Tidak
ada seorang pun yang ingin dilahirkan dalam kondisi miskin atau dari
keluarga/negara miskin. Pun ketika kemiskinan tersebut direndahkan, akan ada
rasa tidak terima. Apalagi yang menghina adalah warga negara tetangga.
Sebagaimana karakter dalam bertetangga, meski ada kedekatan namun akan selalu
ada persaingan untuk menjadi yang terbaik. Demikian juga meski permintaan maaf
telah dilakukan, namun harga diri sebagai bangsa terlanjur direndahkan.
Seperti
itulah gambaran ketika seorang pengusaha transportasi asal Malaysia yang
menyebut Indonesia sebagai negara miskin. Sangat wajar jika ada warga negara
Indonesia yang tidak terima. Meskipun pada kenyataannya, kemiskinan masih
menjadi masalah yang membelenggu bangsa Indonesia.
Menurut
laporan Bank Dunia dalam “Poverty and Shared
Prosperity 2018”, Indonesia menjadi penyumbang terbesar kemiskinan ekstrim
di Asia Timur dan Pasifik. Bahkan Indonesia termasuk dalam negara dengan angka kemiskinan
tinggi di dunia bersama dengan India, Bangladesh, Kenya dan Nigeria. Bank Dunia
mencatat jumlah penduduk miskin dengan kategori ekstrim di Indonesia pada tahun
2015 mencapai 18,5 juta jiwa atau 7,2 persen. Dengan alat ukur yang sama, jumlah
penduduk miskin dengan kategori ekstrim di negara jiran seperti Malaysia dan
Thailand berjumlah nol persen. Sedangkan jumlah penduduk dengan kemiskinan
ekstrim di Vietnam 2,3 persen. Indonesia sedikit lebih baik dari Filipina
dengan kemiskinan ekstrim yang mencapai 8,3 persen.
Bank
Dunia melakukan pengukuran kemiskinan ekstrim dengan batas pengeluaran konsumsi
sebesar 1,9 dolar AS PPP(Purchasing Power
Pharity) per hari. Konsep PPP didasarkan atas prinsip hukum satu harga
untuk produk sejenis antar negara. Angka konversi tersebut menunjukkan
banyaknya rupiah yang dikeluarkan untuk membeli barang dan jasa dengan jumlah
sama, dibandingkan dengan barang dan jasa yang dapat dibeli dengan harga 1
dolar AS. Jika dibandingkan dengan Garis Kemiskinan Nasional Maret 2018 setara
dengan 2,5 dolar AS PPP.
Fakta
bahwa Indonesia tertinggal dari negara jiran dalam mengentaskan kemiskinan
ekstrim merupakan hal yang tidak terbantahkan. Akan tetapi, perasaan
“direndahkan” ini bisa menjadi pendorong untuk membebaskan bangsa ini dari
kemiskinan. Kita bisa mencontoh bagaimana rivalitas Korea Selatan dan Jepang
dalam kemajuan teknologi saat ini. Perasaan “balas dendam” Korea Selatan
sebagai negara bekas jajahan Jepang telah menjadi energi positif bagi Korea
Selatan untuk mengejar Jepang dalam berbagai hal. Saat ini inovasi teknologi
telah menjadikan Korea Selatan sebagai salah satu negara maju di Kawasan Asia.
Indonesia
banyak memiliki talenta muda dengan berbagai karya dan inovasi. Hal inilah yang
perlu dikembangkan dengan memberi ruang seluas-luasnya sehingga mampu bersaing
secara global. Salah satunya ekspansi gojek yantg telah membuka lapangan
pekerjaan yang luas bagi penduduk hendaknya bisa menjadi inspirasi bagi anak
muda Indonesia. Upaya peningkatan kualitas SDM unggul dalam menyongsong bonus
demografi, harus dibarengi juga dengan upaya pengentasan kemiskinan.
Harus
diakui, bukan hal yang mudah untuk mengelola Indonesia dengan wilayah yang luas
dan jumlah penduduk yang besar. Prestasi kita dalam menurunkan angka kemiskinan
dari dari 60 persen pada tahun 1970 menjadi 9,41 persen pada Maret 2019 (dengan
garis kemiskinan nasional) layak diapresiasi. Namun demikian, jika luas wilayah
dan kondisi geografis Indonesia merupakan kendala utama dalam pengentasan kemiskinan,
maka sehamparan pulau Jawa seharusnya telah terbebas dari kemiskinan. Pada
kenyataannya meski Pulau Jawa penyumbang 58 persen PDB nasional, namun menjadi
penyumbang terbesar (50,1 persen) kemiskinan di Indonesia. Tingkat kemiskinan
di Jawa pada Maret 2019 masih 8,44 persen yang terbagi dalam kemiskinan
perkotaan 6,46 persen dan kemiskinan pedesaan mencapai 12,25 persen.
Pengentasan
kemiskinan nasional yang tinggal 1 digit ini tidak mudah karena menyisakan
kemiskinan kronis yang sulit untuk dientaskan. Bahkan upaya-upaya yang sudah
dilakukan sebelumnya belum tentu tepat untuk pengentasan kemiskinan kronis ini.
Diperlukan cara tidak biasa untuk menurunkan jumlah penduduk miskin di
Indonesia. Selain melanjutkan program penanggulangan kemiskinan yang telah
berjalan, tidak ada salahnya jika program tersebut yang disusun berbasis
kemiskinan wilayah sesuai dengan karakteristik penduduk miskin.
Menurut
wilayah, sebagian besar penduduk miskin kronis terdapat di Papua, Papua Barat,
dan Maluku (Bappenas, 2019). Dengan karakteristik pendidikan kepala rumah
tangga paling banyak tidak lulus SD (33,4%) dan lulus SD (38,8%), maka program
pemberdayaan tidak mudah untuk dilakukan. Penduduk dengan kemiskinan kronis ini
hampir 60 persen tidak memiliki akses sanitasi layak dan 46,3 persen tidak
memiliki akses untuk air minum layak. Dengan kondisi demikian maka program
untuk perumahan dan air minum layak menjadi prioritas dalam pengentasan
kemiskinan di ketiga wilayah tersebut.
Intervensi makanan yang berkualitas juga
diperlukan mengingat 33,11 persen atau sepertiga
pengeluaran penduduk pedesaan di Papua digunakan untuk membeli sumber
karbohidrat berupa ketela rambat, beras, dan ketela pohon. Sedangkan untuk
sumber protein paling besar yaitu daging babi dengan porsi 3,95 persen dari
pengeluaran. Dengan gambaran konsumsi penduduk miskin yang demikian dapat
menjadi dasar untuk menyusun program penyediaan bahan makanan bergizi bagi
penduduk pedesaan Papua. Tidak boleh terulang kembali bencana kelaparan di
Papua, tanah yang kaya dengan tambang emasnya.
Untuk penduduk rentan miskin, paling banyak terdapat di
Provinsi NTT (27,43%), Aceh (26,3%), dan Lampung (26%). Pendidikan dari kepala
rumah tangga rentan miskin ini paling banyak lulusan SD (37,8%), tidak lulus SD
(25%), dan lulus SMP (15,6%). Karakteristik penduduk rentan miskin ini sangat
mudah untuk jatuh ke dalam jurang kemiskinan apabila terdapat guncangan ekonomi
seperti harga bergejolak, sakit, putus hubungan kerja, dan bencana alam. Bahkan
data panel 2014-2015 menunjukkan ada sebanyak 54 persen rumah tangga di tahun
2014 yang jatuh miskin pada tahun berikutnya.
Ada sekitar 11,8 juta penduduk rentan miskin yang merupakan
kelompok milenial yang saat ini berumur 19-34 tahun. Dengan karakteristik
tersebut, investasi sumber daya manusia untuk kelompok ini harus dilakukan secara
komprehensif sehingga tahan terhadap gejolak ekonomi.
Berbagai
upaya di atas perlu dilakukan secara simultan agar penduduk miskin merdeka dari
belenggu kemiskinannya. Demikian juga memberikan ruang yang luas dalam inovasi
dan kreativitas akan mengangkat harkat martabat negara ini. Kemiskinan harus
segera dientaskan agar harga diri anak bangsa tidak direndahkan karena
kemiskinannya.
(Dimuat di Republika, 24 September 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar