Desa
menjadi masa depan bagi kehidupan bangsa. Ketika perkotaan sudah jenuh tidak
mampu menampung beban di atasnya dan terjadi penurunan kualitas lingkungan dan
hunian, maka desa menjadi tempat yang dicari untuk kualitas hidup yang lebih
baik.
Terlebih
di era teknologi informasi saat ini, ketika pekerjaan tidak mengharuskan tatap
muka antar personilnya, dan jual beli tidak mengharuskan pertemuan antara
penjual dan pembelinya. Kegiatan ekonomi baik barang dan jasa bisa dilakukan
tanpa mengharuskan adanya pertemuan setiap hari.
Saat
ini, ketimpangan pembangunan desa dan kota telah mengakibatkan urbanisasi
penduduk usia produktif dari desa. Kondisi ini harus segera diantisipasi agar
desa tidak kehilangan sumber daya manusia produktifnya. Fokus dana desa saat
ini untuk pengembangan ekonomi dan peningkatan kualitas sumber daya manusia
diharapkan mampu mengendalikan laju urbanisasi dan lebih menggeliatkan
perekonomian desa.
Menyadari
hal tersebut, pemerintah pusat memberikan perhatian yang semakin besar terhdap .
Hal ini ditandai dengan kucuran dana desa yang terus meningkat setiap tahunnya.
Bahkan untuk tahun 2020 dana desa yang sudah dianggarkan mencapai 72 triliun
rupiah. Dana desa ini bertujuan untuk mempercepat pembangunan desa, baik untuk
pembangunan infrastruktur maupun pembangunan manusia, yang tujuan akhirnya
untuk menyejahterakan penduduk desa.
Perdesaan
masih menjadi kantong kemiskinan di Indonesia dengan tingkat kemiskinan
mencapai 12,85 persen atau 15,15 juta jiwa . Bandingkan dengan perkotaan yang
tingkat kemiskinannya sebesar 6,69 persen atau 9,99 juta jiwa. Oleh karena itu,
salah satu cara untuk mengentaskan kemiskinan di Indonesia dan mengejar
ketertinggalan desa adalah dengan memberikan anggaran untuk menggeliatkan
perekonomian desa.
Tantangan
Desa
Jumlah
desa penerima dana desa tahun 2019 sebanyak 74.953 desa, dengan anggaran 70
triliun rupiah. Rata-rata satu desa menerima kucuran dana sebesar 933,92 juta
rupiah. Kucuran dana desa dalam kurun waktu tahun 2015-2018 telah berhasil menurunkan
jumlah desa tertinggal sebanyak 6.518 desa dan peningkatan desa mandiri
sebanyak 2.665 desa.
Dalam
naskah RPJMN IV tahun 2020-2024 disebutkan target pembenahan dalam pengelolaan
dana desa ada tiga prioritas. Pertama, menyempurnakan pengalokasian dana desa
dengan memperhatikan aspek keadilan dan keberpihakan (afirmasi) dan upaya
pemberdayaan masyarakat desa. Kedua, meningkatkan kesiapan dan kapasitas
pemerintah desa dan kelembagaan desa untuk meningkatkan kinerja pelaksanaan
dana desa. Ketiga, mendorong tranparansi dan akuntabilitas dana desa.
Meningkatkan
kapasitas pemerintah desa dan mendorong transparansi dan akuntabilitas bisa
dilakukan dengan meningkatkan kualifikasi kepala desa sebagai penguasa wilayah
terkecil dalam pemerintahan.
Untuk
mengelola dana desa Rp 934 juta rupiah dalam setahun, tentu membutuhkan
perencanaan program sesuai dengan kebutuhan. Diperlukan pengelola yang
berkualitas sehingga program pembangunan yang dilakukan bukan merupakan
pengulangan dari program sebelumnya. Alih-alih mau menciptakan kesejahteraan
yang merata, yang terjadi bisa jadi kesenjangan ekonomi penduduk desa semakin
melebar.
Kecakapan
kepala desa sebagai pemimpin desa sangat dibutuhkan untuk mengelola anggaran sebesar
itu. Jika menilik dari tingkat pendidikan kepala desa hasil Pendataan Potensi
Desa 2018, terdapat 1.017 kepala desa yang tidak pernah sekolah, 907 kepala
desa yang tidak tamat SD, 1.656 kepala desa yang tamat SD, dan 7.545 kepala
desa yang tamat SLTP. Hal serupa juga terjadi dengan sekretaris desa yang
membantu tugas kepala desa. Terdapat 327 orang sekretaris desa yang belum
pernah sekolah, 461 orang tidak tamat SD, 1.30 orang tamat SD, dan 3.615 orang tamat
SLTP.
Bahwa
tingkat Pendidikan kepala desa bukan faktor utama keberhasilan desa, namun
dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan lebih mudah dalam proses transfer
pengetahuan dan perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi pemanfaatan dana desa
yang besar tersebut.
Dalam
Permendagri No.65 tahun 2017 tentang perubahan atas Permendagri No. 112 Tahun
2014 tentang Pilkades, disebutkan bahwa syarat pendidikan untuk calon kepala
desa adalah minimal tamat SLTP. Sebenarnya dengan kondisi saat ini, diperlukan
kualifikasi pendidikan yang lebih baik untuk mengelola dana desa dengan
anggaran besarnya. Diperlukan lompatan dan percepatan terhadap pemanfaatan dana
desa sehingga memberikan hasil yang optimal terutama pada peningkatan kesejahteraan
penduduk desa. Dalam pemilihan kepala desa, selain dukungan besar dari penduduk
juga diperlukan kualifikasi pendidikan yang tinggi agar lebih optimal.
Ibaratnya
saat ini untuk menjadi karyawan toko atau pelayan di restoran saja disyaratkan
minimal berpendidikan SLTA/sederajat, namun untuk calon kepala desa
pendidikannya hanya minimal SLTP. Tentu diperlukan kualifikasi yang lebih untuk
mampu memimpin penduduk desa sebanyak 6.000 jiwa di Jawa atau 5.000 jiwa di
Pulau Sumatera.
Untuk
pulau Jawa yang rata-rata lama sekolah penduduknya paling tinggi di Indonesia tentu
diperlukan syarat pendidikan yang lebih tinggi dibanding di Luar Jawa. Pada
kenyataannya, untuk di Pulau Jawa masih ada kepala desa yang tidak pernah
sekolah sama sekali yaitu sebanyak 7 orang dengan rincian 3 orang di Jawa
Barat, 1 orang di Jawa Timur, dan 3 orang di Banten. Untuk kades yang tidak
tamat SD terdapat 2 orang di Jawa Barat. Kades tamat SD ada 2 orang di Jawa
Barat, 1 orang di Jawa tengah, 7 orang di Jawa Timur, dan 2 orang di Banten.
Sedangkan yang berpendidikan SMP ada 442 orang di Jawa Barat, 891 orang di Jawa
Tengah, 17 orang di DIY, 472 orang di Jawa Timur, dan 108 orang di Banten.
Menyadari
kesenjangan kualitas pendidikan dan capaian pendidikan penduduk antar provinsi,
maka membedakan aturan persyaratan pendidikan kepala desa ini bisa dilakukan
sebagaimana dengan syarat minimal jumlah penduduk dalam pembentukan desa baru.
Peningkatan
kualitas SDM pengelola desa, sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan masa
depan desa yang memiliki tingkat kesejahteraan tinggi tanpa kehilangan
karakteristik pedesaannya. Desa masa depan adalah desa yang memiliki kualitas
pelayanan publik semaju kota, dengan tingkat kesejahteraan penduduk yang
tinggi, dan menyediakan lingkungan hunian yang masih asri dan bersih.
(Dimuat di Opini Republika, 29 November 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar