Halaman

Jumat, 05 Juli 2019

#92 Masa Depan Bisnis Retail


Berita tentang tutupnya 6 gerai Giant di Jakarta menambah catatan suram bisnis ritel di Indonesia. Setelah pada tahun sebelumnya grup Hero telah menutup 26 gerai Giant di beberapa wilayah. Belum lagi raksasa ritel yang lebih duluan menutup gerainya dalam 2 tahun terakhir seperti beberapa gerai Ramayana, beberapa gerai Matahari Departemen Store, Seven Eeven, Lotus, Central, Centro, dan lain sebagianya. Penutupan ini tentu berdampak pada nasib karyawan di sejumlah usaha tersebut. Sebenarnya bagaimana masa depan bisnis ritel di Indonesia? Mengingat raksasa ritel di tanah air banyak yang berguguran dalam dua tahun terakhir.

            Menurut Badan Pusat Statistik, sektor perdagangan besar dan eceran mengalami pertumbuhan setiap tahun. Pertumbuhan ini sebagai akibat dari bertambahnya jumlah penduduk dan sebagai bukti bahwa daya beli penduduk yang masih terjaga. Pada triwulan 1 tahun 2019, pertumbuhan sektor perdagangan besar dan eceran sebesar 5,69 persen, melebihi rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional. Artinya bahwa telah terjadi peningkatan jumlah penjualan pada sektor tersebut.
            Demikian juga dalam penyerapan tenaga kerja, sektor perdagangan besar dan eceran telah menjadi tulang punggung 24,47 juta tenaga kerja di Indonesia. Sektor ini menyerap tenaga kerja terbesar kedua setelah sektor pertanian. Faktanya dalam satu tahun terakhir, dengan pertumbuhan tersebut di atas, sektor perdagangan telah menyerap tenaga kerja baru sebanyak 920 ribu orang. Menjadi sebuah ironi ketika sektor perdagangan tumbuh dan menyerap tenaga kerja baru dalam setahun terakhir, namun raksasa-raksasa ritel di Indonesia gulung tikar.
Menurut ketua asosiasi pengusaha ritel Indonesia, tutupnya sejumlah gerai ritel di Indonesia lebih karena persaingan, bukan karena lesunya sektor ritel di Indonesia. Persaingan akan terus selalu ada dan semakin sengit. Mengingat Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar menjadi peluang yang menggiurkan untuk mendapatkan keuntungan dari sektor ritel ini.
Satu hal yang harus disadari, seiring berjalannya waktu pola dan cara belanja penduduk mengalami perubahan. Penjualan online telah mengambil pangsa pasar dari penjualan offline. Terlebih untuk penjualan online tidak terkena pajak penjualan, penyediaan tempat khusus, dan biaya operasional lainnya sehingga memungkinkan untuk menawarkan harga yang lebih murah. Namun demikian keberadaan bisnis online ini bukan faktor utama yang akan mengancam keberadaan bisnis ritel di Indonesia. Dengan kondisi penduduk Indonesia saat ini, pernjualan offline masih akan mendominasi dan mengambil pangsa terbesar dalam bisnis ritel di Indonesia.
Selain pola belanja, tempat belanja juga telah mengalami perubahan. Jika dahulu belanja di toko ritel besar adalah sebuah kebanggan dan kemewahan, maka saat ini yang diperlukan adalah efektifitas waktu. Memperoleh barang dengan cara yang cepat dan mudah menjadi sebuah kebutuhan. Tidak mengherankan jika kemudian pertokoan/minimarket yang dekat dengan pemukiman tumbuh lebih subur di Indonesia.
Dengan investasi tempat yang tidak besar (kurang dari 400 meter persegi), jumlah tenaga kerja yang tidak banyak, usaha ini lebih luwes untuk menjangkau lebih banyak wilayah. Selain biaya operasional yang tidak sebesar supermarker/hypermarket, kelompok minimarket ini mampu menggandakan keuntungannya dari jumlah pengunjung yang datang. Bahkan minimarket ini juga menawarkan diskon setiap pekannya dengan harga yang mampu bersaing dengan ritel besar. Dengan alasan waktu dan menghindari kemacetan, tidak mengherankan jika kemudian minimarket telah menjadi pilihan bagi banyak keluarga di Indonesia.
Dari hasil pendataan potensi desa yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2018, ada 15.107 desa di Indonesia yang terdapat minimarket di wilayahnya. Angka ini melonjak jika dibandingkan dengan tahun 2014, jumlah desa dengan keberadaan minimarket saat itu sebanyak 11.468 desa. Peningkatan ini menandakan bahwa minimarket telah melakukan ekspansi yang luas hingga ke wilayah pemukiman/pinggiran.
Oleh karena itu, agar bisnis ritel ini mampu bertahan, perlu evaluasi lokasi usaha, restrukturisasi dan perampingan usaha, penyederhanaan bisnis, hingga mendekatkan pada penduduk. Tidak terkecuali melakukan perubahan lini bisnis yang lebih menjanjikan saat ini sesuai dengan perkembangan dan selera konsumen yang terus berubah.
Perubahan adalah sebuah keniscayaan. Sebagaimana telah terjadi pergeseran terhadap penggunaan jasa penginapan/akomodasi. Jika sebelumnya hotel berbintang merupakan pilihan kemewahan, namun sekarang penginapan/hotel non bintang menjadi pilihan oleh masyarakat. Buktinya meski tingkat hunian hotel bintang mengalami penurunan tingkat hunian hotel, namun pada saat yang sama sektor akomodasi mengalami pertumbuhan sebesar 2,84 persen pada triwulan 1 2019. Artinya bahwa pertumbuhan tersebut banyak didorong oleh tingkat hunian kamar pada hotel non bintang di Indonesia. Sehingga tidak mengherankan jika saat ini mulai menjamur penginapan dengan tarif murah di berbagai kota di Indonesia.
Akan ada banyak perubahan pola konsumsi dan pola belanja yang harus segera direspon oleh pelaku usaha. Aneka layanan tersebut dipilih berdasarkan fungsi dan kecepatan, dibandingkan dengan kemewahan layanan.
Meski demikian, kenyataan di atas ternyata berbeda dengan pola belanja pada penyediaan makanan minuman/restoran. Bisnis restoran/penyediaan makan minum akan terus melesat karena telah menjadi kebutuhan pokok manusia. Apalagi saat ini telah terjadi peningkatan yang tajam pada partisipasi penduduk dalam mengkonsumsi makanan/minuman jadi (99,29 persen). Selain itu proporsi pengeluaran untuk konsumsi makanan jadi juga mengalami peningkatan yang pesat dari 24,89 persen pada 2010 menjadi 33,89 persen pada 2018. Artinya bahwa telah terjadi pergesaran pola konsumsi yang awalnya memakan masakan sendiri di rumah menjadi membeli makanan jadi di luar.
Perubahan pola konsumsi ini telah direspon dengan menjamurnya banyak tempat makan kekinian yang menyajikan aneka menu makanan. Sehingga tidak mengherankan jika kemudian sektor restoran dan penyediaan makan minum ini mampu tumbuh apik dalam beberapa tahun terakhir. Dari yang awalnya hanya tumbuh 3 persen pada tahun 2015, saat ini semakin cepat pertumbuhannya dengan mancatatkan angka pertumbuhan 6,62 persen pada triwulan 1 2019. Tidak hanya itu, pertumbuhan tersebut juga telah menyerap tenaga kerja baru pada sektor akomodasi dan penyediaan makan minum sebanyak 700 ribu orang dalam setahun terakhir.
Bagi raksasa ritel di Indonesia bisa menambah lini bisnis restoran/makanan yang semua kebutuhan bahan makanannya dipasok dari jaringan sendiri. Karena meski kunjungan/belanja konsumen pada ritel besar ini berkurang, namun permintaan oleh restoran/rumah makan masih tinggi dan akan terus meningkat setiap tahun seiring dengan perubahan pola konsumsi masyarakat. Diperlukan kecakapan dan kecepatan dalam merespon perubahan pola belanja dan pola konsumsi penduduk agar bisnis ritel mampu bertahan di masa yang akan datang.


(Dimuat di Republika, tanggal 4 Juli 2019)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

#139 Kemiskinan Dalam Tekanan Inflasi

Tren penurunan jumlah penduduk miskin pasca pandemi sedikit terganggu dengan lonjakan inflasi yang terjadi pada akhir tahun 2022. Hal ini di...