Indonesia hampir dipastikan mengalami resesi pada triwulan III 2020
ini. Kementerian Keuangan memproyeksi pertumbuhan ekonomi pada triwulan 3 bisa
minus hingga 2 persen. Meski pertaruhan masih ada satu bulan hinggga akhir
September, namun konsumsi dalam negeri sebagai penopang terbesar perekonomian
Indonesia belum terdongkrak secara maksimal. Deflasi yang terjadi pada Juli dan
Agustus menggambarkan permintaan/konsumsi dalam negeri masih tertekan. Dalam
pidato kenegaraan tanggal 14 Agustus 2020, Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa krisis akibat pandemi tahun
ini merupakan momentum bagi Indonesia untuk setara dengan negara-negara maju.
Lompatan besar. Itulah yang harus dilakukan oleh bangsa Indonesia untuk segera keluar dari resesi ekonomi dan mengejar negara maju lainnya. Selayaknya sebuah lompatan besar, Indonesia tentu membutuhkan tumpuan yang kuat berupa sumber daya manusia yang berkualitas dan penggunaan teknologi yang mumpuni guna meningkatkan produktivitas, sesuatu yang saat ini masih tertinggal dibanding dengan negara lain.
Kita berharap dalam ulang tahun kemerdekaan
yang ke-100 nanti, Indonesia telah kokoh menjadi negara bependapatan tinggi di
dunia. Bahkan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memperkirakan
Indonesia akan menjadi negara berpendapatan tinggi pada tahun 2043 atau 2 tahun
sebelum HUT RI ke-100.
Indonesia memiliki potensi angkatan kerja yang banyak, lahan yang luas, sumber daya alam yang melimpah, dan jumlah penduduk yang besar. Angkatan kerja terus meningkat 1,7 juta orang setahun seiring dengan bonus demografi yang tengah
menuju puncaknya. Angkatan kerja yang melimpah ini merupakan suatu keunggulan
yang tidak banyak dimiliki oleh negara maju sekalipun. Demikian juga dengan
jumlah penduduk yang besar menjadi peluang untuk mendorong permintaan dalam negeri. Seruan untuk menggunakan produk buatan dalam negeri bertujuan untuk
meningkatkan produksi dalam negeri.
Dengan keunggulan di atas, sebenarnya Indonesia
memiliki prasyarat untuk menjadi negara maju. Namun pada kenyataannya, peranan
teknologi dalam menyumbang pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat kecil. Bahkan
menurut Asian Productivity Organization (APO), pertumbuhan Total Factor
Productivity (TFP) Indonesia bernilai minus mulai tahun 2010 hingga 2019.
TFP mengkuantifikasi porsi pertumbuhan ekonomi yang tidak dijelaskan oleh
peningkatan tenaga kerja dan modal. Penggunaan teknologi yang rendah disinyalir sebagai
pemicu TFP Indonesia
lebih kecil dibandingkan negara lainnya.
Untuk
meningkatkan output di Indonesia masih bertumpu pada peningkatan jumlah tenaga
kerja dan modal. Hal ini senada
dengan tingginya nilai Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia
yang mencapai 6,6 pada tahun 2019 atau lebih tinggi dibandingkan negara lain. Tingginya
ICOR Indonesia ini berarti bahwa untuk meningkatkan output di Indonesia
dibutuhkan lebih banyak investasi. Kenyataan ini menjadikan Indonesia belum
menjadi tujuan favorit bagi investor asing.
Selain itu, kualitas investasi di Indonesia
lebih banyak pada infrastruktur seperti pabrik dan bangunan. Investasi pada
mesin dan peralatan nilainya sangat kecil, padahal investasi inilah yang
berguna untuk meningkatkan produktivitas. Namun untuk lompatan besar dalam bidang
ekonomi, tidak cukup hanya mengandalkan industri padat karya. Teknologi dan
inovasi diperlukan untuk mendongkrak perekonomian Indonesia.
Bahkan untuk sektor pertanian, diperlukan
teknologi agar mampu meningkatkan produktivitas dan menekan
biaya produksi. Seorang peternak/petani di negara maju mampu mengelola lahan
yang sangat luas, karena adanya mekanisasi yang memanfaatkan teknologi. Indonesia
memiliki lahan pertanian yang masih luas, namun produktivitasnya masih rendah. Salah satu solusinya dengan intensifikasi berbasis riset dan teknologi untuk meningkatkan
produksi komoditas pertanian Indonesia.
Penggunaan teknologi yang belum optimal juga tercermin dari ekspor manufaktur Indonesia yang hanya 44,7
persen pada tahun 2018, jauh di bawah Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Data World
Bank menunjukkan, dari ekspor produk manufaktur tersebut, hanya 8 persen
produk yang berteknologi tinggi, jauh di bawah negara Asia lainnya. Dalam
perdagangan dunia, Indonesia lebih banyak bergantung pada sumber daya alam seperti batu bara dan minyak
kelapa sawit. Tidak mengherankan jika kemudian
banyak hutan yang berubah menjadi perkebunan kelapa sawit dan galian tambang di
negeri ini.
Peran teknologi
yang demikian besar dalam mendukung perekonomian berbanding terbalik dengan
kebijakan anggaran untuk Kementerian Riset Dan Teknologi. Tahun 2021 kementerian ini hanya
mendapat anggaran 3 Triliun atau meningkat 1 Triliun saja dari tahun ini. Padahal arah kebijakan fiskal 2021 adalah percepatan pemulihan
sosial ekonomi akibat dampak pandemi COVID-19, sekaligus melakukan reformasi
untuk menguatkan fondasi guna keluar dari Middle Income Trap.
Peningkatan kualitas sumber daya manusia masih
menjadi tantangan di Indonesia agar sesuai dengan kebutuhan industri. Tingkat
pengangguran di Indonesia paling banyak pada lulusan SMK, SMA, dan perguruan
tinggi. Karenanya, perlu reformasi di bidang pendidikan baik menengah atas dan
pendidikan tinggi. Patut diapresiasi bahwa pemerintah masih tetap berkomitmen
untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN 2021. Pembangunan
bidang pendidikan tahun 2021 nanti difokuskan untuk meningkatkan kualitas SDM,
kemampuan adaptasi teknologi, dan peningkatan produktivitas melalui knowledge
economy di era industri 4.0.
Peningkatan kualitas tenaga kerja diperlukan
untuk meningkatkan produktivitas. Dibandingkan dengan negara lain produktivitas
tenaga kerja di Indonesia sangat rendah. Berdasarkan Asian Productivity
Organization (APO), produktivitas per tenaga kerja Indonesia pada tahun 2017
sebesar 26 ribu Dollar AS (2011 PPP), jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan
Malaysia dan Singapura. Demikian juga pertumbuhan produktivitas per tenaga
kerja dalam periode 2015-2017 hanya 1,6 persen, jauh di bawah Malaysia (3,5
persen), Thailand (4,4 persen), dan Vietnam (5,6 persen).
Dengan
kenyataan di atas, Indonesia harus memprioritaskan investasi pada sumber daya
manusia dan riset/teknologi sebagai tumpuan
untuk melompat setara
dengan negara maju. Dengan potensi yang
dimiliki, Indonesia mampu menjadi negara maju dengan kesejahteraan penduduk yang
tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar