Penyebaran covid-19 masih terus mengalami peningkatan dari jumlah
maupun sebaran wilayahnya. Hingga Sabtu (4/4) telah ada 2.092 orang yang
positif terjangkit covid-19 yang tersebar di 32 provinsi di Indonesia. Untuk
mencegah penyebaran covid-19 lebih luas, pemerintah mengeluarkan himbauan untuk
tidak melakukan mudik ke kampung halaman/desa.
Namun faktanya, sebelum himbauan itu dikeluarkan pun belasan ribu
perantau di Jabodetabek sudah melakukan mudik ke kampung halaman di Jawa
Tengah, Jawa Barat, maupun daerah lainnya. Oleh karena itu diperlukan kesiapan daerah
terutama perdesaan untuk mengantisipasi penyebaran virus yang berasal dari
perantau yang pulang kampung.
Desa menjadi tempat kembali. Ketika kota tidak lagi menawarkan
kesejahteraan, ketika banyak PHK terjadi, ketika perdagangan dan jasa menjadi
sepi, maka pilihan selanjutnya adalah pulang ke desa. Ketiadaan pendapatan di
kota mengakibatkan perantau yang bekerja pada sektor informal akan kembali ke
desa. Akan lebih berat bertahan di kota dengan biaya hidup yang tinggi jika
tidak disertai dengan pendapatan yang memadai.
Pun ketika bertahan di kota, belum tentu terjaring dengan program
perlindungan sosial. Kesadaran perantau untuk melakukan pemutakhiran data
kependudukan juga rendah sehingga secara de jure tidak tercatat pada pemerintah
kota setempat. Untuk mengurangi dampak ekonomi dari covid-19 ini pemerintah
meningkatkan jaring pengaman sosial dengan menaikkan bantuan nominal Program
Keluarga Harapan (PKH) sebesar 25 persen dalam setahun. Program lainnya dengan
meningkatkan penerima kartu sembako dari 15,2 juta menjadi 20 juta penerima
dengan manfaat sebesar Rp. 200 ribu rupiah selama 9 bulan. Peluncuran kartu
prakerja untuk 5,6 pekerja informal dan pelaku usaha mikro kecil, serta
pembebasan biaya listrik 3 bulan untuk 24 juta pelanggan listrik 450VA dan
diskon 50 persen untuk 7 juta pelanggan 900VA bersubsidi. Program pelrindungan
sosial ini ditujukan untuk rumah tangga penerima manfaat yang terdapat di kota
maupun desa.
Kesiapan Desa
Dengan kondisi saat ini diperlukan kesiapan desa untuk menghadapi
dampak dari pandemi covid-19 ini. Perantau yang kembali ke desa ada kemungkinan
membawa serta virus (carrier) meski tanpa gejala yang nampak. Padahal
orang tersebut masih bisa menularkan ke yang lain, terutama bagi penduduk yang
rentan atau imunitasnya rendah. Infeksi virus pada kelompok rentan akan
memberikan efek yang lebih parah sehingga memerlukan perawatan kesehatan.
Selain itu, gelombang pulang kampung ini akan mengakibatkan pengangguran di
perdesaan akan meningkat, sehingga potensi kerawanan sosial juga akan terjadi.
Di perdesaan kesadaran akan bahaya covid-19 ini masih rendah. Tidak
sedikit yang mengabaikan keberadaan covid-19 ini. Masih adanya anggapan bahwa
virus korona hanya ada di perkotaan saja dan tidak akan menyebar di perdesaan.
Tidak sedikit juga masjid/tempat ibadah yang masih menyelenggarakan sholat jamaah atau sholat jumat tanpa
memperhatikan jarak aman. Padahal MUI sudah jelas berfatwa bahwa untuk
sementara melarang sholat jamaah untuk mencegah penyebaran virus, kecuali untuk
daerah yang aman.
Termasuk di antaranya sikap sebagian penduduk yang memaksa untuk
mengurus sendiri jenazah anggota keluarganya yang meninggal karena positif/PDP
covid-19. Padahal jenazah pasien terkonfirmasi atau dalam pantauan pengurusan
jenazahnya harus dengan prosedur tetap covid-19 untuk menghindari penularan
virus.
Di sisi lain, adanya penolakan terhadap jenazah pasien PDP maupun
positif korona terjadi di beberapa tempat di Indonesia. Ketakutan yang
berlebihan akan penyebaran virus tersebut meski sudah diyakinkan bahwa
pemakaman pasien covid-19 sudah sesuai standar WHO sehingga tidak akan menularkan
kembali. Meski demikian masih ada makam yang harus dibongkar bahkan oleh Bupati
karena warga setempat menolak jenazah positif korona dikuburkan di wilayahnya.
Diperlukan edukasi dan pemahaman kepada penduduk untuk penyebaran virus ini dan
berbagai standar pengamanannya
Mudik yang tidak bisa dicegah, sehingga memerlukan peran serta
banyak pihak di daerah/desa untuk mencegah penyebaran covid-19. Di tingkat
desa/kelurahan sudah terbentuk satuan tugas (satgas) covid-19. Penduduk desa pada
umunya lebih mudah diatur adalah pejabat/tokoh masyarakat setempat. Disinilah
peran serta kepala desa/lurah, babinsa, babinkamtibmas, maupun tenaga kesehatan
desa untuk aktif memberikan pemahaman kepada penduduk desa. Pendekatan kepada
tokoh agama setempat diperlukan agar turut serta mensyiarkan bahaya covid-19
sehingga perlu berhati-hati dan tidak menyepelekan.
Diperlukan pemetaan penduduk
desa yang memiliki resiko tinggi seperti lansia, penduduk dengan penyakit
penyerta, dan penduduk atau tamu yang baru datang dari daerah merah (terdapat
kasus korona). Melakukan aturan tegas untuk mengisolasi diri selama 14 hari
untuk penduduk yang baru pulang dari zona merah berguna untuk mencegah
penularan dari penduduk yang positif covid-19 namun tidak bergejala. Tingkat
kepadatan penduduk yang rendah di perdesaan sangat mendukung untuk menerapkan
isolasi mandiri ataupun physical distancing. Namun karakter sosial penduduk
desa yang lebih cair dan dekat, menjadi tantangan sendiri untuk menerapkan jaga
jarak fisik ini..
Edukasi terhadap gejala dan kapan waktunya harus ke fasilitas
kesehatan harus disampaikan kepada penduduk di desa. Dengan tingkat pengetahuan
dan pendidikan yang rendah, kesadaran akan penyakit di perdesaan terkadang
masih kurang. Padahal kecepatan untuk membawa ke fasilitas kesehatan akan
memperkecil tingkat fatalitas pasien. Diperparah lagi tidak semua desa terdapat
fasilitas kesehatan dan jarak yang harus ditempuh juga tidak semuanya dekat. Hasil
dari pendataan Potensi Desa 2018, dari 83.931 desa/kelurahan di Indonesia hanya
10.820 desa/kelurahan yang terdapat fasilitas puskesmas dan 26.162
desa/kelurahan yang ada puskesmas pembantu. Untuk fasilitas kesehatan di
atasnya jumlah desa/kelurahan yang memiliki lebih sedikit lagi.
Oleh karena itu laporan aktif dari penguasa wilayah setempat amat
diperlukan untuk meminimalisir resiko sekaligus menghambat penyebaran lebih
lanjut. Dibandingkan dengan negara lain Case Fatality Rate/CFR (persentase
fatalitas kasus) di Indonesia sebesar 9,13 persen dan menduduki peringkat kedua
di dunia setelah Italia. CFR ini dihitung dengan membagi jumlah kematian akibat
covid-19 dengan jumlah kasus covid-19 yang sudah terkonfirmasi. Kecepatan
pencegahan dan penanganan kasus covid-19 ini amat diperlukan terlebih di
perdesaan yang minim fasilitas kesehatan. Desa harus mempersiapkan dirinya
menghadapi pandemi penyakit ini sekaligus menghadapi dampak sosial ekonomi yang
ditimbulkan. Meski pada akhirnya desa akan kembali ditinggalkan ketika pandemi
mereda dan perekonomian kota pulih kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar