Halaman

Senin, 05 Oktober 2020

#113 Resesi dan Ketenagakerjaan

 
(Dimuat di Koran Republika, 5 Oktober 2020)

Indonesia dipastikan mengalami resesi pada triwulan III tahun 2020 ini. Menurut Bank Dunia (29/9), perekonomian Indonesia diproyeksi akan mulai pulih pada tahun 2021 dengan pertumbuhan ekonomi 4,4 persen. Namun, hal tersebut membutuhkan syarat yaitu terkendalinya pandemi Covid-19 di Indonesia. Semakin lama pandemi tertangani, semakin lama perekonomian akan pulih, dan selama itu pula tenaga kerja di Indoneia belum akan kembali bekerja sepenuhnya.

Pandemi Covid-19 ini mengakibatkan jutaan orang kehilangan pekerjaannya. Padahal dalam setahun angkatan kerja di Indonesia meningkat 1,73 juta orang. Berkaca pada tahun 2019 sebelum terjadi pandemi, peningkatan jumlah angkatan kerja lebih besar dibandingkan dengan penyerapan tenaga kerja baru dalam setahun. Artinya, dengan pertumbuhan ekonomi sebelumnya belum mampu mengurangi pengangguran secara signifikan. Apalah lagi dengan kondisi saat ini, ketika permintaan dan penawaran menurun, akan semakin sulit pelaku usaha melakukan ekspansi dan menyerap tenaga kerja baru.

Jumlah pengangguran pada kondisi Februari 2020 sebanyak 6,87 juta orang atau 5,13 persen dari seluruh angkatan kerja. Tingkat pengangguran paling tinggi terjadi di perkotaan yang mencapai 6,34 persen, sedangkan tingkat pengangguran di perdesaan 3,72 persen.

Untuk mengantisipasi dampak dari penurunan ekonomi ini, pemerintah membuat program padat karya tunai senilai 30,79 Triliun rupiah yang ditujukan untuk memberikan lapangan pekerjaan. Namun sayangnya program ini dilaksanakan di desa yang bersumber dari dana desa. Diperkirakan akan ada 7,56 juta pekerja yang terserap dalam program padat karya tunai di desa ini. Program padat karya tunai ini juga bertujuan untuk meningkatkan daya beli penduduk di tengah lesunya ekonomi.

Bagaimana dengan pengangguran di perkotaan? Mobilitas dan kepadatan penduduk yang tinggi, menjadikan penyebaran Covid-19 di perkotaan lebih besar dibanding perdesaan. Demikian juga dengan dampak ekonomi yang ditimbulkan, perkotaan lebih parah terkena imbasnya. Sektor perdagangan, jasa, dan industri terkena dampak paling besar dalam kontraksi ekonomi tahun ini. Padahal, ketiga sektor tersebut yang menopang ekonomi perkotaan disamping juga menjadi tumpuan hidup bagi sebagian besar penduduk kota.

Tidak semua penduduk kota akan melakukan pulang kampung ke desa. Sehingga harus dipikirkan juga program untuk meringankan beban penganggur di kota. Bantuan sosial tunai, subsidi gaji, maupun insentif kartu pra kerja hanya berfungsi sebagai bantalan ssosial, belum mampu memenuhi kebutuhan hidup terlebih di perkotaan. Pandemi Covid-19 harus dapat segera dikendalikan, agar perekonomian bisa kembali tumbuh meski tidak dengan performa terbaiknya.

Pengalaman sebelumnya, setiap pertumbuhan ekonomi 1 persen mampu menyerap tenaga baru sekitar 345 ribu orang. Pada beberapa tahun terakhir sektor akomodasi dan penyediaan makan minum mampu menyerap tenaga kerja baru paling banyak di Indoenesia. Namun kenyataannya, pandemi ini berdampak besar pada sektor akomodasi, penyediaan makan minum dan transportasi. Akibatnya banyak tenaga kerja pada sektor tersebut yang mengalami perumahan ataupun PHK.

Untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi diperlukan investasi, padahal kepercayaan investor berbanding lurus dengan kemampuan pemerintah untuk mengendalikan pandemi. Selama pandemi belum bisa dikendalikan, maka selama itu pula kegiatan ekonomi harus menerapkan protokol ketat kesehatan. Artinya, produksi barang maupun jasa tidak bisa beroperasi dengan kapasitas penuh 100 persen. Pada kondisi demikian, sangat kecil peluangnya untuk meningkatkan investasi, yang terjadi adalah pengurangan produksi disertai dengan pengurangan tenaga kerja.

Upaya pemerintah melalui RUU Cipta Kerja untuk meningkatkan investasi sekaligus membuka lapangan pekerjaan bagi penduduk, jangan sampai mengorbankan hak tenaga kerja. Yang diharapkan tidak hanya menciptakan pekerjaan secara luas, namun juga mampu meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja di Indonesia. Ketentuan yang dirancang untuk mendukung dan memberi landasan bagi alih teknologi, penyerapan investasi, dan penyediaan lapangan kerja harus dipertahankan.

Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam proses produksi yang sederhana, output dibentuk oleh dua input yaitu kapital dan tenaga kerja. Faktor tenaga kerja lah yang bisa menciptakan efek multiplier (pengganda) dalam ekonomi. Berawal dari pendapatan yang diterima pekerja, berlanjut sebagai sumber pengeluaran konsumsi, dan menjadi insentif untuk berproduksi bagi produsen. Di antara kebijakan yang bisa dilakukan di sisi penawaran adalah fokus di aspek ketenagakerjaan.

Selain menyediakan lapangan kerja, kebutuhan utama yang saat ini mendesak untuk diantisipasi adalah menjadi negara yang kompetitif di dunia internasional. Kompetitif dalam produktivitas tenaga kerja sehingga menarik bagi investor. Potensi angkatan kerja yang melimpah di Indonesia harus dibarengi dengan produktivitas tenaga kerja yang tinggi pula.

Dibandingkan dengan negara lain produktivitas tenaga kerja di Indonesia sangat rendah. Berdasarkan Asian Productivity Organization (APO), produktivitas per tenaga kerja Indonesia pada tahun 2017 sebesar 26 ribu Dollar AS (2011 PPP), jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura. Demikian juga pertumbuhan produktivitas per tenaga kerja dalam periode 2015-2017 hanya 1,6 persen, jauh di bawah Malaysia (3,5 persen), Thailand (4,4 persen), dan Vietnam (5,6 persen).

Peningkatan kualitas sumber daya manusia masih menjadi tantangan di Indonesia agar sesuai dengan kebutuhan industri di era 4.0. Karenanya, perlu reformasi di bidang pendidikan baik menengah atas dan pendidikan tinggi. Patut diapresiasi bahwa pemerintah masih tetap berkomitmen untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN 2021. Pembangunan bidang pendidikan tahun 2021 nanti difokuskan untuk meningkatkan kualitas SDM, kemampuan adaptasi teknologi, dan peningkatan produktivitas melalui knowledge economy di era industri 4.0.

Pada hari-hari yang penuh tidak ketidakpastian ini, yang tidak kalah penting selanjutnya adalah menjaga kepercayaan penduduk bahwa pemerintah mampu mengatasi pandemi ini. Kehilangan pekerjaan, menurunnya pendapatan, dan tidak terpenuhinya kebutuhan membuat penduduk semakin mudah disulut emosinya. Pandemi harus segera dikendalikan, agar tidak menimbulkan masalah social ekonomi berkepanjangan. Presiden AS Harry S Truman mengatakan, resesi adalah ketika tetangga kita kehilangan pekerjaan. Namun, resesi akan menjadi depresi jika kita sendiri kehilangan pekerjaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

#138 Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas

  (Dimuat di Kolom Opini Republika, 25 November 2022) Perekonomian Indonesia mampu tumbuh mengesankan di tengah ancaman resesi global saat i...