Berita
tentang tutupnya 6 gerai Giant di Jakarta menambah catatan suram bisnis ritel
di Indonesia. Setelah pada tahun sebelumnya grup Hero telah menutup 26 gerai Giant
di beberapa wilayah. Belum lagi raksasa ritel yang lebih duluan menutup
gerainya dalam 2 tahun terakhir seperti beberapa gerai Ramayana, beberapa gerai
Matahari Departemen Store, Seven Eeven, Lotus, Central, Centro, dan lain
sebagianya. Penutupan ini tentu berdampak pada nasib karyawan di sejumlah usaha
tersebut. Sebenarnya bagaimana masa depan bisnis ritel di Indonesia? Mengingat
raksasa ritel di tanah air banyak yang berguguran dalam dua tahun terakhir.
Menurut
Badan Pusat Statistik, sektor perdagangan besar dan eceran mengalami
pertumbuhan setiap tahun. Pertumbuhan ini sebagai akibat dari bertambahnya
jumlah penduduk dan sebagai bukti bahwa daya beli penduduk yang masih terjaga.
Pada triwulan 1 tahun 2019, pertumbuhan sektor perdagangan besar dan eceran
sebesar 5,69 persen, melebihi rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional. Artinya
bahwa telah terjadi peningkatan jumlah penjualan pada sektor tersebut.
Demikian juga dalam penyerapan
tenaga kerja, sektor perdagangan besar dan eceran telah menjadi tulang punggung
24,47 juta tenaga kerja di Indonesia. Sektor ini menyerap tenaga kerja terbesar
kedua setelah sektor pertanian. Faktanya dalam satu tahun terakhir, dengan
pertumbuhan tersebut di atas, sektor perdagangan telah menyerap tenaga kerja
baru sebanyak 920 ribu orang. Menjadi sebuah ironi ketika sektor perdagangan
tumbuh dan menyerap tenaga kerja baru dalam setahun terakhir, namun
raksasa-raksasa ritel di Indonesia gulung tikar.
Menurut
ketua asosiasi pengusaha ritel Indonesia, tutupnya sejumlah gerai ritel di
Indonesia lebih karena persaingan, bukan karena lesunya sektor ritel di
Indonesia. Persaingan akan terus selalu ada dan semakin sengit. Mengingat
Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar menjadi peluang yang menggiurkan
untuk mendapatkan keuntungan dari sektor ritel ini.
Satu
hal yang harus disadari, seiring berjalannya waktu pola dan cara belanja
penduduk mengalami perubahan. Penjualan online telah mengambil pangsa pasar
dari penjualan offline. Terlebih untuk penjualan online tidak terkena pajak
penjualan, penyediaan tempat khusus, dan biaya operasional lainnya sehingga
memungkinkan untuk menawarkan harga yang lebih murah. Namun demikian keberadaan
bisnis online ini bukan faktor utama yang akan mengancam keberadaan bisnis ritel
di Indonesia. Dengan kondisi penduduk Indonesia saat ini, pernjualan offline
masih akan mendominasi dan mengambil pangsa terbesar dalam bisnis ritel di
Indonesia.
Selain
pola belanja, tempat belanja juga telah mengalami perubahan. Jika dahulu
belanja di toko ritel besar adalah sebuah kebanggan dan kemewahan, maka saat
ini yang diperlukan adalah efektifitas waktu. Memperoleh barang dengan cara yang
cepat dan mudah menjadi sebuah kebutuhan. Tidak mengherankan jika kemudian
pertokoan/minimarket yang dekat dengan pemukiman tumbuh lebih subur di
Indonesia.
Dengan
investasi tempat yang tidak besar (kurang dari 400 meter persegi), jumlah tenaga
kerja yang tidak banyak, usaha ini lebih luwes untuk menjangkau lebih banyak wilayah.
Selain biaya operasional yang tidak sebesar supermarker/hypermarket, kelompok
minimarket ini mampu menggandakan keuntungannya dari jumlah pengunjung yang
datang. Bahkan minimarket ini juga menawarkan diskon setiap pekannya dengan
harga yang mampu bersaing dengan ritel besar. Dengan alasan waktu dan menghindari
kemacetan, tidak mengherankan jika kemudian minimarket telah menjadi pilihan
bagi banyak keluarga di Indonesia.
Dari
hasil pendataan potensi desa yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2018, ada
15.107 desa di Indonesia yang terdapat minimarket di wilayahnya. Angka ini
melonjak jika dibandingkan dengan tahun 2014, jumlah desa dengan keberadaan
minimarket saat itu sebanyak 11.468 desa. Peningkatan ini menandakan bahwa
minimarket telah melakukan ekspansi yang luas hingga ke wilayah pemukiman/pinggiran.
Oleh
karena itu, agar bisnis ritel ini mampu bertahan, perlu evaluasi lokasi usaha, restrukturisasi
dan perampingan usaha, penyederhanaan bisnis, hingga mendekatkan pada penduduk.
Tidak terkecuali melakukan perubahan lini bisnis yang lebih menjanjikan saat
ini sesuai dengan perkembangan dan selera konsumen yang terus berubah.
Perubahan
adalah sebuah keniscayaan. Sebagaimana telah terjadi pergeseran terhadap
penggunaan jasa penginapan/akomodasi. Jika sebelumnya hotel berbintang
merupakan pilihan kemewahan, namun sekarang penginapan/hotel non bintang
menjadi pilihan oleh masyarakat. Buktinya meski tingkat hunian hotel bintang
mengalami penurunan tingkat hunian hotel, namun pada saat yang sama sektor
akomodasi mengalami pertumbuhan sebesar 2,84 persen pada triwulan 1 2019.
Artinya bahwa pertumbuhan tersebut banyak didorong oleh tingkat hunian kamar
pada hotel non bintang di Indonesia. Sehingga tidak mengherankan jika saat ini
mulai menjamur penginapan dengan tarif murah di berbagai kota di Indonesia.
Akan
ada banyak perubahan pola konsumsi dan pola belanja yang harus segera direspon
oleh pelaku usaha. Aneka layanan tersebut dipilih berdasarkan fungsi dan kecepatan,
dibandingkan dengan kemewahan layanan.
Meski
demikian, kenyataan di atas ternyata berbeda dengan pola belanja pada
penyediaan makanan minuman/restoran. Bisnis restoran/penyediaan makan minum
akan terus melesat karena telah menjadi kebutuhan pokok manusia. Apalagi saat
ini telah terjadi peningkatan yang tajam pada partisipasi penduduk dalam
mengkonsumsi makanan/minuman jadi (99,29 persen). Selain itu proporsi
pengeluaran untuk konsumsi makanan jadi juga mengalami peningkatan yang pesat
dari 24,89 persen pada 2010 menjadi 33,89 persen pada 2018. Artinya bahwa telah
terjadi pergesaran pola konsumsi yang awalnya memakan masakan sendiri di rumah menjadi
membeli makanan jadi di luar.
Perubahan
pola konsumsi ini telah direspon dengan menjamurnya banyak tempat makan
kekinian yang menyajikan aneka menu makanan. Sehingga tidak mengherankan jika
kemudian sektor restoran dan penyediaan makan minum ini mampu tumbuh apik dalam
beberapa tahun terakhir. Dari yang awalnya hanya tumbuh 3 persen pada tahun
2015, saat ini semakin cepat pertumbuhannya dengan mancatatkan angka
pertumbuhan 6,62 persen pada triwulan 1 2019. Tidak hanya itu, pertumbuhan
tersebut juga telah menyerap tenaga kerja baru pada sektor akomodasi dan
penyediaan makan minum sebanyak 700 ribu orang dalam setahun terakhir.
Bagi
raksasa ritel di Indonesia bisa menambah lini bisnis restoran/makanan yang
semua kebutuhan bahan makanannya dipasok dari jaringan sendiri. Karena meski
kunjungan/belanja konsumen pada ritel besar ini berkurang, namun permintaan
oleh restoran/rumah makan masih tinggi dan akan terus meningkat setiap tahun
seiring dengan perubahan pola konsumsi masyarakat. Diperlukan kecakapan dan
kecepatan dalam merespon perubahan pola belanja dan pola konsumsi penduduk agar
bisnis ritel mampu bertahan di masa yang akan datang.
(Dimuat di Republika, tanggal 4 Juli 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar