Peringatan
kemerdekaan Republik Indonesia tahun ini dirayakan oleh lebih dari 265 juta
penduduk Indonesia. Setelah 74 tahun merdeka telah terjadi berbagai dinamika penduduk
yang harus dicermati untuk menentukan strategi dalam pembangunan ekonomi maupun
pembangunan manusia sebagaimana yang menjadi fokus pemerintahan Presiden Joko Widodo
saat ini.
Dalam
pembangunan manusia diperlukan satu data tentang sebaran, karakteristik, dan
variabel kependudukan guna memastikan bahwa upaya yang dilakukan tepat sasaran.
Meski pemerintah telah memiliki satu data kependudukan berdasar NIK, namun
kesadaran penduduk untuk melakukan pemutakhiran data masih rendah. Sebagai
contoh ketika terjadi migrasi, belum semua penduduk melakukan pengurusan
perpindahan alamat. Demikian juga dengan status perkawinan, kematian, agama,
maupun pekerjaan tidak semua dimutakhirkan. Padahal variabel tersebut sangat
penting dalam menentukan arah kebijakan terkait program kependudukan di
Indonesia.
Migrasi
merupakan salah satu faktor yang memengaruhi dinamika penduduk. Pola migrasi
cenderung menuju daerah perkotaan mengakibatkan ketimpangan pembangunan antar
wilayah dan antar perdesaan dan perkotaan.
Data
kependudukan sebelum kemerdekaan diperoleh dari sensus penduduk yang dilakukan
oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930 dengan jumlah penduduk Indonesia
sekitar 60,9 juta jiwa. Pasca kemerdekaan sensus penduduk dilakukan pertama
kali pada tahun 1961 dengan jumlah penduduk Indonesia sebanyak 97,08 juta jiwa.
Pada masa tersebut Indonesia menempati urutan kelima dengan jumlah penduduk
terbanyak di dunia setelah RRC (669 juta jiwa/hasil sensus 1958), India (438
juta jiwa /hasil sensus 1961), Uni Soviet (214,40 juta jiwa/hasil hasil sensus
1960) dan Amerika Serikat (182,49 juta jiwa/hasil sensus 1961).
Pada
sensus pertama, sebanyak 64,95 persen penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa.
Provinsi yang paling banyak penduduknya saat itu adalah Jawa Timur dengan jumlah
penduduk 21,82 juta jiwa, kemudian provinsi Jawa Tengah 18,41 juta jiwa, dan
Provinsi Jawa Barat 17,61 juta jiwa. Penduduk DKI Jakarta saat itu berjumlah 2,97
juta jiwa dengan kepadatan penduduk Jakarta 5.152 jiwa per kilometer persegi.
Dalam
6 periode sensus penduduk, persentase penduduk Indonesia yang tinggal di pulau Jawa
mengalami penurunan dari 64 persen menjadi 57 persen pada sensus penduduk 2010.
Demikian juga Jawa Timur sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak digantikan
oleh Jawa Barat pada sensus penduduk tahun 1990 dan terus bertahan hingga saat
ini.
Jawa
Barat memegang rekor jumlah penduduk terbanyak di Indonesia tidak terlepas dari
arus migrasi yang tinggi. Jika sampai tahun 2000, DKI Jakarta masih menduduki
rekor terbanyak jumlah migrasi masuknya, maka mulai tahun 2005 jumlah migran
masuk paling tinggi terjadi di Jawa Barat. Berdasar sensus penduduk 2010,
migrasi seumur hidup yang masuk ke DKI Jakarta sebanyak 4,07 juta jiwa dan yang
masuk ke Jawa Barat sebanyak 5,22 juta jiwa. Sedangkan untuk provinsi yang lain
migrasi seumur hidup yang masuk berkisar 60 ribu hingga 2 juta jiwa.
Jika
puluhan tahun sebelumnya hanya DKI Jakarta yang
migrasi netto (migrasi masuk dikurangi migrasi keluar) nya positif, maka
mulai hasil sensus penduduk 1990 menunjukkan migrasi netto di Jawa Barat menyusul
positif yaitu sebesar 656.747 jiwa. Sejak saat itu migrasi netto di DKI Jakarta
terus mengalami penurunan, sedangkan migrasi netto di Jawa barat mengalami
peningkatan dan menduduki posisi tertinggi di Indonesai.
Pun
ketika terjadi pemekaran Provinsi Banten, jumlah migrasi netto di Jawa Barat
dan Banten sangat tinggi melebihi DKI Jakarta. Perekonomian DKI Jakarta beserta
kota penyangganya seperti Depok, Bogor, Bekasi, dan Tangerang telah menjadi magnet
bagi penduduk untuk melakukan migrasi
Sejak
1970-an, sumbangan perekonomian dalam pembentukan Produk Domestik Bruto relatif
tetap dihasilkan oleh daerah-daerah yang sama. Jawa merupakan daerah
perekonomian utama dengan sumbangan yang terbesar mencapai lebih dari 58 persen
(BPS,2018). Ini berarti bahwa era otonomi daerah tidak merubah menggeser
dominasi Pulau Jawa dalam perekonomian nasional.
Demikian
juga dengan DKI Jakarta yang menempati urutan tertinggi dalam perannya
membentuk PDB nasional (17,34 persen). Sementara pulau Sumatera sumbangannya
berkisar 23 persen; Kalimantan memberi sumbangan 8,2 persen; sedangkan Sulawesi
dan Indonesia Timur selebihnya dalam kurun waktu itu stabil dengan sumbangan
yang kurang dari lima persen.
Situasi
tersebut di atas menunjukkan bahwa pemusatan (konsentrasi) aktivitas ekonomi
sejak 1970-an di Indonesia tidak banyak berubah. Keadaan ini juga berjalan
seiring dengan dinamika demografi, tujuan utama migrasi di Indonesia adalah
provinsi-provinsi yang menawarkan kesempatan bagi perbaikan keadaan
sosial-ekonomi. Jakarta tetap merupakan kota migran utama atau inti, tetapi
yang juga perlu diperhatikan adalah meningkatnya peran wilayah-wilayah di
sekitar Jakarta. Meski melakukan aktivitas ekonomi di Jakarta, namun para migran
ini lebih banyak tinggal di kota-kota sekitar Jakarta meliputi Depok, Bogor,
Tangerang, dan Bekasi. Pertumbuhan penduduk di kota-kota tersebut selalu tinggi
yang disebabkan oleh migrasi masuk penduduk.
.
Kondisi demikian mengakibatkan beban berat bagi Jakarta beserta kota-kota
penyanggga sehingga diperlukan pusat pertumbuhan ekonomi baru. Rencana
pemindahan ibukota negara Indonesia ke Luar Jawa (Kalimantan Timur) merupakan
salah satu cara untuk memeratakan pertumbuhan ekonomi dan penduduk di Indonesia.
Dalam
kaitan itu, percepatan pembangunan kota-kota kecil dan menengah yang telah
berjalan selama ini harus terus ditingkatkan, terutama di luar Pulau Jawa. Di
sisi lain, pembangunan perdesaan harus terus didorong melalui pemanfaatan dana
desa. Pengembangan industri pasca panen terutama bagi kawasan yang berbasis
pertanian dan kelautan; peningkatan kapasitas sumber daya manusia di perdesaan
khususnya dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam melalui penguasaan
ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna. Hal ini dilakukan untuk mengendalikan
arus migrasi dari perdesaan ke perkotaan.
Berdasarkan
analisis migran yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2017, kecenderungan
laki-laki untuk melakukan migrasi di Indonesia semakin meningkat menjadi 52,4
persen dibanding tahun sebelumnya yaitu 50,73 persen. Demikian juga dirinci
menurut kelompok umur, sebagian besar migran berada pada kelompok umur 20-29
tahun yaitu sebesar 36,7 persen. Sedangkan dari pendidikan yang ditamatkan,
sebagian besar migran (43,4 persen) berpendidikan SMA/sederajat ke atas.
Jika
hal tersebut di atas terus dibiarkan, maka perdesaan/daerah akan semakin kehilangan
sumber daya manusia produktifnya. Oleh karena itu dinamika penduduk ini perlu
dicermati guna merumuskan rencana pembangunan ekonomi dan pembangunan manusia
yang unggul dan maju.
mantab, menginspirasi...
BalasHapusterimakasih Pak warsidi
BalasHapus