Halaman

Kamis, 06 Agustus 2020

#109 Memacu Konsumsi Menghindari Resesi


Pandemi Covid-19 mengakibatkan resesi ekonomi di sejumlah negara di dunia, yang terbaru adalah Singapura dan Korea Selatan. Jatuhnya dua negara di Asia tersebut semakin membayangi Indonesia untuk terseret pada jurang resesi. Proyeksi dari Kementerian Keuangan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan 2 dipastikan negatif  dengan perkiraan sebesar -4,3 persen. Indonesia masih punya kesempatan di triwulan 3 dengan mengoptimalkan sumber daya salah satunya dengan memacu konsumsi untuk menghindari resesi ekonomi.
Resesi ekonomi terjadi apabila dalam dua triwulan berturut-turut perekonomian mengalami kontraksi atau pertumbuhan ekonomi negatif. Singapura dan Korea Selatan jatuh pada resesi karena pertumbuhan ekonomi di triwulan 1 dan 2 tahun 2020 bernilai negatif. Hal tersebut terjadi karena Singapura dan Korea Selatan perekonomiannya ditopang oleh ekspor dan perdagangan. Ketika terjadi pandemi global, permintaan barang dan jasa di seluruh dunia mengalami penurunan yang mengakibatkan volume ekspor anjlok.
Bagi Indonesia akan berbeda ceritanya karena perekonomian ditopang oleh konsumsi rumah tangga dengan andil 56,62 persen pada tahun 2019. Ekspor hanya berkontribusi 18 persen terhadap perekonomian Indonesia. Sehingga untuk menghindari pertumbuhan ekonomi negatif pada triwulan 3 dapat dipacu dengan konsumsi rumah tangga.
Ketika negara-negara maju sudah mengalami kontraksi sejak triwulan 1 2020, Indonesia pada triwulan 1 masih mengalami perlambatan. Pertumbuhan ekonomi triwulan 2 dipastikan negatif setelah diberlakukan pembatasan sosial berskala besar yang mengakibatkan penurunan permintaan barang dan jasa sehingga menurunkan pendapatan sebagian besar penduduk yang berujung pada penurunan konsumsi/pengeluaran.
Meski net ekspor bernilai positif dan mengalami peningkatan, hal tersebut disebabkan oleh penurunan impor yang lebih besar, bukan berasal dari lonjakan ekspor. Padahal lebih dari 90 persen impor Indonesia merupakan impor bahan baku dan bahan penolong. Menurunnya impor ini menunjukkan bahwa produksi dalam negeri mengalami penurunan. Penurunan produksi dalam negeri ini akibat dari penurunan permintaan domestik maupun permintaan global.
Pengerahan sumber daya diperlukan saat ini, untuk menyelamatkan Indonesia dari jurang resesi. Baik sumber daya untuk pengendalian covid-19 maupun untuk mendorong pemulihan ekonomi. Kesehatan dan ekonomi harus seiring sejalan agar pemulihan ekonomi lebih cepat dilakukan. Resesi harus dihindari karena berdampak negatif terhadap sosial kesejahteraan penduduk.
Indonesia pernah mengalami resesi pada tahun 1998 dengan pertumbuhan ekonomi minus 13,68 persen. Jumlah penduduk miskin saat itu melonjak menjadi 49,50 juta orang atau meningkat 15,49 juta jika dibandingkan tahun 1996. Bahkan untuk kembali pada jumlah penduduk miskin sebelum krisis diperlukan waktu lima tahun. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada kondisi Maret 2020 mencapai 26,42 juta jiwa, dan diperkirakan akan mengalami peningkatan. Agar peningkatannya tidak besar, kuncinya adalah pemulihan ekonomi pada triwulan 3 ini karena kemiskinan akan dihitung oleh BPS pada September 2020 melalui surveu sosial ekonomi nasional (Susenas).
Berdasar dari data mobilitas penduduk yang diolah dari Google Covid-19 community mobility reports, hingga pertengahn Juli 2020 pergerakan penduduk ke tempat kerja masih dibawah normal sebelum terjadi pandemi. Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun sudah dilakukan pembukaan kembali, namun kegiatan penduduk masih di bawah normal. Bahkan berdasarkan data dari OCE bank Mandiri, rata-rata kunjungan ke supermarket maupun pusat perbelanjaan masih di bawah 50 persen. Dengan tingkat kunjungan yang masih rendah tersebut, berat bagi pelaku usaha untuk memperoleh keuntungan.
Sektor tradisional akan lebih cepat pulih karena menyediakan kebutuhan pokok penduduk. Sedangkan untuk sektor leisure akan lambat pulihnya, karena pengeluaran untuk leisure kurang menjadi prioritas di tengah ketidakpastian ekonomi saat ini. Membuka sektor hiburan seperti hotel , restoran, dan pariwisata bisa dilakukan belakangan karena permintaan pada sektor ini akan meningkat seiring dengan keberhasilan pengendalian covid-19. Penduduk kelas atas akan lebih memilih menabung dibandingkan belanja barang kebutuhan tersier. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya simpanan dana pihak ketiga di perbankan.
Penduduk rentan miskin di Indonesia pada Maret 2019 mencapai 19,91 juta orang dengan 61,03 persen bekerja pada sektor informal. Bahkan untuk perkotaan seperti DKI Jakarta, penduduk hampir miskin yang bekerja pada sektor informal mencapai 75 persen. Kelompok rentan miskin bekerja sebagai ojek online, pedagang kaki lima, penyedia makan dan minum pada skala mikro yang semua terdampak oleh pandemi covid-19.
Perpanjangan pemberian BLT dana desa hingga September merupakan langkah yang tepat untuk pemulihan ekonomi Indonesia. BLT dana desa ini telah menyedot anggaran dana desa lebih dari 50 persen. Ketepatan menyalurkan BLT dana desa sangat diperlukan agar meningkatkan konsumsi penduduk di bulan Juli-September 2020. Bila perlu BLT dana desa diberikan rapel 2 bulan sekaligus di bulan Agustus. Hal ini agar tidak kehilangan momentum pada proses pemulihan ekonomi triwulan 3.
Selain itu, bantuan yang sifatnya barang seperti bansos sembako maupun kartu sembako dalam kondisi saat ini lebih baik diberikan dalam bentuk tunai. Hal tersebut agar keluarga penerima manfaat (KPM) lebih leluasa dalam berbelanja sehingga memberikan efek yang lebih besar dalam meningkatkan permintaan pada sektor ekonomi lainnya.
Permintaan barang dan jasa pada kelompok 40 persen terbawah ini sangat bergantung pada kelas menengah di Indonesia. ketika konsumsi kelas menengah turun, maka kelompok 40 persen terbawah akan mengalami penurunan pendapatan sehingga menurunkan pengeluaran.
Mendorong pengeluaran penduduk kelas menengah ini penting karena memberikan efek berganda yang lebih besar. Marginal propensity to consume (MPC)/kecenderungan untuk belanja dari kelas menengah lebih tinggi dibandingkan dengan kelas bawah dan atas. Tingginya nilai MPC ini akan menimbulkan efek berganda (multiplier effect) yang lebih besar terhadap perekonomian.
Keputusan pemerintah untuk mencairkan gaji ke-13 PNS/TNI/Polri dan pensiunan pada bulan Agustus sangat tepat untuk mendorong konsumsi rumah tangga pada triwulan 3. Kebijakan ini lebih efektif mendorong perekonomian dibandingkan jika dicairkan apa bukan November. Bahkan untuk BUMN/BUMD dan sejenisnya juga perlu didorong untuk memajukan bonus yang biasa diberikan di akhir tahun. Semata agar meningkatkan konsumsi penduduk.
Untuk penduduk 40 persen terbawah, tidak hanya penduduk miskin yang diberikan bantuan langsung tunai, namun juga penduduk kelas menengah harapan yaitu kelas menengah yang rentan untuk jatuh miskin. Perluasan data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) oleh kementerian sosial penting karena akan meningkatkan cakupan penerima bantuan sosial. Perlindungan sosial tidak hanya diberikan kepada penduduk miskin saja, namun juga kelompok menengah rentan. Bahkan menurut bank Dunia, terdapat 115 juta orang yang masuk sebagai aspiring middle class (kelas menengah harapan) yang rentan untuk jatuh miskin.
Dengan konsumsi naik akan mendorong produksi barang dan jasa dalam negeri. Dalam kondisi inilah kebijakan moneter akan bernilai efektif. Penurunan suku bunga akan bermanfaat bagi pelaku usaha untuk meningkatkan produksinya di tengah meningkatnya permintaan. Demikian juga penduduk yang bekerja pada sektor formal akan kembali bekerja sehingga perekonomian akan kembali pulih. Demikian juga pemberian bantuan modal terhadap UMKM dan koperasi akan efektif apabila dibarengi oleh peningkatan permintaan barang dan jasa di masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

#139 Kemiskinan Dalam Tekanan Inflasi

Tren penurunan jumlah penduduk miskin pasca pandemi sedikit terganggu dengan lonjakan inflasi yang terjadi pada akhir tahun 2022. Hal ini di...