Pandemi Covid-19 mengakibatkan resesi ekonomi di
sejumlah negara di dunia, yang terbaru adalah Singapura dan Korea Selatan. Jatuhnya
dua negara di Asia tersebut semakin membayangi Indonesia untuk terseret pada
jurang resesi. Proyeksi dari Kementerian Keuangan, pertumbuhan ekonomi
Indonesia pada triwulan 2 dipastikan negatif dengan perkiraan sebesar -4,3 persen. Indonesia
masih punya kesempatan di triwulan 3 dengan mengoptimalkan sumber daya salah
satunya dengan memacu konsumsi untuk menghindari resesi ekonomi.
Resesi ekonomi terjadi apabila dalam dua triwulan berturut-turut perekonomian mengalami kontraksi atau pertumbuhan ekonomi negatif. Singapura dan Korea Selatan jatuh pada resesi karena pertumbuhan ekonomi di triwulan 1 dan 2 tahun 2020 bernilai negatif. Hal tersebut terjadi karena Singapura dan Korea Selatan perekonomiannya ditopang oleh ekspor dan perdagangan. Ketika terjadi pandemi global, permintaan barang dan jasa di seluruh dunia mengalami penurunan yang mengakibatkan volume ekspor anjlok.
Resesi ekonomi terjadi apabila dalam dua triwulan berturut-turut perekonomian mengalami kontraksi atau pertumbuhan ekonomi negatif. Singapura dan Korea Selatan jatuh pada resesi karena pertumbuhan ekonomi di triwulan 1 dan 2 tahun 2020 bernilai negatif. Hal tersebut terjadi karena Singapura dan Korea Selatan perekonomiannya ditopang oleh ekspor dan perdagangan. Ketika terjadi pandemi global, permintaan barang dan jasa di seluruh dunia mengalami penurunan yang mengakibatkan volume ekspor anjlok.
Bagi Indonesia akan berbeda ceritanya karena
perekonomian ditopang oleh konsumsi rumah tangga dengan andil 56,62 persen pada
tahun 2019. Ekspor hanya berkontribusi 18 persen terhadap perekonomian
Indonesia. Sehingga untuk menghindari pertumbuhan ekonomi negatif pada triwulan
3 dapat dipacu dengan konsumsi rumah tangga.
Ketika negara-negara maju sudah mengalami
kontraksi sejak triwulan 1 2020, Indonesia pada triwulan 1 masih mengalami
perlambatan. Pertumbuhan ekonomi triwulan 2 dipastikan negatif setelah
diberlakukan pembatasan sosial berskala besar yang mengakibatkan penurunan
permintaan barang dan jasa sehingga menurunkan pendapatan sebagian besar penduduk
yang berujung pada penurunan konsumsi/pengeluaran.
Meski net ekspor bernilai positif dan mengalami
peningkatan, hal tersebut disebabkan oleh penurunan impor yang lebih besar,
bukan berasal dari lonjakan ekspor. Padahal lebih dari 90 persen impor Indonesia
merupakan impor bahan baku dan bahan penolong. Menurunnya impor ini menunjukkan
bahwa produksi dalam negeri mengalami penurunan. Penurunan produksi dalam
negeri ini akibat dari penurunan permintaan domestik maupun permintaan global.
Pengerahan sumber daya diperlukan saat ini, untuk
menyelamatkan Indonesia dari jurang resesi. Baik sumber daya untuk pengendalian
covid-19 maupun untuk mendorong pemulihan ekonomi. Kesehatan dan ekonomi harus
seiring sejalan agar pemulihan ekonomi lebih cepat dilakukan. Resesi harus
dihindari karena berdampak negatif terhadap sosial kesejahteraan penduduk.
Indonesia pernah mengalami resesi pada tahun 1998
dengan pertumbuhan ekonomi minus 13,68 persen. Jumlah penduduk miskin saat itu melonjak
menjadi 49,50 juta orang atau meningkat 15,49 juta jika dibandingkan tahun 1996.
Bahkan untuk kembali pada jumlah penduduk miskin sebelum krisis diperlukan
waktu lima tahun. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada kondisi Maret 2020
mencapai 26,42 juta jiwa, dan diperkirakan akan mengalami peningkatan. Agar
peningkatannya tidak besar, kuncinya adalah pemulihan ekonomi pada triwulan 3
ini karena kemiskinan akan dihitung oleh BPS pada September 2020 melalui surveu
sosial ekonomi nasional (Susenas).
Berdasar dari data mobilitas penduduk yang diolah
dari Google Covid-19 community mobility reports, hingga pertengahn Juli 2020
pergerakan penduduk ke tempat kerja masih dibawah normal sebelum terjadi
pandemi. Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun sudah dilakukan pembukaan
kembali, namun kegiatan penduduk masih di bawah normal. Bahkan berdasarkan data
dari OCE bank Mandiri, rata-rata kunjungan ke supermarket maupun pusat
perbelanjaan masih di bawah 50 persen. Dengan tingkat kunjungan yang masih
rendah tersebut, berat bagi pelaku usaha untuk memperoleh keuntungan.
Sektor tradisional akan lebih cepat pulih karena
menyediakan kebutuhan pokok penduduk. Sedangkan untuk sektor leisure akan
lambat pulihnya, karena pengeluaran untuk leisure kurang menjadi prioritas di
tengah ketidakpastian ekonomi saat ini. Membuka sektor hiburan seperti hotel ,
restoran, dan pariwisata bisa dilakukan belakangan karena permintaan pada
sektor ini akan meningkat seiring dengan keberhasilan pengendalian covid-19. Penduduk
kelas atas akan lebih memilih menabung dibandingkan belanja barang kebutuhan
tersier. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya simpanan dana pihak ketiga di
perbankan.
Penduduk rentan miskin di Indonesia pada Maret
2019 mencapai 19,91 juta orang dengan 61,03 persen bekerja pada sektor
informal. Bahkan untuk perkotaan seperti DKI Jakarta, penduduk hampir miskin
yang bekerja pada sektor informal mencapai 75 persen. Kelompok rentan miskin
bekerja sebagai ojek online, pedagang kaki lima, penyedia makan dan minum pada
skala mikro yang semua terdampak oleh pandemi covid-19.
Perpanjangan pemberian BLT dana desa hingga
September merupakan langkah yang tepat untuk pemulihan ekonomi Indonesia. BLT
dana desa ini telah menyedot anggaran dana desa lebih dari 50 persen. Ketepatan
menyalurkan BLT dana desa sangat diperlukan agar meningkatkan konsumsi penduduk
di bulan Juli-September 2020. Bila perlu BLT dana desa diberikan rapel 2 bulan sekaligus
di bulan Agustus. Hal ini agar tidak kehilangan momentum pada proses pemulihan
ekonomi triwulan 3.
Selain itu, bantuan yang sifatnya barang seperti bansos
sembako maupun kartu sembako dalam kondisi saat ini lebih baik diberikan dalam
bentuk tunai. Hal tersebut agar keluarga penerima manfaat (KPM) lebih leluasa
dalam berbelanja sehingga memberikan efek yang lebih besar dalam meningkatkan
permintaan pada sektor ekonomi lainnya.
Permintaan barang dan jasa pada kelompok 40 persen
terbawah ini sangat bergantung pada kelas menengah di Indonesia. ketika
konsumsi kelas menengah turun, maka kelompok 40 persen terbawah akan mengalami
penurunan pendapatan sehingga menurunkan pengeluaran.
Mendorong pengeluaran penduduk kelas menengah ini
penting karena memberikan efek berganda yang lebih besar. Marginal propensity
to consume (MPC)/kecenderungan untuk belanja dari kelas menengah lebih tinggi dibandingkan
dengan kelas bawah dan atas. Tingginya nilai MPC ini akan menimbulkan efek
berganda (multiplier effect) yang lebih besar terhadap perekonomian.
Keputusan pemerintah untuk mencairkan gaji ke-13
PNS/TNI/Polri dan pensiunan pada bulan Agustus sangat tepat untuk mendorong
konsumsi rumah tangga pada triwulan 3. Kebijakan ini lebih efektif mendorong
perekonomian dibandingkan jika dicairkan apa bukan November. Bahkan untuk
BUMN/BUMD dan sejenisnya juga perlu didorong untuk memajukan bonus yang biasa
diberikan di akhir tahun. Semata agar meningkatkan konsumsi penduduk.
Untuk penduduk 40 persen terbawah, tidak hanya
penduduk miskin yang diberikan bantuan langsung tunai, namun juga penduduk
kelas menengah harapan yaitu kelas menengah yang rentan untuk jatuh miskin.
Perluasan data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) oleh kementerian sosial
penting karena akan meningkatkan cakupan penerima bantuan sosial. Perlindungan sosial
tidak hanya diberikan kepada penduduk miskin saja, namun juga kelompok menengah
rentan. Bahkan menurut bank Dunia, terdapat 115 juta orang yang masuk sebagai
aspiring middle class (kelas menengah harapan) yang rentan untuk jatuh miskin.
Dengan konsumsi naik akan mendorong produksi
barang dan jasa dalam negeri. Dalam kondisi inilah kebijakan moneter akan
bernilai efektif. Penurunan suku bunga akan bermanfaat bagi pelaku usaha untuk
meningkatkan produksinya di tengah meningkatnya permintaan. Demikian juga
penduduk yang bekerja pada sektor formal akan kembali bekerja sehingga perekonomian
akan kembali pulih. Demikian juga pemberian bantuan modal terhadap UMKM dan
koperasi akan efektif apabila dibarengi oleh peningkatan permintaan barang dan
jasa di masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar