vietnam tahun 2019 mencapai 5,82 ton/ha.
Produksi beras tahun 2019 sebesar 31,31 juta ton atau mengalami
penurunan dalam tiga tahun terakhir mulai tahun 2016. Penurunan produksi ini
menjadi peringatan bagi Indonesia di tengah meningkatnya jumlah penduduk dan
pandemi Covid-19 seperti saat ini. Terlebih Indonesia merupakan wilayah yang
rawan bencana hidometeorologi seperti El Nino.
Sebagai contoh, kasus bencana kekeringan akibat El
Nino menurunkan produksi pangan di lima provinsi utama sentra produksi pangan
nasional. Rata-rata peluang produksi pangan yang hilang akibat El Nino di
kelima provinsi tersebut lebih dari 150 ribu ton sebagaimana diungkapkan Irawan
(2006).
Di masa depan, peristiwa kebencanaan
hidrometeorologi diprediksi akan meningkat seiring terjadinya perubahan iklim
yang mengancam dunia. Dokumen Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim
(RAN-API) menyebutkan di masa depan
risiko penurunan ketersediaan air yang sangat tinggi terdapat di wilayah
Jawa-Bali. Penurunan ini tentu saja dapat mengancam kegiatan pertanian yang
membutuhkan pasokan air. Padahal wilayah Jawa-Bali merupakan pemasok utama
lumbung padi nasional saat ini. Sehingga diperlukan varietas tanaman yang
adaptif terhadap perubahan iklim.
Selain itu, pemilihan wilayah Kalimantan Tengah
sebagai proyek pembangunan lumbung pangan nasional merupakan keputusan yang
tepat. Selain masih tersedianya lahan yang luas, wilayah tersebut akan lebih
kecil dampaknya jika terjadi bencana kekeringan yang salah satunya diakibatkan
oleh El-Nino.
Namun, yang menjadi permasalahan adalah
produktivitas komoditas pangan di Kalimantan Tengah ini cukup rendah, bahkan di
bawah rata-rata produktivitas nasional. Sebagai contoh produktivitas padi di
Kalimantan Tengah sebesar 3,03 ton per hektar, sedangkan produktivitas nasional
5,11 ton per hektar. Oleh karena itu, pembangunan lumbung pangan di Kalimantan
Tengah ini merupakan proyek jangka panjang yang belum bisa dipetik hasilnya
segera.
Dalam jangka pendek, meningkatkan produktivitas
pertanian pada lahan yang ada sekarang sangat diperlukan. Untuk meningkatkan
produktivitas tersebut diperlukan upaya intensifikasi berdasarkan penelitian
atau riset pertanian mutakhir. Peningkatan alokasi anggaran untuk penelitian
diperlukan untuk mendorong inovasi dalam penyediaan sarana prasarana dan teknik
pertanian yang adaptif terhadap perubahan iklim.
Selain produktivitas, tantangan pertanian di Indonesia adalah biaya
produksi yang tinggi. Dalam produksi beras, biaya di Indonesia melebihi 6 negara
produsen beras utama. Berdasarkan penelitian dari International Rice Research
Institute (IRRI) 2016, biaya untuk memproduksi 1 kilogram beras di Indonesia
sebesar Rp 4.079/kg, lebih tinggi dari Vietnam sebesar Rp 1.679/kg, Thailand
sebesar Rp 2.291/kg, India Rp 2.306/kg, Filipina Rp 3.224/kg dan China Rp
3.661/kg. Kenyataan tersebut yang menjadikan harga impor beras mampu bersaing
dengan harga beras dalam negeri, karena biaya produksi beras dalam negeri lebih
tinggi.
Berdasarkan survei struktur ongkos usaha tani (SOUT, BPS), biaya
produksi paling besar untuk pengeluaran tenaga kerja dengan porsi hampir
sepertiga dari seluruh biaya produksi padi. Sedangkan pengeluaran untuk sewa
lahan sebesar 25,61 persen dan jasa pertanian 17,60 persen. Pengeluaran untuk
bibit/benih, pupuk, ditambah pestisida hanya sebesar 17,42 persen.
Mekanisasi diperlukan untuk menekan biaya produksi dan mangatasi tenaga
kerja pertanian yang jumlahnya semakin menurun. Jumlah tenaga kerja pertanian
mengalami penurunan dalam sepuluh tahun terakhir, dari 43,03 juta tahun 2009
menjadi 38,2 juta orang pada 2019. Mendorong regenerasi petani diperlukan dalam
rangka transfer teknologi mengingat umur rata-rata petani di Indonesia adalah
47 tahun. Pelibatan generasi muda dalam sektor pertanian diperlukan sebagai
salah satu kunci Indonesia sebagai lumbung pangan dunia.
Lumbung pangan di Kalimantan Tengah ini ditargetkan baru akan selesai tahun 2022. Oleh karena itu yang bisa dilakukan saat ini adalah mengoptimalkan lahan yang sudah ada. Dengan luas panen padi tahun 2019 yang mencapai 10,68 juta hektar bisa dimaksimalkan dengan meningkatkan produktivitasnya. Meningkatkan produktivitas padi sebesar 2 kuintal per hektar akan meningkatkan produksi padi lebih dari 2 juta ton gabah kering giling.
Kolaborasi antara pemerintah dan petani sangat diperlukan untuk meningkatkan produksi pangan terutama beras di Indonesia. Penyediaan alat dan mesin pertanian, bibit dan pupuk berkualitas, serta jaminan harga jual yang menguntungkan, akan memotivasi petani dalam mewujudkan lumbung pangan nasional. Bukan hanya karena pandemi global saat ini saja, namun sebuah upaya berkelanjutan karena krisis ekonomi akan selalu berulang dengan berbagai penyebabnya. Dengan potensi lahan pertanian yang luas, Indonesia berpotensi untuk menjadi salah satu negara penyedia pangan dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar