Halaman

Sabtu, 15 Agustus 2020

#110 Memacu Investasi Pascapandemi



(Dimuat di Koran Republika, Tanggal 12 Agustus 2020)

Uji coba klinis vaksin Covid-19 yang sudah pada tahap 3 memberikan angin segar bahwa pandemi ini akan segera berakhir setelah ditemukan vaksin. Itu artinya bahwa kita harus mulai merancang bagaimana perekonomian pasca pandemi ini berakhir. Ketika segala sumber daya saat ini dikerahkan untuk mengendalikan virus dan meningkatkan daya beli penduduk, maka pasca pandemi yang harus dipikirkan adalah bagaimana memacu investasi untuk mempercepat pemulihan perekonomian Indonesia.
Dalam tataran global, pandemi menyadarkan akan bahaya ketergantungan pasokan manufaktur hanya dari satu negara. Ketika awal pandemi merebak di China mengakibatkan terganggunya pasokan bahan baku dan penolong dari China. Hal ini menyebabkan produksi dan perdagangan komoditas di dunia mengalami kendala dan penurunan. Dengan adanya pandemi ini, pelaku industry besar akan berpikir untuk membangun industry manufakturnya selain di China untuk menghindari ketergantungan yang besar tersebut.
Pada kondisi tersebut, Indonesia dengan lahan yang masih luas, posisi yang strategis, dan tenaga kerja yang melimpah harus bisa mengambil peluang. Indonesia harus bisa menarik industry besar dunia ini untuk menanamkan investasinya. Bagi negara maju dengan fenomena penuaan penduduk (aging) tentu akan kekurangan tenaga kerja untuk menjalankan manufakturnya. Sehingga Indonesia bisa mengambil peluang agar dilirik sebagai tujuan investasi.
Biasanya setelah perekonomian turun drastis akan  diikuti dengan bounce back (peningkatan) yang tinggi sebagaimana yang digambarkan oleh kurva V-shaped recovery. Namun, untuk pandemi covid-19 ini diperkiran pemulihannya akan mengikuti kurva  swoosh shaped recovery adalah masa pemulihan di mana perekonomian turun drastis dan akan meningkat secara perlahan-lahan.
Bagi Indonesia yang perekonomiannya ditopang oleh konsumsi dalam negeri, tentu tidak bisa pulih dengan cepat. Hal ini karena pandemi covid-19 berpengaruh besar dalam menurunkan pendapatan penduduk Indonesia. Tidak mengherankan jika kemudian pemerintah saat ini mengerahkan segala sumber daya untuk mendorong permintaan dalam negeri melalui percepatan realisasi pengeluaran pemerintah, memperluas bantuan sosial, hingga memberikan modal bagi pelaku UMKM. Dengan permintaan meningkat akan mendorong produksi barang dan jasa sehingga perekonomian secara pelan akan kembali pulih pada kuartal 3 sehingga Indonesia terhindar dari jurang resesi.
Pulihnya permintaan/konsumsi inilah yang akan memicu lahirnya investasi. Menurut laporan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) menyebutkan permintaan pasar global belum akan pulih dalam dua tahun ke depan. Oleh karena itu dalam dua tahun nanti Indonesia bisa mempersiapkan diri, ketika permintaan pasar global sudah pulih, Indonesia sudah bisa berperan serta sebagai salah satu pemasok di dunia.
Selama ini kualitas investasi masih relativ rendah karena belum berorientasi ekspor, masih menyasar pasar dalam negeri. Jumlah penduduk Indonesia yang besar masih menjadi sasaran pemasaran utama. Ekspor Indonesia masih didominasi oleh komoditas CPO (kelapa sawit) dan batubara. Padahal produk manufaktur lebih cepat pemulihannya pasca pandemi nanti. Selain itu, investasi bergeser dari sektor sekunder ke tersier. Investasi tersier kontribusinya melonjak dari 39,6 persen menjadi 50,9 sedangkan investasi sektor sekunder menurun dari 39,6 persen menjadi 30,8 persen. Hal ini berarti bahwa investasi pada industry manufaktur mengalami peranannya lebih kecil dibandingkan dengan investasi pada sektor perdagangan dan jasa.
Untuk negara berkembang sepeti Indonesia memerlukan pertumbuhan ekonomi tinggi agar mampu menyerap lebih banyak tenaga kerja dan meningkatkan kesejahteraan penduduk. Terlebih Indonesia sudah memasuki periode bonus demografi dimana jumlah penduduk usia produktifnya lebih banyak dibandingkan dengan non produktif. Diperkirakan bonus demografi akan mencapai puncaknya pada 2024.
Sampai dengan saat ini saja pertambahan angkatan kerja mencapai 1,73 juta orang dalam satu tahun yang membutuhkan lapangan kerja baru. Dengan adanya pandemi saat ini jumlah pengangguran semakin meningkat padahal sebelumnya penganggur mencapai 6,88 juta orang. Oleh karena itu memacu investasi pasca pandemi sangat diperlukan untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi penduduk. Selain itu yang diharapkan akan adanya transfer teknologi dan pengetahuan dari investor asing sehingga kualitas tenaga kerja di Indonesia juga akan meningkat.
Berdasarkan kajian potential growth Bappenas, untuk mencapai target pertumbuhan 5,4-6 persen diperlukan peningkatan TPAK 68-70 persen dan pertumbuhan investasi 6,9-8,1 persen. Target RPJMN investasi tumbuh 7,3-8 persen per tahun. Target tersebut ketika kondisi perekonomian normal, tidak dalam kondisi kontrkasi akibat pandemi seperti saat ini. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk memacu investasi adalah dengan derregulasi prosedur investasi, sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perizinan, dan meningkatkan perimgkat indeks kemudahan bisnis EoDB Indonesia dari 73 ke 40 pada tahun 2024.
Peningkatan investasi akan ditujukan untuk peningkatan produktivitas, yang akan mendorong peningkatan efisiensi investasi. Efisiensi ini menjadi penting mengingat Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia masih tinggi yaitu sebesar 6,3 dibanding dengan negara lain seperti Vietnam yang hanya 4,31. Tingginya nilai ICOR ini menunjukkan bahwa untuk meningkatkan output 1 unit diperlukan investasi yang lebih besar di Indonesia. Akibatnya investor akan memilih negara lain, karena memberikan penambahan output yang lebih besar. Inefisiensi ini terjadi karena tingginya biaya pendukung diluar biaya substansi. Oleh karena itu upaya pemerintah melalui reformasi birokrasi agar biaya yang dikeluarkan semakin efisien. Pada tahun 2024 target nilai ICOR Indonesia sebesar 6.0.
Perbaikan iklim usaha dan peningkatan investasi akan difokuskan untuk mendukung sektor prioritas nasional: energi, industry pengolahan, pariwisata, ekonomi kreatif, dan ekonomi digital.
Sealin itu, sebaran investasi juga perlu diperbaiki karena proporsinya didominasi di Pulau Jawa yang mencapai 56,2 persen. Oleh karena itu diperlukan percepatan infrastruktur, kepastian lahan, penyiapan tenaga kerja terampil untuk penyebaran investasi ke luar pulau Jawa. Hal ini berguna untuk mengurangi dominasi Pulau Jawa dalam perekonomian Indonesia yang menyumbang 58,55 persen PDB Indonesia.
Terlebih perekonomian Indonesia mengikuti fenomena Firm Follow People, aktifitas ekonomi mengikuti dimana penduduk terkonsentrasi. Jika mekanisme pasar dibiarkan bekerja sendiri, maka kesenjangan perekonomian Indonesia akan semakin lebar. Diperlukan peran serta pemerintah untuk menyiapkan perangkat dan fasilitas kemudahan investasi di luar Jawa sehingga perekonomian akan semakin berkembang dan merata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

#139 Kemiskinan Dalam Tekanan Inflasi

Tren penurunan jumlah penduduk miskin pasca pandemi sedikit terganggu dengan lonjakan inflasi yang terjadi pada akhir tahun 2022. Hal ini di...