Dalam rangka menyediakan perumahan bagi masyarakat pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2020 tentang Penyelenggarakan Tabungan Perumahan Rakyat
(Tapera). Tapera ini diwajibkan untuk PNS/TNI/Polri, karyawan BUMN/BUMD/BUMDes
dan pekerja swasta dengan penghasilan di atas UMR.
Kebijakan ini menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat
karena kepesertaannya bersifat wajib. Bagi pekerja akan dipotong upahnya 2,5
persen dan bagi pemberi kerja berkewajiban menanggung 0,5 persen upah pekerja
dalam pembayaran Tapera. Potongan wajib inilah yang memberatkan pekerja dan
pemberi kerja. Bagi pekerja yang telah memiliki rumah atau pekerja dengan
penghasilan di atas 8 juta rupiah dan bagi bagi pemberi kerja, Tapera ini
sifatnya paksaan. Hal ini karena Tapera sifatnya gotong royong dengan
pembiayaan rumah hanya diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah
(MBR).
Untuk pekerja dengan penghasilan di atas 8 juta rupiah nilai lebih
yang mereka peroleh adalah bagi hasil pemupukan yang berasal dari
investasi/pengembangan dana Tapera. Ingatan tentang PT. Asuransi Jiwasraya
dibawah Kementerian BUMN yang mengalami gagal bayar 16 Triliun Rupiah, jangan
sampai menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap BP Tapera ini.
Pengelolaan dana yang kredibel dan pengawasan yang ketat diperlukan untuk
membangun kepercayaan masyarakat terhadap program perumahan pemerintah ini.
PP ini terbit di tengah pandemi covid-19 ketika penghasilan usaha
dan tenaga kerja mengalami penurunan, Namun kepesertaan untuk pekerja swasta,
paling lambat 7 tahun setelah PP penyelenggaraan Tapera ini diterbitkan yaitu
tahun 2027. Dalam roadmap penyelenggaraan Tapera, fokus tahun 2020-2021 ini
masih mengalihkan kepesertaan PNS dari Taperum ke Tapera. Selanjutnya untuk
tahun 2022-2023 memperluas kepesertaan pada segmen BUMN/BUMD/BUMDes dan
TNI/Polri.
Kondisi Perumahan di Indonesia
Pesatnya
pertumbuhan penduduk di perkotaan akibat pertumbuhan alami dan urbanisasi
menyebabkan peningkatan kebutuhan rumah di perkotaan. Ketidakmampuan secara
ekonomi mengakibatkan 15,95 persen penduduk di perkotaan tinggal dengan cara
menyewa/kontrak. Bahkan di ibukota Jakarta lebih dari sepertiga penduduknya
(36,36 persen) menyewa/mengontrak rumah sebagai tempat tinggal. Hal inilah yang
mendasari diperlukannya upaya penyediaan rumah dan pemukiman yang layak, aman,
dan terjangkau untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia (penduduk).
Kebutuhan
masyarakat berpenghasilan rendah untuk tinggal di dekat tempat bekerja
menyebabkan masyarakat tinggal di hunian tidak layak dan sebagian besar
menempati pemukiman kumuh dan ilegal. Pada kenyataannya baru 38,3 persen rumah
tangga yang menempati rumah layak huni pada tahun 2018. Kelayakan ini dinilai berdasarkan
dari empat aspek yaitu ketahanan bangunan, luas lantai per kapita, air minum,
dan sanitasi.
Kondisi
tersebut diperparah dengan belum optimalnya pembinaan dan pengawasan mengenai
keandalan bangunan dalam pengurangan resiko bencana. Padahal Indonesia sendiri
dikenal sebagai “super market bencana” dimana banyak penduduknya yang tinggal
di wilayah rawan bencana. Hal ini tentu semakin memperberat upaya pemerintah
dalam penyediaan perumahan dan pemukiman yang layak.
Indonesia
telah menunjukkan komitmen yang kuat dalam upaya pencapaian Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (Sustainable Development Goals-SDGs), pada tujuan yang
ke-11 yaitu: kota dan permukiman yang berkelanjutan dengan penyediaan perumahan
dan pemukiman.
Keterbatasan
kepemilikan rumah saat ini mengakibatkan 1 rumah dihuni oleh lebih dari 1
keluarga. Berdasarkan data statistik kesejahteraan rakyat tahun 2019, rata-rata
1 rumah di Indonesia dihuni oleh 1,28 keluarga. Untuk DKI Jakarta, dalam 1
rumah dihuni oleh 1,31 keluarga atau lebih tinggi dari rata-rata nasional.
Sebagian
besar rumah tangga di DKI Jakarta menempati rumah dengan ukuran 20-49 meter
persegi yaitu sebanyak 35,33 persen. Disusul kemudian rumah tangga yang
menempati luas rumah kurang dari 19 meter persegi sebanyak 22,54 persen rumah
tangga. Provinsi lain dengan luas rumah kurang dari 19 meter persegi paling
banyak ada di provinsi Bali yaitu 18,77 persen dan Provinsi DIY dengan
presentase 17,61 persen. Provinsi Bali juga menempati urutan ketiga (29,69
persen) setelah Riau (30,37 persen) dalam persentase rumah tangga yang tinggal
di rumah sewa/kontrak.
Berdasarkan
hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional Maret 2019, dalam sebulan pengeluaran
untuk perumahan menempati urutan terbesar kedua setelah makanan yaitu sebesar
27,24 persen dari seluruh pengeluaran penduduk di perkotaan. Untuk rata-rata
biaya kontrak/sewa rumah paling tinggi di DKI Jakarta kemudian disusul oleh
Provinsi Kepulauan Riau, dan Kalimantan Timur. Bahkan rata-rata harga
sewa/kontrak di DKI Jakarta hampir 6 kali lipat rata-rata harga sewa/kontrak di
Indonesia. Tidak mengherankan jika kemudian ada kamar kos dengan ukuran 2x1
meter untuk menekan pengeluaran sewa tempat tinggal di Jakarta.
Harga
rumah yang tinggi di perkotaan sangat memberatkan bagi pekerja dengan
penghasilan rendah. Bagi MBR mengumpulkan dana untuk pembayaran uang muka
bukanlah perkara mudah dan membutuhkan waktu yang lama. Sehingga program uang
muka 0 persen maupun KPR bersubsidi bisa menjadi alternatif solusi kepemilikin
rumah.
Meski
harus diakui secara lokasi rumah bersubsidi ini terletak di pinggiran jauh dari
pusat kota. Dengan harga tanah yang lebih murah memungkinkan rumah bersubsidi
harga akan terjangkau untuk penduduk kelas menengah bawah. Namun kendala jarak
yang jauh dengan tempat kerja menjadikan penduduk memilih untuk menyewa/kontrak
rumah/kamar kos di kota besar. Jarak yang jauh akan menyita waktu yang lama
dalam perjalanan pulang pergi ke tempat kerja. Oleh karena itu, penyediaan
perumahan harus diikuti juga dengan penyediaan sarana transportasi yang
terintegrasi sehingga aktifitas penduduk dalam bekerja semakin efektif.
Penyediaan akses
perumahan dan pemukiman yang layak, aman, dan terjangkau masih menjadi kendala
bagi pemerintah. Kebijakan pemerintah melalui pemberian kemudahan dan bantuan perumahan
berupa subsidi dan bantuan stimulan pembangunan rumah masih bersifat regresif
dan sangat bergantung pada ketersediaan anggaran pemerintah. Kemampuan
pemerintah belum sebanding dengan kebutuhan perumahan yang terus meningkat
setiap tahun. Semoga program pemerintah
yang baru melalui Tapera ini semoga menjadi solusi bagi MBR untuk memenuhi
kebutuhan tempat tinggal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar