Halaman

Sabtu, 11 Januari 2020

#101 Mempertahankan Daya Beli

Memasuki tahun 2020, penduduk Indonesia disambut dengan kenaikan beberapa tarif mulai dari tarif Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPnJS) kesehata, tarif jalan tol, hingga kenaikan cukai rokok. Pada tahun ini juga masih dibayangi oleh perlambatan ekonomi yang diakibatkan oleh ketidakpastian perekonomian global. Kondisi tersebut akan berdampak pada daya beli penduduk Indonesia. Diperlukan upaya untuk menjaga daya beli guna mempertahankan kesejahteraan penduduk di tengah dinamika ekonomi yang terjadi saat ini.

Secara makro, inflasi atau kenaikan harga barang secara umum tahun 2019 sebesar 2,72 persen atau terendah sejak 2009. Demikian juga di perdesaan sepanjang tahun 2019 mengalami inflasi sebesar 2,83 persen. Meski inflasi tergolong rendah namun daya beli pada penduduk ekonomi bawah mengalami tekanan. Hal ini tercermin pada penurunan upah riil buruh bangunan di perkotaan dan buruh tani di perdesaan pada November 2019. Pada Januari 2019 upah riil buruh bangunan sebesar Rp 65.113 dan mengalami penurunan menjadi Rp 64.272 pada November 2019. Demikian juga dengan upah riil buruh tani menurun dari Rp 38.384 menjadi Rp 38.260,-.
Penurunan upah riil ini mengindasikan bahwa telah terjadi penurunan daya beli pada penduduk ekonomi bawah yaitu buruh tani dan buruh bangunan. Meski secara nominal upah buruh tani dan buruh bangunan mengalami kenaikan, namun kenaikannya lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harga barang konsumsi secara umum. Yang diharapkan tentu kenaikan upah/hasil usaha melebihi tingkat inflasi sehingga daya beli tetap terjaga. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi sehingga permintaan barang/jasa akan meningkat. Apabila perlambatan ekonomi saat ini terus terjadi, maka akan berpotensi menurunkan daya beli dan kesejahteraan penduduk Indonesia,
Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia menurut pengeluaran ditopang oleh konsumsi rumah tangga dengan kontribusi sebesar 56,62 persen atau menjadi yang terbesar jika dibandingkan dengan pembentukan modal tetap bruto maupun oleh ekspor barang/jasa. Sehingga pergerakan yang terjadi pada komponen pengeluran konsumsi rumah tangga akan sangat berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Menjaga daya beli berarti menjaga konsumsi rumah tangga dalam mempertahankan perekonomian nasional.
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan 3 2019 sebesar 5,01 persen atau sedikit lebih lambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi secara umum yang mencapai 5,02 persen. Perlambatan ini disebabkan oleh penduduk kelas menengah atas yang menahan belanja/pengeluaran.
Kenaikan tarif BPJS akan berdampak pada daya beli penduduk kelas bawah yang tidak termasuk dalam Penerima Bantuan Iuran (PBI). Saat ini banyak peserta BPJS mandiri yang berbondong-bondong menurunkan kelas demi mengurangi pengeluaran. Bagi peserta mandiri, kenaikan iuran ini sangat memberatkan terlebih bagi penduduk kelas menengah yang berada pada kuintil pengeluaran 3 dan 4.
Untuk kuintil pengeluaran 3, rata-rata pengeluaran per kapita per bulan sebesar Rp 877.883,-. Dengan kenaikan iuran BPJS menjadi 110 ribu untuk kelas 2 dan 160 ribu untuk kelas 1 mengakibatkan kenaikan pengeluaran penduduk pada kuintil 3 sebesar 6,7 persen untuk kelas 2 dan 9,11 persen untuk kelas 1. Bahkan tarif  BPJS yang baru tersebut mencapai 12,5 persen (kelas 2) dan 18,22 persen (kelas 1) dari seluruh pengeluaran penduduk kelas menengah pada quintil 3.
Kenaikan pengeluaran tanpa disertai dengan peningkatan pendapatan akan menurunkan daya beli dan kesejahteraan penduduk. Apalagi di tengah perlambatan ekonomi yang sewaktu-waktu bisa mengancam Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) maupun penutupan usaha sebagai akibat dari penurunan permintaan barang/jasa.
PDB menurut pengeluaran sangat bergantung pada pengeluaran penduduk kelas menengah dan atas di Indonesia. Ketika penduduk kelas menengah dan atas menahan belanjanya, maka akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia secara umum.
Hal ini disebabkan porsi pengeluaran kelompok penduduk 20 persen teratas terhadap seluruh pengeluaran penduduk mencapai 45,48 persen, sedangkan penduduk 40 persen menengah mencapai 36,81 persen. Sedangkan penduduk 40 persen terbawah hanya menyumbang 17,71 persen dari seluruh pengeluaran/konsumsi penduduk Indonesia.
Namun demikian, meski andil pengeluaran penduduk 40 persen terbawah ini sangat kecil dan pengaruhnya terhadap perekonomian RI juga tidak besar, namun pada kelompok ini penduduk miskin, rentan miskin, dan hampir miskin berada. Apabila daya beli dari penduduk pada kelompok ini tidak dijaga, maka akan berpotensi meningkatkan jumlah penduduk miskin di Indonesia yang saat ini mencapai 25,14 juta jiwa. Padahal untuk menurunkan jumlah penduduk miskin saat ini pemerintah mengeluarkan anggaran perlindungan sosial yang sangat besar.
 Perlambatan ekonomi juga mengakibatkan penurunan penyerapan tenaga kerja baru hingga 400 ribu orang. Penyerapan tenaga kerja baru dalam 1 tahun (Agustus 2018-Agustus 2019) sebanyak 2,55 juta orang atau lebih kecil jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 2,95 juta orang. Padahal sangat dibutuhkan lebih banyak lapangan pekerjaan baru untuk menampung angkatan kerja yang terus meningkat setiap tahun.
Cara untuk meningkatkan daya beli penduduk adalah dengan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi agar pendapatan penduduk meningkat dan mengendalikan kenaikan harga barang/jasa. Terlebih harga bahan makanan beras yang menjadi pengeluaran terbesar bagi penduduk miskin. Meski inflasi 2019 menjadi yang terendah dalam satu dasawarsa terakhir, namun inflasi bahan makanan mencapai 4,28 persen.
Baik di perkotaan maupun di perdesaan komoditas bahan makanan selalu menempati inflasi tertinggi. Di perkotaan bahan makanan mengalami inflasi 0,78 persen pada Desember 2019, sedangkan di perdesaan bahan makanan mengalami inflasi sebesar 0,35 persen. Bahkan di perkotaan dalam 7 tahun terkahir, harga bahan makanan mengalami kenaikan sebesar 53,51 persen atau naik lebih dari setengahnya.
Dengan kenyataan di atas, ketika kenaikan beberapa tarif tidak dapat dihindarkan maka memacu pertumbuhan ekonomi lebih tinggi menjadi sebuah keharusan untuk mempertahankan daya beli. Bertumpu pada konsumsi rumah tangga tidak selamanya bisa dilakukan, karena ketika pendapatan tetap/berkurang maka pengeluaran juga akan tertahan/menurun. Mencari sumber pertumbuhan ekonomi baru dengan meningkatkan ekspor dan membuka keran investasi akan menjadi solusi bagi perlambatan ekonomi saat ini.

(Dimuat di Koran Republika, 10 Januari 2020)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

#139 Kemiskinan Dalam Tekanan Inflasi

Tren penurunan jumlah penduduk miskin pasca pandemi sedikit terganggu dengan lonjakan inflasi yang terjadi pada akhir tahun 2022. Hal ini di...