Memasuki
tahun 2020, penduduk Indonesia disambut dengan kenaikan beberapa tarif mulai
dari tarif Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPnJS) kesehata, tarif jalan
tol, hingga kenaikan cukai rokok. Pada tahun ini juga masih dibayangi oleh
perlambatan ekonomi yang diakibatkan oleh ketidakpastian perekonomian global.
Kondisi tersebut akan berdampak pada daya beli penduduk Indonesia. Diperlukan
upaya untuk menjaga daya beli guna mempertahankan kesejahteraan penduduk di
tengah dinamika ekonomi yang terjadi saat ini.
Secara
makro, inflasi atau kenaikan harga barang secara umum tahun 2019 sebesar 2,72
persen atau terendah sejak 2009. Demikian juga di perdesaan sepanjang tahun 2019
mengalami inflasi sebesar 2,83 persen. Meski inflasi tergolong rendah namun
daya beli pada penduduk ekonomi bawah mengalami tekanan. Hal ini tercermin pada
penurunan upah riil buruh bangunan di perkotaan dan buruh tani di perdesaan pada
November 2019. Pada Januari 2019 upah riil buruh bangunan sebesar Rp 65.113 dan
mengalami penurunan menjadi Rp 64.272 pada November 2019. Demikian juga dengan
upah riil buruh tani menurun dari Rp 38.384 menjadi Rp 38.260,-.
Penurunan
upah riil ini mengindasikan bahwa telah terjadi penurunan daya beli pada
penduduk ekonomi bawah yaitu buruh tani dan buruh bangunan. Meski secara
nominal upah buruh tani dan buruh bangunan mengalami kenaikan, namun kenaikannya
lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harga barang konsumsi secara umum.
Yang diharapkan tentu kenaikan upah/hasil usaha melebihi tingkat inflasi
sehingga daya beli tetap terjaga. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan
pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi sehingga permintaan barang/jasa akan
meningkat. Apabila perlambatan ekonomi saat ini terus terjadi, maka akan
berpotensi menurunkan daya beli dan kesejahteraan penduduk Indonesia,
Produk
Domestik Bruto (PDB) Indonesia menurut pengeluaran ditopang oleh konsumsi rumah
tangga dengan kontribusi sebesar 56,62 persen atau menjadi yang terbesar jika
dibandingkan dengan pembentukan modal tetap bruto maupun oleh ekspor
barang/jasa. Sehingga pergerakan yang terjadi pada komponen pengeluran konsumsi
rumah tangga akan sangat berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Menjaga
daya beli berarti menjaga konsumsi rumah tangga dalam mempertahankan
perekonomian nasional.
Pertumbuhan
konsumsi rumah tangga pada triwulan 3 2019 sebesar 5,01 persen atau sedikit
lebih lambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi secara umum yang
mencapai 5,02 persen. Perlambatan ini disebabkan oleh penduduk kelas menengah
atas yang menahan belanja/pengeluaran.
Kenaikan
tarif BPJS akan berdampak pada daya beli penduduk kelas bawah yang tidak
termasuk dalam Penerima Bantuan Iuran (PBI). Saat ini banyak peserta BPJS
mandiri yang berbondong-bondong menurunkan kelas demi mengurangi pengeluaran.
Bagi peserta mandiri, kenaikan iuran ini sangat memberatkan terlebih bagi
penduduk kelas menengah yang berada pada kuintil pengeluaran 3 dan 4.
Untuk
kuintil pengeluaran 3, rata-rata pengeluaran per kapita per bulan sebesar Rp
877.883,-. Dengan kenaikan iuran BPJS menjadi 110 ribu untuk kelas 2 dan 160
ribu untuk kelas 1 mengakibatkan kenaikan pengeluaran penduduk pada kuintil 3
sebesar 6,7 persen untuk kelas 2 dan 9,11 persen untuk kelas 1. Bahkan
tarif BPJS yang baru tersebut mencapai
12,5 persen (kelas 2) dan 18,22 persen (kelas 1) dari seluruh pengeluaran
penduduk kelas menengah pada quintil 3.
Kenaikan
pengeluaran tanpa disertai dengan peningkatan pendapatan akan menurunkan daya
beli dan kesejahteraan penduduk. Apalagi di tengah perlambatan ekonomi yang
sewaktu-waktu bisa mengancam Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) maupun penutupan
usaha sebagai akibat dari penurunan permintaan barang/jasa.
PDB
menurut pengeluaran sangat bergantung pada pengeluaran penduduk kelas menengah
dan atas di Indonesia. Ketika penduduk kelas menengah dan atas menahan
belanjanya, maka akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia secara
umum.
Hal
ini disebabkan porsi pengeluaran kelompok penduduk 20 persen teratas terhadap
seluruh pengeluaran penduduk mencapai 45,48 persen, sedangkan penduduk 40
persen menengah mencapai 36,81 persen. Sedangkan penduduk 40 persen terbawah
hanya menyumbang 17,71 persen dari seluruh pengeluaran/konsumsi penduduk
Indonesia.
Namun
demikian, meski andil pengeluaran penduduk 40 persen terbawah ini sangat kecil
dan pengaruhnya terhadap perekonomian RI juga tidak besar, namun pada kelompok
ini penduduk miskin, rentan miskin, dan hampir miskin berada. Apabila daya beli
dari penduduk pada kelompok ini tidak dijaga, maka akan berpotensi meningkatkan
jumlah penduduk miskin di Indonesia yang saat ini mencapai 25,14 juta jiwa.
Padahal untuk menurunkan jumlah penduduk miskin saat ini pemerintah mengeluarkan
anggaran perlindungan sosial yang sangat besar.
Perlambatan ekonomi juga mengakibatkan
penurunan penyerapan tenaga kerja baru hingga 400 ribu orang. Penyerapan tenaga
kerja baru dalam 1 tahun (Agustus 2018-Agustus 2019) sebanyak 2,55 juta orang
atau lebih kecil jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang
mencapai 2,95 juta orang. Padahal sangat dibutuhkan lebih banyak lapangan
pekerjaan baru untuk menampung angkatan kerja yang terus meningkat setiap
tahun.
Cara
untuk meningkatkan daya beli penduduk adalah dengan mendorong pertumbuhan
ekonomi yang lebih tinggi agar pendapatan penduduk meningkat dan mengendalikan
kenaikan harga barang/jasa. Terlebih harga bahan makanan beras yang menjadi
pengeluaran terbesar bagi penduduk miskin. Meski inflasi 2019 menjadi yang
terendah dalam satu dasawarsa terakhir, namun inflasi bahan makanan mencapai
4,28 persen.
Baik
di perkotaan maupun di perdesaan komoditas bahan makanan selalu menempati
inflasi tertinggi. Di perkotaan bahan makanan mengalami inflasi 0,78 persen
pada Desember 2019, sedangkan di perdesaan bahan makanan mengalami inflasi
sebesar 0,35 persen. Bahkan di perkotaan dalam 7 tahun terkahir, harga bahan
makanan mengalami kenaikan sebesar 53,51 persen atau naik lebih dari
setengahnya.
Dengan kenyataan di
atas, ketika kenaikan beberapa tarif tidak dapat dihindarkan maka memacu
pertumbuhan ekonomi lebih tinggi menjadi sebuah keharusan untuk mempertahankan
daya beli. Bertumpu pada konsumsi rumah tangga tidak selamanya bisa dilakukan,
karena ketika pendapatan tetap/berkurang maka pengeluaran juga akan tertahan/menurun.
Mencari sumber pertumbuhan ekonomi baru dengan meningkatkan ekspor dan membuka
keran investasi akan menjadi solusi bagi perlambatan ekonomi saat ini.
(Dimuat di Koran Republika, 10 Januari 2020)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar