Angkutan
udara menjadi sebuah kebutuhan saat ini sehingga kenaikan tarifnya sangat
memberatkan konsumen. Jumlah penumpang angkutan udara di Indonesia menduduki urutan kelima terbanyak
di dunia setelah Amerika Serikat, Tiongkok, India, dan Jepang. Dengan jumlah
penduduk yang besar dan bertambahnya kelas menengah baru di Indonesia, tentu
bisnis penerbangan sangat menjanjikan di negeri ini. Mengingat wilayah Indonesia
dipisahkan oleh lautan sehingga dengan alasan efektifitas, angkutan penerbangan
masih menjadi pilihan bagi masyarakat kelas menengah atas Indonesia.
Betapa
banyak ASN kementerian atau lembaga vertikal yang tersebar di seluruh wilayah
Indonesia, belum lagi pegawai swasta dan BUMN yang bertugas di luar Pulau Jawa.
Bahkan Pemerintah Provinsi Riau meminta ijin kepada pemerintah pusat untuk
melakukan transit ke negeri jiran dalam melakukan perjalanan dinas ke Jakarta.
Hal ini dilakukan karena penerbangan langsung ke Jakarta lebih mahal dan
melebihi pagu anggaran.
Kenaikan
tarif angkutan udara tahun ini telah mendorong inflasi secara umum. Selain itu,
kenaikan tarif ini berimbas pada penurunan jumlah penumpang domestik pada Mei
2019 hingga 20,5 persen. Padahal dalam tiga tahun sebelumnya, pertumbuhan
ekonomi pada angkutan udara mencatatkan hasil yang gemilang. Pada tahun 2013
angkutan udara hanya tumbuh sebesar 4,35
persen, kemudian melonjak menjadi 13.22 persen pada tahun 2016, tahun 2017
tumbuh 11,93 persen dan akhirnya anjlok menjadi 5,83 persen pada tahun 2018.
Bahkan pada triwulan 1 tahun 2019 pertumbuhannya minus 10,15 persen.
Penurunan
jumlah penumpang ini jelas menyebabkan kerugian bagi maskapai penerbangan di
Indonesia. Bahkan maskapai besar Lion Air Grup meminta penundaan pembayaran
jasa layanan bandara ke Angkasa Pura 1 untuk periode Januari-Maret 2019.
Apabila hal ini dibiarkan maka tidak menutup kemungkinan akan banyak
layanan/rute penerbangan yang tutup sehingga konektifitas antar daerah melalui
udara akan terputus.
Pada
kenyataannya penurunan penumpang angkutan udara ini tidak diikuti oleh percepatan
pertumbuhan pada moda transportasi lain. Buktinya bahwa pertumbuhan ekonomi
pada transportasi lain masih tetap sebagaimana tahun-tahun sebelumnya yaitu sekitar
8 persen. Artinya bahwa konsumen memang sengaja menahan diri untuk tidak
melakukan perjalanan sebagai akibat dari tingginya harga tiket pesawat. Penerbangan
domestik saat ini lebih karena perjalanan dinas ataupun perjalanan bisnis oleh
pemerintah maupun swasta. Keriuhan kelas menengah dalam melakukan traveling ke
berbagai destinasi wisata di negeri ini mulai mereda seiring dengan kenaikan
harga tiket pesawat.
Hal
tersebut jelas berimbas pada menurunnya pada tingkat hunian kamar hotel bintang
dari 57,43 persen menjadi 53,90 persen pada bulan April 2019. Namun jika
dilihat dari pertumbuhan ekonominya, pada triwulan 1 2019 ternyata bahwa
subsektor penyediaan akomodasi tumbuh 2,84 persen meski mengalami perlambatan disbanding
periode sebelumnya. Hal ini berarti bahwa konsumen saat ini lebih memilih jenis
akomodasi/hotel non bintang. Perubahan trend ini menjadi peluang bisnis yang
menjanjikan bagi penyedia akomodasi non bintang yang mulai menjamur di seluruh
kota di Indonesia.
Konsumen
menginginkan harga tiket yang murah dan terjangkau sebagaimana sebelumnya.
Padahal di sisi lain, pendapatan penduduk dan nilai tukar dollar AS dalam
beberapa tahun terakhir telah mengalami peningkatan. Sebagai contoh, UMR DKI
Jakarta pada tahun 2015 sebesar Rp. 2,7 juta, sedangkan UMR DKI Jakarta saat
ini sebesar Rp 3,648 juta.
Demikian
juga kurs dollar tahun 2015 sebesar Rp 12.400 per dollar AS, sedangkan kurs
dollar saat ini mencapai Rp 14.300. Padahal biaya operasional maskapai
penerbangan lebih banyak menggunakan mata uang asing tidak terkecuali dengan
biaya bahan bakar maupun biaya sewa pesawat. Gaji/upah karyawan maskapai
penerbangan pun tentu mengalami kenaikan dalam beberapa tahun terakhir. Belum
lagi inflasi yang terjadi turut menyebabkan biaya operasional pada bisnis
penerbangan mengalami kenaikan.
Dengan
kenyataan di atas sangat berat apabila tarif penerbangan domestik di Indonesia
dituntut untuk tetap atau lebih murah. Diperlukan keseimbangan baru yang membutuhkan
waktu cukup lama. Diperlukan kehadiran pemerintah agar harga tiket pesawat ini
tidak memberatkan penumpang namun juga tidak merugikan maskapai penerbangan. Mengundang
maskapai asing untuk melayani penerbangan domestik juga bukan solusi, selain
karena persyaratan yang banyak dan ketat, dikhawatirkan juga akan mematikan
maskapai penerbangan dalam negeri. Sehingga bagi maskapai penerbangan dalam
negeri tentu diperlukan efisiensi dan rasionalisasi biaya operasional, namun
tidak mengurangi kualitas pelayanan dan keselamatan.
Bagi
konsumen memerlukan waktu yang cukup lama untuk bisa menyesuaikan dengan tarif penerbangan
yang ada pada saat ini. Jika dalam beberapa tahun terakhir penumpang dapat melakukan
perjalanan dengan mudah, maka saat ini diperlukan persiapan dan perencanaan
lebih. Demikian juga pilihan penerbangan akan semakin efisien seperti halnya
pilihan terhadap akomodasi/penginapan yang terjadi pergesesaran dari hotel bintang
ke non bintang. Mengedepankan fungsi dibandingkan dengan kemewahan bisa menjadi
gaya hidup baru untuk menyesuaikan pengeluaran tarif angkutan udara.
Demikian
juga dalam barang bawaan seperti pakaian dan oleh-oleh akan semakin minimalis
guna menekan pengeluaran. Penyesuaian-penyesuaian tersebut diperlukan untuk
menggairahkan industri angkutan udara maupun pariwisata di Indonesia.
Sektor
pariwisata, terutama akomodasi dan makan minum menyerap tenaga kerja sebanyak 8,8
juta orang atau mengalami peningkatan penyerapan tenaga kerja dalam setahun terakhir.
Dengan lesunya pariwisata, maka sektor akomodasi dan penyediaan makan minum
harus melakukan efisiensi agar mampu bertahan. Hal ini tentu berdampak pada
penyerapan angkatan kerja yang jumlahnya terus meningkat setiap tahun.
Dengan
pengeluaran transportasi yang lebih tinggi di ataas, konsekuensinya bisa jadi rumah
tangga akan menahan pengeluaran lainnya untuk barang-barang retail atau
pengeluaran untuk jalan-jalan dan rekreasi. Akibatnya tidak mengherankan jika
konsumsi rumah tangga akan melambat jika dibandingkan periode yang sama tahun
sebelumnya. Karena dengan jumlah uang/pendapatan yang sama, hanya cukup untuk
membelanjakan barang dan jasa lebih sedikit sebagai akibat dari kenaikan harga.
Kondisi di atas akan
berpengaruh terhadap perekonomian makro nasional. Perekonomian Indonesia saat
ini masih ditopang oleh konsumsi rumah tangga dengan andil 56,82 persen. Oleh
karena itu adanya kenaikan harga, akan sangat berpengaruh terhadap daya beli
penduduk. Demikian juga dengan nilai tambah dari transportasi dan pariwisata
juga akan mengalami penurunan. Terlebih dengan pertumbuhan ekonomi triwulan 1
yang hanya 5,07 persen, tentu sangat berat untuk mengejar pertumbuhan ekonomi
sesuai target 5,3 persen pada tahun 2019 ini.
(Dimuat di Koran Republika Tanggal 22 Juni 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar