Disrupsi ekonomi yang
terjadi saat ini membawa tantangan sekaligus peluang dalam bidang ketenagakerjaan di Indonesia.
Pemutusan hubungan kerja akibat tutupnya beberapa gerai/usaha dan upaya penyediaan
lapangan pekerjaan baru menjadi dua hal yang saling berkejaran seiring dengan
peningkatan jumlah angkatan kerja. Tantangan lainnya adalah bagaimana agar
penduduk yang telah bekerja memperoleh hasil yang layak dan mencukupi untuk
mencapai kesejahteraan.
Jumlah angkatan
kerja pada Februari 2019 mencapai 136,18 juta orang atau meningkat 10,88 juta
orang jika dibandingkan tahun 2014 yang berjumlah 125,3 juta orang. Demikian
juga pada periode 2009-2014 terjadi peningkatan jumlah angkatan kerja sebanyak
11,56 juta orang. Artinya dalam lima tahun jumlah angkatan kerja di Indonesia
bertambah lebih dari 10 juta orang. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi
periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam menyediakan lapangan
pekerjaan bagi angkatan kerja yang bertambah 2,24 juta orang per tahun.
Dalam
periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi, tingkat pengangguran terbuka di
Indonesia mengalami penurunan dari 5,7 persen pada Februari 2014 menjadi 5,01 persen
pada Februari 2019. Jumlah pengangguran di Indonesia berjumlah 6,82 juta jiwa
(Sakernas, Februari 2019). Meskipun demikian, jumlah tersebut merupakan jumlah
yang besar karena lebih banyak dari penduduk Singapura yang berjumlah sekitar
5,6 juta jiwa.
Arus
digitalisasi tidak hanya mengubah struktur lapangan usaha saja, namun juga
menciptakan peluang pekerjaan baru. Hal ini terbukti dengan pertumbuhan ekonomi
5,01 persen masih mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 2,29 juta orang dalam
satu tahun terakhir. Dibandingkan dengan tahun 2014 silam, pertumbuhan ekonomi
saat ini lebih berkualitas dari segi penyerapan tenaga kerja. Lima tahun yang
lalu dengan pertumbuhan ekonomi 5,2 persen hanya mampu menyerap tenaga kerja
sebanyak 1,7 juta orang.
Yang
diharapkan tentu tidak sekedar tingkat pengangguran menurun, namun yang lebih
penting bagaimana agar pekerjaan tersebut mampu memberikan hasil yang layak dan
mencukupi untuk mencapai kesejahteraan. Diperlukan analisis situasi
ketenagakerjaan di Indonesai agar angkatan kerja yang terus meningkat setiap
tahun mampu memberikan manfaat secara ekonomi nasional sekaligus mampu meningkatkan
kesejahteraan penduduk Indonesia. Hal ini menjadi penting karena ketidakmerataan
ekonomi dan ketiadaan lapangan pekerjaan dapat memicu berbagai masalah masalah
sosial di masayarakat.
Dirinci menurut tingkat Pendidikan,
sebagian besar penduduk bekerja di Indonesia berpendidikan SD ke bawah (40,51
persen). Sebagian besar bekerja sebagai buruh/karyawan dengan rata-rata upah
yang diterima oleh lulusan SD ini sebesar 1,814 juta rupiah per bulan. Nilai
ini masih dibawah garis kemiskinan untuk rumah tangga miskin yang nilainya
sebesar 1,99 juta rupiah per bulan (Susenas Maret 2019). Tidak mengherankan
jika kemudian masih banyak penduduk yang miskin meski yang bersangkutan bekerja
atau berusaha.
Demikian
juga untuk pekerja bebas yang upahnya hanya 1,07 juta rupiah/bulan untuk sektor
pertanian, dan 1,64 juta rupiah/bulan untuk sektor non pertanian. Dengan
kenyataan tersebut dapat tergambar bahwa bekerja saja belum cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidup yang layak. Untuk bisa memperoleh pendapatan buruh di
atas garis kemiskinan rumah tangga, diperlukan pendidikan minimal SMP/sederajat
dengan upah rata-rata 2,063 juta rupiah per bulan.
Dalam
lima tahun terakhir peningkatan angkatan kerja di Indonesia terdiri dari
lulusan SMK (39,12 persen), lulusan Universitas (37,81 persen), lulusan SMA
(36,67 persen), lulusan SMP (13,21 persen), dan lulusan diploma (5,45 persen). Sedangkan
angkatan kerja untuk lulusan SD ke bawah mengalami penurunan 33,17 persen.
Artinya bahwa tingkat Pendidikan angkatan kerja di Indonesia semakin baik dan.hal
ini menjadi peluang sekaligus tantangan. Semakin tinggi tingkat Pendidikan
berarti kompetensi yang dimiliki oleh pekerja di Indonesia semakin baik
sehingga upah yang diperoleh juga semakin layak.
Yang
menjadi tantangan ke depan adalah pengangguran di Indonesia masih didominasi
oleh penduduk dengan pendidikan tinggi. Dari 6,82 juta pengangguran di
Indonesia terdiri 13,13 persen lulusan perguruan tinggi, 8,63 persen lulusan
SMK, 6,78 persen lulusan SMA, 5,04 persen lulusan SMP, dan 2,65 persen lulusan SD.
Semakin tinggi tingkat pendidikan, justru menjadi penyumbang terbesar angka
pengangguran di Indonesia. Hal ini karena bagi penduduk berpendidikan rendah
mereka cenderung tidak memilih-milih pekerjaan dan menerima pekerjaan yang ada.
Selain itu penduduk berpendidikan rendah ini sebagian besar berasal dari
keluarga yang tidak cukup kuat secara ekonomi, sehingga mereka harus segera
bekerja untuk menambah penghasilan keluarga.
Berbeda
dengan penduduk yang lulus dari perguruan tinggi, mereka akan lebih selektif
dalam memilih pekerjaan yang sesuai dengan kapasitas dan upah yang diharapkan. Tidak
mengherankan jika kemudian ada freshgraduate dari salah satu kampus
terbaik negeri ini yang menolak gaji 8 juta per bulan.
Dengan
mengetahui struktur Pendidikan angkatan kerja, dapat dirancang strategi
bagaimana dalam menciptakan lapangan pekerjaan yang dibutuhkan. Kompetensi yang
mereka miliki harus tersalurkan dalam menciptakan nilai tambah dalam ekonomi
sekaligus meningkatkan kesejahteraan penduduk.
Dirinci
menurut lapangan pekerjaan utama, penduduk bekerja paling banyak di sektor
pertanian (38,11 juta orang), perdagangan (24,47 juta orang), dan industri
pengolahan (18,23 juta orang). Namun dalam tiga tahun terakhir mulai terjadi
pergeseran struktur ketenagakerjaan di Indonesia. Dalam tiga tahun terakhir
sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja baru adalah sektor akomodasi
dan penyediaan makan minum (3,16 juta orang), sektor industri pengolahan (1,76
juta orang), dan sektor transportasi (0,49 juta orang). Sedangkan untuk sektor
pertanian ada penurunan jumlah tenaga kerja sebanyak 187,1 ribu orang.
Penurunan
tenaga kerja pada sektor pertanian ini tidak terlepas dari rata-rata upah atau
penghasilan bersih di sektor pertanian yang hanya 1,49 juta rupiah per bulan.
Di antara sektor ekonomi yang lain, upah atau pendapatan bersih di sektor
pertanian ini menduduki nominal yang paling kecil. Dengan penghasilan yang
masih di bawah garis kemiskinan rumah tangga tersebut tidak mengherankan jika
kemudian sektor pertanian menjadi kantong kemiskinan di Indonesia.
Pergeseran
dalam penyerapan tenaga kerja tersebut tidak terlepas dari perubahan gaya hidup
dan pola konsumsi penduduk Indonesia saat ini. Gaya hidup leisure economy
hingga wisata kuliner telah mendongkrak pertumbuhan ekonomi pada sektor
akomodasi dan penyediaan makan minum hingga 5,87 persen pada truwulan 1 2019.
Demikian juga dengan industri pengolahan yang masih menjadi penyumbang terbesar
PDB RI, dengan pertumbuhan 3,66 persen masih menjadi harapan dalam menyerap
tenaga kerja baru.
Kondisi
di atas harus disadari sepenuhnya oleh pemerintah. Sektor-sektor yang menyerap
tenaga kerja paling banyak harus dipastikan keberlangungannya. Demikian juga
dengan sektor yang paling cepat penyerapan tenaga kerjanya, agar terus dipacu
dan diberikan berbagai insentif agar lebih banyak menyerap tenaga kerja.
Tantangan selanjutnya adalah semakin
banyak penduduk yang akan tinggal di perkotaan sebagai akibat dari migrasi, pertambahan
penduduk alamiah (kelahiran dikurangi kematian), dan berubahnya status kawasan
perdesaan menjadi perkotaan.
Diperkirakan pada tahun 2025, 60 persen penduduk Indonesia akan tinggal di
perkotaan. Tidak dapat dipungkiri semakin maju sebuah kota, maka semakin banyak
angkatan kerja yang melakukan urbanisasi.
Tidak mengherankan
jika kemudian pengangguran di perkotaan lebih tinggi dibanding perdesaan. Meski
tingkat kemiskinan di perkotaan lebih rendah namun ketimpangan pengeluaran
pendduduk lebih tinggi daripada di perdesaan. Kondisi tidak ideal ini semakin
memperberat beban perkotaan dan berpotensi mengganggu stabilitas sosial.
Diperlukan pembentukan sumber pertumbuhan ekonomi baru di wilayah perdesaan
atau pinggiran agar terjadi pemerataan baik secara ekonomi maupun
penduduk/tenaga kerja di Indonesia.
(Dimuat Di Republika, 15 Juli 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar