Dalam
rangka menuju Indonesia berpenghasilan menengah tinggi yang sejahtera, adil,
dan berkeseinambungan diperlukan percepatan dalam peningkatan kualitas Sumber Daya
Manusia(SDM). Dengan adanya kesenjangan kualitas SDM saat ini, untuk
mengatasinya tidak bisa dengan satu progam yang sama. Alih-alih mau peningkatan
kualitas SDM secara merata, yang terjadi justru kesenjangan kualitas SDM bisa semakin
melebar. Oleh karena itu diperlukan identifikasi permasalahan pada setiap
daerah, dari hulu hingga hilirnya, sehingga diperoleh strategi tepat sesuai
kebutuhan.
Salah
satu agenda pembangunan dalam RPJMN adalah meningkatkan SDM yang berkualitas
dan berdaya saing. Diperlukan cara tidak biasa untuk melompat lebih tinggi.
Karena SDM adalah modal utama pembangunan yang inklusif dan merata di seluruh
wilayah.
Dalam
pemerintahan jilid 2, Presiden Joko Widodo menunjuk Nadiem Anwar Makarim sebagai
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Menurut Presiden Jokowi, hanya melalui
teknologi maka kualitas pendidikan yang sama untuk semua wilayah akan tercapai.
Salah satu alasan Presiden menunjuk mantan CEO Gojek tersebut karena untuk mengelola
sekolah dan pelajar di Indonesia bukan pekerjaan ringan. Ada sekitar 300.000
sekolah dengan pelajar sekitar 50 juta jiwa yang tersebar di 514 kabupaten/kota
di Indonesia.
Harus
diakui, saat ini pendidikan di Indonesia masih menyimpan banyak permasalahan.
Dalam suatu kesempatan, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku kecewa dengan
anggaran jumbo pendidikan yang belum memberikan hasil yang memuaskan. Kemampuan
anak sekolah Indonesia masih dibawah negara jiran. Bahkan dengan Vietnam yang
memiliki anggaran sama 20 persen dari APBN. Secara regional, proporsi anak
sekolah di bawah standar kemampuan minimum tes PISA di Indonesia sebanyak 68,6
persen, sedangkan di Vietnam sebanyak 19,1 persen, dan di Korea selatan hanya
15,5 persen.
Dalam
narasi RPJMN 2020-2024 disebutkan, proporsi anak kelas 9 yang mencapai standar
kemampuan minimum tes PISA untuk membaca sebesar 45 persen, kemampuan sains 45
persen, dan kemampuan matematika hanya 32 persen. Padahal di sisi lain tidak
sedikit siswa Indonesia yang memenangi kompetisi/olimpiade
sains tingkat internasional. Kenyataan ini menunjukkan ada kesenjangan yang
lebar kemampuan antar anak-anak Indonesia.
Demikian
juga dengan hasil Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) menunjukkan bahwa
kompetensi siswa di berbagai wilayah masih sangat jauh tertinggal. Hal ini
terlihat dari rendahnya persentase siswa yang mencapai batas kompetensi
minimum, seperti di Sulawesi Barat untuk membaca (20,92 persen), di Maluku untuk
matematika (12,19 persen), dan di Gorontalo untuk sains (13,52 persen).
Di
sisi lain, kualitas pendidik menjadi faktor utama yang mempengaruhi kualitas
pembelajaran. Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) 2018, menunjukkan kesenjangan
yang lebar kompetensi guru antar provinsi di Indonesia. Dari 34 Provinsi di
Indonesia hanya 13 provinsi yang nilai rata-rata UKG nya memenuhi standar
minimal 55,0.
Dalam
jangka pendek untuk mengatasi kesenjangan kualitas pendidik tersebut dapat
dilakukan dengan menyiapkan seluruh materi pelajaran setiap jenjang pendidikan ke
dalam media digital. Materi pelajaran dalam bentuk visual dengan pengajar berkualitas
sebagaimana guru dari sekolah unggulan di Jakarta. Materi tersebut kemudian
dibagipakaikan secara luas melalui media internet. Jika pun di daerah terluar
dan terpencil belum bisa mengakses internet secara masif, maka materi tersebut
bisa disimpan kemudian diputar pada komputer maupun laptop. Materi digital
tersebut tidak akan menggantikan peran guru, namun sebagai salah satu media
pendukung dalam proses pembelajaran.
Dalam
jangka panjang, diperlukan program nyata yang menyentuh subtansi pada peningkatan
kualitas guru/pendidik di Indonesia. Hal ini harus dimulai dari hulu yaitu pada
peningkatan kualitas calon guru pada Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan
(LPTK). Berdasarkan data dari Kemenristekdikti
hingga tahun 2017, terdapat 450 LPTK dimana lebih dari 300 diantaranya
mendapatkan akreditasi dibawah B. Padahal lembaga inilah yang nantinya akan
memasok 200 hingga 300 ribu sarjana pendidikan di Indonesia setiap tahun.
Karena
guru ini merupakan ujung tombak dalam pendidikan, seyogyanya pendidikan untuk
calon guru ini harus benar-benar ditingkatkan kualitasnya. Kita bisa belajar
kepada negara jiran Singapura bagaimana sistem pendidikan dalam mencetak calon
guru di sana. Tidak hanya kualitas calon
guru dalam menerima ilmu kependidikan, namun juga kecakapan dalam menyampaikan
materi dan mendorong peserta didik untuk terlibat aktif dalam proses
pembelajaran.
Tidak
dapat dipungkiri untuk memberikan pelayanan pendidikan dan menempatkan tenaga
pendidik berkualitas hingga ke pelosok tanah air juga bukan suatu hal yang
mudah. Indonesia yang terbentang dari Sabang hingga Boven Digul yang
dihubungkan oleh lautan pasti berbeda dengan Vietnam atau bahkan Singapura yang
hanya satu hamparan. Jika untuk pemenuhan jumlah tenaga pendidik pemerintah
telah menggulirkan banyak program afirmasi seperti Program Sarjana Mendidik di
daerah 3T hingga Program Guru Garis Depan, maka peningkatan kualitas guru harus
menjadi konsentrasi saat ini.
Pada
bagian hilirnya, pengembangan kompetensi guru dapat dilakukan dengan
memaksimalkan peran Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga
Kependidikan (P4TK) yang tersebar di banyak wilayah Indonesia. Pengembangan
kompetensi guru ini harus mengikuti perkembangan teknologi sehingga output
murid yang dihasilkan tidak hanya sekedar lulus namun juga memiliki kompetensi
sesuai dengan yang diharapkan.
Hasil
pendidikan saat ini juga tercermin dari rata-rata lama sekolah penduduk usia 25
tahun ke atas. Rata-rata lama sekolah paling rendah di Provinsi Papua sebesar 6,52
tahun, paling tinggi di DKI Jakarta sebesar 11,05 tahun, dan rata-rata nasional
8,17 tahun. Artinya bahwa penduduk Papua berusia 25 tahun ke atas rata-rata
mengenyam pendidikan selama 6,52 tahun (kelas 1 SLTP), sedangkan penduduk DKI
rata-rata mengenyam pendidikan selama 11,05 tahun (kelas 3 SLTA).
Kesenjangan
ini mengakibatkan kesempatan untuk memperoleh pekerjaan/penghasilan juga
berbeda sehingga mengakibatkan kesenjangan ekonomi antar penduduk. Memperbaiki
kualitas SDM berarti memperbaiki kesejahteraan penduduk sekaligus mengikis
ketimpangan antar kelompok ekonomi.
(Dimuat Pada Kolom OPini Republika, tanggal 7 November 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar