Kementerian keuangan memproyeksikan
pertumbuhan ekponomi triwulan III 2020 minus 2 persen, dan target pertumbuhan
ekonomi tahun 2020 direvisi antara -1,1 hingga 0,2 persen. Minusnya pertumbuhan
ekonomi pada triwulan III akan mengakibatkan Indonesia secara teknis
mengalami resesi ekonomi. Bukan pesimis, namun realistis, agar pemerintah lebih
siap dalam mengantisipasi terjadinya resesi. Apalagi rilis resmi bahwa
Indonesia mengalami resesi atau tidak masih akan dilakukan oleh BPS pada awal
November nanti. Resesi atau tidak, kesejahteraan penduduk harus menjadi perhatian utama.
Benar, bahwa pertaruhan masih ada 1 bulan lagi di September untuk mendorong perekonomian. Pemerintah juga berharap ekonomi tumbuh dari konsumsi dalam negeri dengan membuka kegiatan ekonomi dengan new normal atau adaptasi baru. Namun kenyataannya, mobilitas penduduk hanya meningkat di awal Juni, selanjtnya memasuki bulan Juli dan Agustus, mobilitas penduduk kembali melambat. Hal ini seiring dengan melonjaknya kasus positif dan kematian pasien covid-19 di Indonesia.
Deflasi yang terjadi pada Juli dan Agustus menunjukkan
daya beli penduduk yang tertekan. Padahal perekonomian
Indonesia hampir 58 persen ditopang oleh konsumsi rumah tangga. Upaya pemerintah untuk mendorong daya beli
penduduk dengan memberikan bantuan sosial tunai dan subsidi
gaji, belum mampu
mendorong permintaan dalam negeri. Hal ini karena porsi konsumsi penduduk 40
persen terbawah hanya 17,73 persen dari seluruh konsumsi rumah tangga di Indonesia. Peranan terbesar justru pada penduduk kelompok pengeluaran 20 persen teratas dengan andil yang mencapai 45,49 persen. Namun sayangnya, kelompok ekonomi atas
juga menahan belanjanya dan mengurangi aktifitas konsumsinya dengan alasan
kesehatan.
Indonesia telah mengerahkan segala sumber daya
untuk menghindari resesi. Namun belum berhasil juga, karena faktor penyebab utamanya belum mampu dikendalikan yaitu pandemi covid-19. Padahal kunci untuk
mengerek perekonomian Indonesia adalah dengan investasi dan konsumsi dalam negeri. Menurut
BKPM, prospek investasi akan meningkat apabila dibarengi dengan kasus covid-19
yang terkendali. Jadi selama pandemi covid-19 belum bisa dikendalikan, maka
perekonomian Indonesia juga belum akan pulih kembali. Seberapa lama dampak
resesi tergantung seberapa sukses pemerintah dalam mengendalikan pandemi
covid-19.
Demikian juga dengan modal kerja yang
disalurkan oleh perbankan mengalami penurunan 1,7 persen di Bulan Juli. Lesunya
kredit modal kerja ini menunjukkan rendahnya ekspansi usaha sehingga tidak ada
peningkatan produksi barang dan jasa dalam negeri.
Berkaca pada laporan perekonomian trilwuan II
2020, sektor yang
mampu tumbuh di tengah pendemi salah satunya adalah sektor pertanian. Namun
yang terjadi, harga komoditas pertanian anjlok karena permintaan masih lesu.
Akibatnya kesejahteraan petani juga menurun.
Lesunya kegiatan restoran, rumah makan, dan
menurunnya daya beli mengakibatkan menurunnya permintaan komoditas pertanian
terutama produk hortikultura dan peternakan. Produksi yang
melimpah tanpa disertai dengan permintaan mengakibatkan penurunan harga. Hal
ini terbukti pada rilis inflasi bulan Agustus 2020, dimana kelompok makanan
memberikan andil terbesar dalam deflasi Agustus. Penurunan harga pangan ini
meringankan beban konsumen di tengah penurunan pendapatan saat ini, namun tidak
demikian bagi produsennya yaitu petani. Hal ini
tercermin pada Nilai Tukar
Petani (NTP) hortikultura dan peternakan yang nilainya di bawah 100 dan mengalami penurunan.
Selama perekonomian belum pulih, maka permintaan
terhadap komoditas pertanian belum akan kembali seperti semula. Informasi mengenai permintaan
dan harga pasar penting bagi petani agar berproduksi sesuai dengan kebutuhan. Yang
tidak diharapkan ketika permintaan menurun, kemudian harga menurun, sedangkan modal
terbatas mengakibatkan petani/peternak menurunkan produksinya. Ketika hal
tersebut terjadi secara jamak maka penawaran produk pertanian akan menurun
hingga berpotensi meningkatkan harga pangan. Inilah yang dikhawatirkan ketika pangan
mengalami inflasi tinggi di tengah penurunan pendapatan dan meningkatnya
pengangguran.
Oleh karena itu petani yang menjadi garda
terdepan dalam penyediaan pangan nasional juga harus memperoleh perhatian
lebih. Jika pelaku UMKM memperoleh bantuan produktif sebesar Rp. 2,4 juta maka
petani dan peternak usaha rakyat juga seharusnya memperoleh bantuan produktif
agar tetap berproduksi meskipun terjadi penurunan harga. Ini penting
diperhatikan untuk menjaga ketersediaan dan kestabilan harga pangan, karena
pangan memberikan andil yang besar terhadap inflasi.
Berkaca pada laporan perekonomian triwulan
sebelumnya, ketika konsumsi rumah tangga mengalami penurunan 5,51 persen,
pengeluaran untuk makanan dan minuman penurunannya sangat kecil dibanding
komponen lainnya, yaitu 0,71 persen. Artinya bahwa dalam kondisi pertumbuhan
ekonomi minus atau bahkan resesi sekalipun kebutuhan pangan penduduk tidak akan
banyak mengalami penurunan.
Rencana pemerintah untuk menambah bantuan
beras 15 kg per bulan untuk penerima bantuan PKH patut diapresiasi. Demikian
juga pemberian bantuan tunai untuk penerima bantuan sembako juga dalam rangka
menjaga kesejahteraan penduduk.
Selain itu, resesi juga mengakibatkan pengangguran
dan kemiskinan akan meningkat. Jika pandemi belum bisa dikendalikan, maka produksi harus
tetap berpegang pada protocol kesehatan yang ketat. Akibatnya kapasitas
produksi tidak bisa penuh 100 persen. Hal ini mengakibatkan perusahaan
melakukan efisiensi dengan pengurangan tenaga kerja. Permintaan barang dan jasa
yang belum pulih, mengakibatkan perusahaan menahan ekspansi usaha, sehingga
tidak ada penyerapan tenaga kerja baru. Padahal angkatan kerja di Indonesia
terus meningkat 1,7 juta orang setiap tahun.
Fenomena lainnya adalah ketiadaan pekerjaan dan lesunya permintaan barang dan jasa
akan mendorong penduduk kembali ke desa. Penghasilan yang menurun dan tingginya
biaya hidup di perkotaan mengakibatkan perantau akan kembali ke daerah. Hal
inil juga harus
diantisipasi. Penduduk akan bertahan di desa hingga pandemi dapat dikendalikan
dan perekonomian kembali pulih. Oleh karena itu
diperlukan
sinergi dari pemerintah pusat dan daerah untuk menyediakan lapangan pekerjaan
yang sifatnya padat karya baik di perdesaan maupun di
perkotaan. Dengan segala upaya di atas harapannya mampu meminimalisir dampak resesi terhadap
kesejahteraan penduduk di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar