Halaman

Senin, 23 September 2019

#96 Kemiskinan dan Harga Diri


Tidak ada seorang pun yang ingin dilahirkan dalam kondisi miskin atau dari keluarga/negara miskin. Pun ketika kemiskinan tersebut direndahkan, akan ada rasa tidak terima. Apalagi yang menghina adalah warga negara tetangga. Sebagaimana karakter dalam bertetangga, meski ada kedekatan namun akan selalu ada persaingan untuk menjadi yang terbaik. Demikian juga meski permintaan maaf telah dilakukan, namun harga diri sebagai bangsa terlanjur direndahkan.
Seperti itulah gambaran ketika seorang pengusaha transportasi asal Malaysia yang menyebut Indonesia sebagai negara miskin. Sangat wajar jika ada warga negara Indonesia yang tidak terima. Meskipun pada kenyataannya, kemiskinan masih menjadi masalah yang membelenggu bangsa Indonesia.

Menurut laporan Bank Dunia dalam “Poverty and Shared Prosperity 2018”, Indonesia menjadi penyumbang terbesar kemiskinan ekstrim di Asia Timur dan Pasifik. Bahkan Indonesia termasuk dalam negara dengan angka kemiskinan tinggi di dunia bersama dengan India, Bangladesh, Kenya dan Nigeria. Bank Dunia mencatat jumlah penduduk miskin dengan kategori ekstrim di Indonesia pada tahun 2015 mencapai 18,5 juta jiwa atau 7,2 persen. Dengan alat ukur yang sama, jumlah penduduk miskin dengan kategori ekstrim di negara jiran seperti Malaysia dan Thailand berjumlah nol persen. Sedangkan jumlah penduduk dengan kemiskinan ekstrim di Vietnam 2,3 persen. Indonesia sedikit lebih baik dari Filipina dengan kemiskinan ekstrim yang mencapai 8,3 persen.
Bank Dunia melakukan pengukuran kemiskinan ekstrim dengan batas pengeluaran konsumsi sebesar 1,9 dolar AS PPP(Purchasing Power Pharity) per hari. Konsep PPP didasarkan atas prinsip hukum satu harga untuk produk sejenis antar negara. Angka konversi tersebut menunjukkan banyaknya rupiah yang dikeluarkan untuk membeli barang dan jasa dengan jumlah sama, dibandingkan dengan barang dan jasa yang dapat dibeli dengan harga 1 dolar AS. Jika dibandingkan dengan Garis Kemiskinan Nasional Maret 2018 setara dengan 2,5 dolar AS PPP.
Fakta bahwa Indonesia tertinggal dari negara jiran dalam mengentaskan kemiskinan ekstrim merupakan hal yang tidak terbantahkan. Akan tetapi, perasaan “direndahkan” ini bisa menjadi pendorong untuk membebaskan bangsa ini dari kemiskinan. Kita bisa mencontoh bagaimana rivalitas Korea Selatan dan Jepang dalam kemajuan teknologi saat ini. Perasaan “balas dendam” Korea Selatan sebagai negara bekas jajahan Jepang telah menjadi energi positif bagi Korea Selatan untuk mengejar Jepang dalam berbagai hal. Saat ini inovasi teknologi telah menjadikan Korea Selatan sebagai salah satu negara maju di Kawasan Asia.
Indonesia banyak memiliki talenta muda dengan berbagai karya dan inovasi. Hal inilah yang perlu dikembangkan dengan memberi ruang seluas-luasnya sehingga mampu bersaing secara global. Salah satunya ekspansi gojek yantg telah membuka lapangan pekerjaan yang luas bagi penduduk hendaknya bisa menjadi inspirasi bagi anak muda Indonesia. Upaya peningkatan kualitas SDM unggul dalam menyongsong bonus demografi, harus dibarengi juga dengan upaya pengentasan kemiskinan.
Harus diakui, bukan hal yang mudah untuk mengelola Indonesia dengan wilayah yang luas dan jumlah penduduk yang besar. Prestasi kita dalam menurunkan angka kemiskinan dari dari 60 persen pada tahun 1970 menjadi 9,41 persen pada Maret 2019 (dengan garis kemiskinan nasional) layak diapresiasi. Namun demikian, jika luas wilayah dan kondisi geografis Indonesia merupakan  kendala utama dalam pengentasan kemiskinan, maka sehamparan pulau Jawa seharusnya telah terbebas dari kemiskinan. Pada kenyataannya meski Pulau Jawa penyumbang 58 persen PDB nasional, namun menjadi penyumbang terbesar (50,1 persen) kemiskinan di Indonesia. Tingkat kemiskinan di Jawa pada Maret 2019 masih 8,44 persen yang terbagi dalam kemiskinan perkotaan 6,46 persen dan kemiskinan pedesaan mencapai 12,25 persen.
Pengentasan kemiskinan nasional yang tinggal 1 digit ini tidak mudah karena menyisakan kemiskinan kronis yang sulit untuk dientaskan. Bahkan upaya-upaya yang sudah dilakukan sebelumnya belum tentu tepat untuk pengentasan kemiskinan kronis ini. Diperlukan cara tidak biasa untuk menurunkan jumlah penduduk miskin di Indonesia. Selain melanjutkan program penanggulangan kemiskinan yang telah berjalan, tidak ada salahnya jika program tersebut yang disusun berbasis kemiskinan wilayah sesuai dengan karakteristik penduduk miskin.
Menurut wilayah, sebagian besar penduduk miskin kronis terdapat di Papua, Papua Barat, dan Maluku (Bappenas, 2019). Dengan karakteristik pendidikan kepala rumah tangga paling banyak tidak lulus SD (33,4%) dan lulus SD (38,8%), maka program pemberdayaan tidak mudah untuk dilakukan. Penduduk dengan kemiskinan kronis ini hampir 60 persen tidak memiliki akses sanitasi layak dan 46,3 persen tidak memiliki akses untuk air minum layak. Dengan kondisi demikian maka program untuk perumahan dan air minum layak menjadi prioritas dalam pengentasan kemiskinan di ketiga wilayah tersebut.
 Intervensi makanan yang berkualitas juga diperlukan mengingat 33,11 persen atau sepertiga pengeluaran penduduk pedesaan di Papua digunakan untuk membeli sumber karbohidrat berupa ketela rambat, beras, dan ketela pohon. Sedangkan untuk sumber protein paling besar yaitu daging babi dengan porsi 3,95 persen dari pengeluaran. Dengan gambaran konsumsi penduduk miskin yang demikian dapat menjadi dasar untuk menyusun program penyediaan bahan makanan bergizi bagi penduduk pedesaan Papua. Tidak boleh terulang kembali bencana kelaparan di Papua, tanah yang kaya dengan tambang emasnya.
Untuk penduduk rentan miskin, paling banyak terdapat di Provinsi NTT (27,43%), Aceh (26,3%), dan Lampung (26%). Pendidikan dari kepala rumah tangga rentan miskin ini paling banyak lulusan SD (37,8%), tidak lulus SD (25%), dan lulus SMP (15,6%). Karakteristik penduduk rentan miskin ini sangat mudah untuk jatuh ke dalam jurang kemiskinan apabila terdapat guncangan ekonomi seperti harga bergejolak, sakit, putus hubungan kerja, dan bencana alam. Bahkan data panel 2014-2015 menunjukkan ada sebanyak 54 persen rumah tangga di tahun 2014 yang jatuh miskin pada tahun berikutnya.
Ada sekitar 11,8 juta penduduk rentan miskin yang merupakan kelompok milenial yang saat ini berumur 19-34 tahun. Dengan karakteristik tersebut, investasi sumber daya manusia untuk kelompok ini harus dilakukan secara komprehensif sehingga tahan terhadap gejolak ekonomi.
Berbagai upaya di atas perlu dilakukan secara simultan agar penduduk miskin merdeka dari belenggu kemiskinannya. Demikian juga memberikan ruang yang luas dalam inovasi dan kreativitas akan mengangkat harkat martabat negara ini. Kemiskinan harus segera dientaskan agar harga diri anak bangsa tidak direndahkan karena kemiskinannya.

(Dimuat di Republika, 24 September 2019)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

#138 Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas

  (Dimuat di Kolom Opini Republika, 25 November 2022) Perekonomian Indonesia mampu tumbuh mengesankan di tengah ancaman resesi global saat i...