Halaman

Kamis, 05 September 2019

#95 Dinamika Kependudukan


Peringatan kemerdekaan Republik Indonesia tahun ini dirayakan oleh lebih dari 265 juta penduduk Indonesia. Setelah 74 tahun merdeka telah terjadi berbagai dinamika penduduk yang harus dicermati untuk menentukan strategi dalam pembangunan ekonomi maupun pembangunan manusia sebagaimana yang menjadi fokus pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini.
Dalam pembangunan manusia diperlukan satu data tentang sebaran, karakteristik, dan variabel kependudukan guna memastikan bahwa upaya yang dilakukan tepat sasaran. Meski pemerintah telah memiliki satu data kependudukan berdasar NIK, namun kesadaran penduduk untuk melakukan pemutakhiran data masih rendah. Sebagai contoh ketika terjadi migrasi, belum semua penduduk melakukan pengurusan perpindahan alamat. Demikian juga dengan status perkawinan, kematian, agama, maupun pekerjaan tidak semua dimutakhirkan. Padahal variabel tersebut sangat penting dalam menentukan arah kebijakan terkait program kependudukan di Indonesia.

Migrasi merupakan salah satu faktor yang memengaruhi dinamika penduduk. Pola migrasi cenderung menuju daerah perkotaan mengakibatkan ketimpangan pembangunan antar wilayah dan antar perdesaan dan perkotaan.
Data kependudukan sebelum kemerdekaan diperoleh dari sensus penduduk yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930 dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 60,9 juta jiwa. Pasca kemerdekaan sensus penduduk dilakukan pertama kali pada tahun 1961 dengan jumlah penduduk Indonesia sebanyak 97,08 juta jiwa. Pada masa tersebut Indonesia menempati urutan kelima dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia setelah RRC (669 juta jiwa/hasil sensus 1958), India (438 juta jiwa /hasil sensus 1961), Uni Soviet (214,40 juta jiwa/hasil hasil sensus 1960) dan Amerika Serikat (182,49 juta jiwa/hasil sensus 1961).
Pada sensus pertama, sebanyak 64,95 persen penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa. Provinsi yang paling banyak penduduknya saat itu adalah Jawa Timur dengan jumlah penduduk 21,82 juta jiwa, kemudian provinsi Jawa Tengah 18,41 juta jiwa, dan Provinsi Jawa Barat 17,61 juta jiwa. Penduduk DKI Jakarta saat itu berjumlah 2,97 juta jiwa dengan kepadatan penduduk Jakarta 5.152 jiwa per kilometer persegi.
Dalam 6 periode sensus penduduk, persentase penduduk Indonesia yang tinggal di pulau Jawa mengalami penurunan dari 64 persen menjadi 57 persen pada sensus penduduk 2010. Demikian juga Jawa Timur sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak digantikan oleh Jawa Barat pada sensus penduduk tahun 1990 dan terus bertahan hingga saat ini.
Jawa Barat memegang rekor jumlah penduduk terbanyak di Indonesia tidak terlepas dari arus migrasi yang tinggi. Jika sampai tahun 2000, DKI Jakarta masih menduduki rekor terbanyak jumlah migrasi masuknya, maka mulai tahun 2005 jumlah migran masuk paling tinggi terjadi di Jawa Barat. Berdasar sensus penduduk 2010, migrasi seumur hidup yang masuk ke DKI Jakarta sebanyak 4,07 juta jiwa dan yang masuk ke Jawa Barat sebanyak 5,22 juta jiwa. Sedangkan untuk provinsi yang lain migrasi seumur hidup yang masuk berkisar 60 ribu hingga 2 juta jiwa.
Jika puluhan tahun sebelumnya hanya DKI Jakarta yang  migrasi netto (migrasi masuk dikurangi migrasi keluar) nya positif, maka mulai hasil sensus penduduk 1990 menunjukkan migrasi netto di Jawa Barat menyusul positif yaitu sebesar 656.747 jiwa. Sejak saat itu migrasi netto di DKI Jakarta terus mengalami penurunan, sedangkan migrasi netto di Jawa barat mengalami peningkatan dan menduduki posisi tertinggi di Indonesai.
Pun ketika terjadi pemekaran Provinsi Banten, jumlah migrasi netto di Jawa Barat dan Banten sangat tinggi melebihi DKI Jakarta. Perekonomian DKI Jakarta beserta kota penyangganya seperti Depok, Bogor, Bekasi, dan Tangerang telah menjadi magnet bagi penduduk untuk melakukan migrasi
Sejak 1970-an, sumbangan perekonomian dalam pembentukan Produk Domestik Bruto relatif tetap dihasilkan oleh daerah-daerah yang sama. Jawa merupakan daerah perekonomian utama dengan sumbangan yang terbesar mencapai lebih dari 58 persen (BPS,2018). Ini berarti bahwa era otonomi daerah tidak merubah menggeser dominasi Pulau Jawa dalam perekonomian nasional.

Demikian juga dengan DKI Jakarta yang menempati urutan tertinggi dalam perannya membentuk PDB nasional (17,34 persen). Sementara pulau Sumatera sumbangannya berkisar 23 persen; Kalimantan memberi sumbangan 8,2 persen; sedangkan Sulawesi dan Indonesia Timur selebihnya dalam kurun waktu itu stabil dengan sumbangan yang kurang dari lima persen.
Situasi tersebut di atas menunjukkan bahwa pemusatan (konsentrasi) aktivitas ekonomi sejak 1970-an di Indonesia tidak banyak berubah. Keadaan ini juga berjalan seiring dengan dinamika demografi, tujuan utama migrasi di Indonesia adalah provinsi-provinsi yang menawarkan kesempatan bagi perbaikan keadaan sosial-ekonomi. Jakarta tetap merupakan kota migran utama atau inti, tetapi yang juga perlu diperhatikan adalah meningkatnya peran wilayah-wilayah di sekitar Jakarta. Meski melakukan aktivitas ekonomi di Jakarta, namun para migran ini lebih banyak tinggal di kota-kota sekitar Jakarta meliputi Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Pertumbuhan penduduk di kota-kota tersebut selalu tinggi yang disebabkan oleh migrasi masuk penduduk.
. Kondisi demikian mengakibatkan beban berat bagi Jakarta beserta kota-kota penyanggga sehingga diperlukan pusat pertumbuhan ekonomi baru. Rencana pemindahan ibukota negara Indonesia ke Luar Jawa (Kalimantan Timur) merupakan salah satu cara untuk memeratakan pertumbuhan ekonomi dan penduduk di Indonesia.
Dalam kaitan itu, percepatan pembangunan kota-kota kecil dan menengah yang telah berjalan selama ini harus terus ditingkatkan, terutama di luar Pulau Jawa. Di sisi lain, pembangunan perdesaan harus terus didorong melalui pemanfaatan dana desa. Pengembangan industri pasca panen terutama bagi kawasan yang berbasis pertanian dan kelautan; peningkatan kapasitas sumber daya manusia di perdesaan khususnya dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna. Hal ini dilakukan untuk mengendalikan arus migrasi dari perdesaan ke perkotaan.
Berdasarkan analisis migran yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2017, kecenderungan laki-laki untuk melakukan migrasi di Indonesia semakin meningkat menjadi 52,4 persen dibanding tahun sebelumnya yaitu 50,73 persen. Demikian juga dirinci menurut kelompok umur, sebagian besar migran berada pada kelompok umur 20-29 tahun yaitu sebesar 36,7 persen. Sedangkan dari pendidikan yang ditamatkan, sebagian besar migran (43,4 persen) berpendidikan SMA/sederajat ke atas.
Jika hal tersebut di atas terus dibiarkan, maka perdesaan/daerah akan semakin kehilangan sumber daya manusia produktifnya. Oleh karena itu dinamika penduduk ini perlu dicermati guna merumuskan rencana pembangunan ekonomi dan pembangunan manusia yang unggul dan maju.

2 komentar:

#138 Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas

  (Dimuat di Kolom Opini Republika, 25 November 2022) Perekonomian Indonesia mampu tumbuh mengesankan di tengah ancaman resesi global saat i...