Halaman

Jumat, 14 Juni 2019

#90 Urbanisasi Tanpa Operasi Yustisi


Arus mudik Lebaran telah berlalu dan kini menyisakan arus balik yang yang masih terus berjalan. Dalam arus balik ini akan ada pertambahan penduduk yang melakukan urbanisasi untuk memperoleh kehidupan ekonomi yang lebih baik. Tidak terkecuali bagi ibu kota Indonesia, Jakarta. Bahkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menegaskan tidak akan melakukan operasi yustisi karena setiap WNI berhak untuk tinggal dan bekerja di ibu kota negara Indonesia tersebut. Setiap pendatang di Jakarta diwajibkan untuk melapor ke RT/RW setempat. Kebijakan tersebut sontak menimbulkan pro dan kontra. 


Peniadaan operasi yustisi dikhawatirkan akan menimbulkan laju urbanisasi yang tinggi sehingga menimbulkan berbagai permasalahan sosial di ibu kota. Jakarta saat ini tidak luput dari masalah kemacetan, pemukiman kumuh, hingga musibah banjir yang selalu hadir setiap tahun. Dengan bertambahnya pendatang, Jakarta akan semakin sumpek. Terlebih jika pendatang tersebut dengan pendidikan dan keterampilan yang rendah. Pendatang dengan kualitas yang baik akan bekerja pada sektor formal, dan memilih untuk tinggal di kota-kota satelit ibu kota seperti Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Sehingga keberadaan mereka di Jakarta hanya untuk bekerja dan wisata.


Semakin berkembang suatu kota, maka tingkat urbanisasinya semakin tinggi. Tidak hanya pada kota utama (capital city) saja, namun juga pada kota-kota menengah (secondary city). Proses urbanisasi sendiri terjadi bukan hanya akibat dari perpindahan penduduk dari perdesaan ke perkotaan (migrasi), namun juga termasuk pertumbuhan alamiah penduduk perkotaan, perluasan wilayah perkotaan maupun perubahan status wilayah dari daerah perdesaan ke perkotaan (reklasifikasi).



Urbanisasi saat ini lebih banyak disebabkan oleh proses migrasi atau perpindahan penduduk dari desa ke kota atau dari kota kecil ke kota besar didorong oleh alasan utama ekonomi. Ketersediaan lapangan kerja di perkotaan mulai dari tenaga kasar hingga profesional dengan upah yang tinggi menjadi faktor penarik bagi penduduk desa. Demikian juga kehidupan modern dengan berbagai fasilitas umum yang memadai menjadi magnet bagi wilayah perkotaan.


Sebaliknya sektor pertanian yang kurang menguntungkan, terbatasnya lapangan kerja dan upah yang rendah serta minimnya infrastruktur menjadi faktor pendorong penduduk desa untuk bermigrasi ke kota. Terlebih tingkat kemiskinan di perdesaan di Indonesia yang mencapai 13,10 persen pada September 2018. Sedangkan kemiskinan di perkotaan 6,89 persen. Tingginya angka kemiskinan ini turut memotivasi penduduk desa untuk mencari kehidupan yang lebih baik di perkotaan meski harus bekerja sebagai buruh kasar.


DKI Jakarta sebagai kota utama di Indonesia menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Rata-rata upah buruh di DKI Jakarta menjadi paling tinggi di Indonesia yaitu sebesar Rp 4,486 juta per bulan. Demikian juga dengan pertumbuhan ekonomi DKI pada triwulan 1 - 2019 sebesar 6,23 persen atau melebihi pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya mampu tumbuh 5,07 persen. Kondisi demikian mengakibatkan terjadinya penyerapan tenaga kerja baru dan tumbuhnya sektor informal di DKI Jakarta. 


Kesejahteraan penduduk DKI juga tinggi, terbukti dengan tingkat kemiskinannya 3,55 persen atau paling rendah se-Indonesia. Kondisi demikian menjadikan DKI Jakarta sebagai magnet bagi penduduk Indonesia untuk melakukan migrasi ke Jakarta.


Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran di DKI Jakarta pada Februari 2019 sebanyak 279,59 ribu orang atau 5,13 persen. Jika dibandingkan dengan setahun sebelumnya, jumlah pengangguran DKI turun 10,53 ribu orang. Bahkan dalam sepuluh tahun terakhir, tingkat pengangguran di DKI Jakarta mengalami penurunan dari 12,16 persen pada tahun 2008 menjadi 6,24 persen pada 2018. 


Dirinci menurut lapangan pekerjaannya, sebagian besar penduduk DKI Jakarta bekerja pada sektor perdagangan (25,59 persen), akomodasi dan makan minum (13,95 persen), industri pengolahan (12,91 persen), dan sektor jasa lainnya (12,33 persen). Sedangkan apabila dirinci menurut status pekerjaan utamanya, 61 persen bekerja sebagai buruh/karyawan, 22,59 persen berusaha sendiri, 4,43 persen berusaha dibantu buruh tetap, dan sisanya merupakan pekerja keluarga dan pekerja bebas. 


Sebagian besar penduduk DKI Jakarta bekerja pada sektor formal (65,43 persen) dan sisanya 34,57 persen bekerja pada sektor informal. Yang menarik, dalam satu tahun terakhir telah terjadi penurunan proporsi pekerja dengan status buruh/karyawan sebanyak 2,41 persen poin dan terjadi peningkatan penduduk yang berwirausaha sebanyak 4,29 persen. DKI Jakarta dengan pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen masih menjadi tujuan bagi penduduk Indonesia untuk mengadu nasib baik sebagai buruh maupun untuk berwirausaha.


Untuk meminimalisasi dampak buruk dari urbanisasi diperlukan pengelolaan urbanisasi yang baik untuk mewujudkan potensi kawasan perkotaan dalam meningkatkan efisiensi dan mendorong inovasi. Investasi besar dalam infrastruktur dan perencanaan tata kota yang lebih cerdas, dan fokus pada pertumbuhan yang ramah lingkungan adalah salah satu cara untuk mengurangi dampak bencana alam pada kota besar Selain itu, mengatasi masalah layanan publik mendasar bagi kaum pendatang untuk mewujudkan tujuan urbanisasi yang mengutamakan manusia.


Proses urbanisasi yang besar-besaran akan memperberat perkotaan, manakala lapangan pekerjaan tidak mampu menampung jumlah tenaga kerja produktif. Hal ini karena sebagian besar pendatang berbekal pendidikan dan keterampilan yang rendah sehingga hanya mampu bekerja pada sektor informal. DKI Jakarta meskipun tingkat kemiskinannya terendah di Indonesia, namun ketimpangan pengeluaran penduduknya yang diukur dengan gini rasio sebesar 0,390 atau lebih tinggi dari rata-rata ketimpangan nasional (0,384). 


Selain itu ketimpangan di DKI Jakarta juga menempati peringkat ke-delapan tertinggi di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh kesenjangan tingkat pendidikan dan keterampilan penduduk DKI Jakarta sehingga menimbulkan kesenjangan ekonomi.


Laju urbanisasi di Indonesia merupakan yang tercepat di Asia, mengalahkan India dan China, sebagaimana yang disampaikan oleh Taimur Samad, ketua program city planning labs dari Bank Dunia. Bahkan Bank Dunia memprediksi pada 2025 sebanyak 68 persen dari penduduk Indonesia akan memadati wilayah perkotaan. 


Dalam Visi Indonesia 2045 digambarkan Indonesia menjadi ekonomi terbesar kelima dunia, nilai Produk Domestik Bruto (PDB) lebih dari 7,3 triliun dolar AS, 70 persen penduduk tinggal di perkotaan, angka kemiskinan turun di bawah 5 persen, dan usia harapan hidup mencapai 73 tahun (Bappenas, 2019). Urbanisasi menjadi sebuah konsekuensi dari kemajuan ekonomi suatu bangsa tidak terkecuali bagi DKI Jakarta.

(Dimuat Pada Kolom Detiknews pada tanggal 12 Juni 2019)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

#138 Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas

  (Dimuat di Kolom Opini Republika, 25 November 2022) Perekonomian Indonesia mampu tumbuh mengesankan di tengah ancaman resesi global saat i...