Kondisi
anak Indonesia saat ini masih banyak yang harus diperhatikan. Selain masalah
stunting, anak-anak juga tidak merasa aman dari eksploitasi dan kekerasan seksual
dalam keluarga. Fenomena kekerasan seksual terhadap anak oleh keluarga inti atau
orang terdekatnya bagaikan fenomena gunung es. Berita tersebut banyak menghiasi
media pada akhir-akhir ini.
Kenyataan
di atas lebih banyak terjadi pada keluarga yang hidup di bawah garis
kemiskinan. Keterbatasan pendidikan dan pendapatan mengakibatkan mereka tidak
dapat hidup secara layak dan normal. Dari segi Pendidikan, rata-rata lama
sekolah kepala rumah tangga miskin hanya 5,52 tahun. Artinya bahwa kepala rumah
tangga miskin ini rata-rata tidak tamat sekolah dasar. Hal ini bisa jadi disebabkan
oleh kemiskinan orang tuanya terdahulu sehingga tidak mampu menyelesaikan pendidikan
dasarnya karena harus membantu mencari penghasilan.
Kemiskinan
juga mengakibatkan keterbatasan dalam fasilitas perumahan. Luas rumah yang
sempit dengan ruangan yang terbatas sehingga tidak ada pemisahan ruang tidur
antara orang tua dan anak. Hal ini mengakibatkan tidak adanya privasi antar
anak maupun dengan orang tua dalam keluarga. Di Indonesia ada sebanyak 26,41 persen
rumah tangga miskin yang luas lantai rumahnya kurang dari 8 meter persegi per
kapita.
Kehidupan
yang keras tanpa disertai dengan asupan nilai-nilai moral telah mengikis rasa
kemanusiaan sehingga tega untuk melakukan kekerasan seksual terhadap darah
dagingnya sendiri. Sangat disayangkan ketika masa depan dari anak keluarga
miskin ini justru dirusak oleh keluarganya. Harapan untuk bisa keluar dari
kemiskinan semakin sulit dengan adanya beban tersebut.
Kemiskinan
mengakibatkan kehidupan yang sulit bagi tumbuh kembang anak. Oleh karena itu
diperlukan upaya pengentasan kemiskinan sehingga anak-anak dari keluarga miskin
ini bisa memperoleh kehidupan yang layak dan mampu bekembang dalam meraih
kehidupan yang lebih baik.
Rata-rata
jumlah anggota rumah tangga miskin sebanyak 4,6 orang. Dengan asumsi bahwa
terdapat ayah dan ibu, maka anak-anak jumlahnya lebih banyak yaitu mendekati 3
orang dalam satu rumah tangga miskin. Apabila rantai kemiskinan ini tidak
diputus maka jumlah penduduk miskin akan semakin banyak karena kemiskinan
tersebut akan terus diwariskan kepada anak-anaknya.
Keberhasilan
pemerintah dalam menurunkan jumlah penduduk miskin 0,8 juta orang dalam setahun
terakhir disinyalir lebih karena bantuan sosial yang diguyurkan oleh
pemerintah. Seberapa kuat dan lama pemerintah akan membantu 25,14 juta penduduk
miskin ini? Diperlukan upaya agar penduduk miskin ini mandiri dan tidak
tergantung pada bantuan sosial.
Pengentasan kemiskinan di Indonesia tidak
hanya berfokus pada penduduk miskin dewasa saja namun juga harus memperhatikan
penduduk miskin usia anak-anak. Untuk penduduk dewasa, membuka lapangan
pekerjaan dan pemberdayaan ekonomi lebih diutamakan. Sedangkan untuk anak-anak keluarga miskin,
pelayanan kesehatan dan pendidikan lebih dibutuhkan karena sebagai modal untuk
keluar dari jeratan kemiskinan.
Program
sosial dalam bidang Pendidikan dan kesehatan memerlukan data yang valid
sehingga kemanfaatannya tepat sasaran. Namun sayangnya, kesadaran penduduk
miskin terhadap pengurusan adminitrasi seperti akta kelahiran anak maupun surat
pindah domisili bagi perantau di perkotaan juga sangat rendah. Ketidaktertiban
dalam hal dministrasi ini mengakibatkan keberadaan mereka tidak terjaring dalam
aneka program sosial. Di daerah asal secara de facto keberadaannya tidak ada,
sedangkan di perantauan atau di perkotaan secara de jure mereka tidak
terdaftar. Kondisi demikian semakin sulit bagi pemerintah untuk
mengidentifikasi keberadaan penduduk miskin beserta anak-anaknya dalam rangka
pengentasan kemiskinan.
Dalam
bidang pendidikan, pada kenyataannya masih ada anak-anak usia 7-12 tahun yang
tidak bersekolah sebanyak 1,22 persen. Demikian juga dengan anak-anak usia
13-15 tahun ada 5,87 persen dan anak-anak usia 16-18 berjumlah 32,84 persen
yang tidak bersekolah. Menunda anak-anak untuk memasuki dunia kerja dan
mengembalikan anak-anak kepada bangku sekolah diyakini mampu untuk meningkatkan
kesejahteraan di masa mendatang. Program Indonesia Pintar (PIP) yang menjangkau
11,11 persen rumah tangga di Indonesia (Susenas, 2018) perlu diverifikasi
kembali untuk memastikan anak-anak miskin tidak ada yang terlewat untuk
memproleh bantuan.
Dalam
bidang kesehatan, penduduk yang mengalami keluhan kesehatan mengalami
peningkatan dalam tiga tahun terakhir dari 28,53 persen pada tahun 2015 menjadi
30,96 persen pada tahun 2018. Di sisi lain penduduk yang memiliki jaminan
kesehatan baru sebatas 68,63 persen. Masih banyak penduduk Indonesia yang belum
memiliki jaminan kesehatan baik dari pemerintah maupun swasta. Oleh karena itu
menjaga kesehatan yang sifatnya pencegahan penyakit lebih diutamakan tidak
terkecuali pada anak-anak miskin.
Anak-anak
dari keluarga miskin sangat rentan terhadap gangguan kesehatan. Selain asupan
makanan dan gizi yang kurang, kondisi perumahan dan sanitasi yang kurang
memadai juga turut menurunkan kualitas kesehatan anak-anak miskin. Konsumsi
gizi yang rendah dikarenakan pengeluaran pada keluarga miskin lebih banyak dibelanjakan untuk rokok daripada
sumber protein seperti telur, tahu, dan tempe. Persentase pengeluaran untuk
rokok pada keluarga miskin di perdesaan sebesar 11,36 persen, jauh melampaui
pengeluaran untuk sumber protein seperti telur ayam (3,53 persen) dan tempe
(1,54 persen). Harus ada prioritas pengeluaran dari keluarga miskin untuk meningkatkan
derajat kesehatannya. Mengalihkan pengeluaran rokok untuk sumber protein bagi
anak-anak akan jauh lebih bermanfaat bagi tumbuh kembangnya.
Selain
itu karena keterbatasan pendapatan, anak-anak dari keluarga miskin banyak
terpapar oleh makanan murah dengan banyak bahan sintetis. Kondisi ini tentu
semakin memberatkan bagi anak-anak miskin untuk memiliki kualitas kesehatan
yang baik. Dengan tingkat kesadaran dalam kesehatan yang rendah, diperlukan penyadaran
akan pentingnya perilaku hidup sehat dan makanan sehat meski sederhana.
Penyuluhan
dan pemberian makanan tambahan pada ibu hamil dan balita keluarga miskin sangat
diperlukan, bahkan dengan cara menjemput bola (mendatangi keluarga miskin).
Untuk anak usia sekolah, kontrol kesehatan bisa dilakukan di sekolah baik
melalui edukasi maupun pemeriksaan kesehatan berkala. Hal ini bisa terealisasi
apabila partisipasi sekolah dari anak-anak keluarga miskin mencapai 100 persen.
Berbagai
upaya di atas perlu dilakukan secara simultan agar rantai kemiskinan dapat
diputus sehingga anak-anak keluarga miskin mampu keluar dari kemiskinannya.
Dengan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin dewasa dan memperhatikan pendidikan
serta kesehatan anak-anak, diharapkan mampu membawa keluarga miskin semakin
mandiri.
(Dimuat di Kolom Opini Republika, 26 Juli 2019)
like
BalasHapus