
(Dimuat di Koran Republika, Tanggal 12 Agustus 2020)
Uji coba klinis vaksin Covid-19 yang sudah pada tahap 3 memberikan
angin segar bahwa pandemi ini akan segera berakhir setelah ditemukan vaksin.
Itu artinya bahwa kita harus mulai merancang bagaimana perekonomian pasca pandemi
ini berakhir. Ketika segala sumber daya saat ini dikerahkan untuk mengendalikan
virus dan meningkatkan daya beli penduduk, maka pasca pandemi yang harus
dipikirkan adalah bagaimana memacu investasi untuk mempercepat pemulihan
perekonomian Indonesia.
Dalam tataran global, pandemi menyadarkan akan bahaya ketergantungan
pasokan manufaktur hanya dari satu negara. Ketika awal pandemi merebak di China
mengakibatkan terganggunya pasokan bahan baku dan penolong dari China. Hal ini
menyebabkan produksi dan perdagangan komoditas di dunia mengalami kendala dan
penurunan. Dengan adanya pandemi ini, pelaku industry besar akan berpikir untuk
membangun industry manufakturnya selain di China untuk menghindari
ketergantungan yang besar tersebut.
Pada kondisi tersebut, Indonesia dengan lahan yang masih luas,
posisi yang strategis, dan tenaga kerja yang melimpah harus bisa mengambil
peluang. Indonesia harus bisa menarik industry besar dunia ini untuk menanamkan
investasinya. Bagi negara maju dengan fenomena penuaan penduduk (aging) tentu
akan kekurangan tenaga kerja untuk menjalankan manufakturnya. Sehingga
Indonesia bisa mengambil peluang agar dilirik sebagai tujuan investasi.
Biasanya setelah perekonomian turun drastis akan diikuti
dengan bounce back (peningkatan) yang tinggi sebagaimana yang
digambarkan oleh kurva V-shaped recovery. Namun, untuk pandemi covid-19
ini diperkiran pemulihannya akan mengikuti kurva swoosh shaped recovery adalah masa
pemulihan di mana perekonomian turun drastis dan akan meningkat secara
perlahan-lahan.
Bagi Indonesia yang perekonomiannya ditopang oleh konsumsi dalam
negeri, tentu tidak bisa pulih dengan cepat. Hal ini karena pandemi covid-19
berpengaruh besar dalam menurunkan pendapatan penduduk Indonesia. Tidak
mengherankan jika kemudian pemerintah saat ini mengerahkan segala sumber daya
untuk mendorong permintaan dalam negeri melalui percepatan realisasi
pengeluaran pemerintah, memperluas bantuan sosial, hingga memberikan modal bagi
pelaku UMKM. Dengan permintaan meningkat akan mendorong produksi barang dan
jasa sehingga perekonomian secara pelan akan kembali pulih pada kuartal 3
sehingga Indonesia terhindar dari jurang resesi.
Pulihnya permintaan/konsumsi inilah yang akan
memicu lahirnya investasi. Menurut laporan
Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) menyebutkan permintaan
pasar global belum akan pulih dalam dua tahun ke depan. Oleh karena itu dalam
dua tahun nanti Indonesia bisa mempersiapkan diri, ketika permintaan pasar
global sudah pulih, Indonesia sudah bisa berperan serta sebagai salah satu
pemasok di dunia.
Selama ini kualitas investasi masih relativ rendah karena belum
berorientasi ekspor, masih menyasar pasar dalam negeri. Jumlah penduduk Indonesia
yang besar masih menjadi sasaran pemasaran utama. Ekspor Indonesia masih
didominasi oleh komoditas CPO (kelapa sawit) dan batubara. Padahal produk
manufaktur lebih cepat pemulihannya pasca pandemi nanti. Selain itu, investasi
bergeser dari sektor sekunder ke tersier. Investasi tersier kontribusinya melonjak
dari 39,6 persen menjadi 50,9 sedangkan investasi sektor sekunder menurun dari 39,6
persen menjadi 30,8 persen. Hal ini berarti bahwa investasi pada industry
manufaktur mengalami peranannya lebih kecil dibandingkan dengan investasi pada
sektor perdagangan dan jasa.
Untuk negara berkembang sepeti Indonesia memerlukan pertumbuhan
ekonomi tinggi agar mampu menyerap lebih banyak tenaga kerja dan meningkatkan
kesejahteraan penduduk. Terlebih Indonesia sudah memasuki periode bonus
demografi dimana jumlah penduduk usia produktifnya lebih banyak dibandingkan
dengan non produktif. Diperkirakan bonus demografi akan mencapai puncaknya pada
2024.
Sampai dengan saat ini saja pertambahan angkatan kerja mencapai 1,73
juta orang dalam satu tahun yang membutuhkan lapangan kerja baru. Dengan adanya
pandemi saat ini jumlah pengangguran semakin meningkat padahal sebelumnya penganggur
mencapai 6,88 juta orang. Oleh karena itu memacu investasi pasca pandemi sangat
diperlukan untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi penduduk. Selain itu yang
diharapkan akan adanya transfer teknologi dan pengetahuan dari investor asing
sehingga kualitas tenaga kerja di Indonesia juga akan meningkat.
Berdasarkan kajian potential growth Bappenas, untuk mencapai target
pertumbuhan 5,4-6 persen diperlukan peningkatan TPAK 68-70 persen dan pertumbuhan
investasi 6,9-8,1 persen. Target RPJMN investasi tumbuh 7,3-8 persen per tahun.
Target tersebut ketika kondisi perekonomian normal, tidak dalam kondisi
kontrkasi akibat pandemi seperti saat ini. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah
untuk memacu investasi adalah dengan derregulasi prosedur investasi, sinkronisasi
dan harmonisasi peraturan perizinan, dan meningkatkan perimgkat indeks
kemudahan bisnis EoDB Indonesia dari 73 ke 40 pada tahun 2024.
Peningkatan investasi akan ditujukan untuk peningkatan
produktivitas, yang akan mendorong peningkatan efisiensi investasi. Efisiensi
ini menjadi penting mengingat Incremental Capital Output Ratio (ICOR)
Indonesia masih tinggi yaitu sebesar 6,3 dibanding dengan negara lain seperti
Vietnam yang hanya 4,31. Tingginya nilai ICOR ini menunjukkan bahwa untuk
meningkatkan output 1 unit diperlukan investasi yang lebih besar di Indonesia.
Akibatnya investor akan memilih negara lain, karena memberikan penambahan
output yang lebih besar. Inefisiensi ini terjadi karena tingginya biaya
pendukung diluar biaya substansi. Oleh karena itu upaya pemerintah melalui
reformasi birokrasi agar biaya yang dikeluarkan semakin efisien. Pada tahun
2024 target nilai ICOR Indonesia sebesar 6.0.
Perbaikan iklim usaha dan peningkatan investasi akan difokuskan
untuk mendukung sektor prioritas nasional: energi, industry pengolahan,
pariwisata, ekonomi kreatif, dan ekonomi digital.
Sealin itu, sebaran investasi juga perlu diperbaiki karena proporsinya
didominasi di Pulau Jawa yang mencapai 56,2 persen. Oleh karena itu diperlukan percepatan
infrastruktur, kepastian lahan, penyiapan tenaga kerja terampil untuk
penyebaran investasi ke luar pulau Jawa. Hal ini berguna untuk mengurangi
dominasi Pulau Jawa dalam perekonomian Indonesia yang menyumbang 58,55 persen
PDB Indonesia.
Terlebih perekonomian Indonesia mengikuti fenomena Firm Follow
People, aktifitas ekonomi mengikuti dimana penduduk terkonsentrasi. Jika
mekanisme pasar dibiarkan bekerja sendiri, maka kesenjangan perekonomian
Indonesia akan semakin lebar. Diperlukan peran serta pemerintah untuk
menyiapkan perangkat dan fasilitas kemudahan investasi di luar Jawa sehingga
perekonomian akan semakin berkembang dan merata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar