Indonesia diprediksi menjadi negara maju dengan menduduki
peringkat ke 6 Produk Dometik Bruto (PDB) tertinggi di dunia pada tahun 2030. Hal
tersebut tentu membutuhkan syarat dengan mengejar pertumbuhan antara 6-8 persen
per tahun. Meski PDB dan pertumbuhan ekonomi menjadi tolok ukur untuk menjadi
negara maju, namun kesejahteraan penduduk harus menjadi tujuan utama dalam
pembangunan yang berkesinambungan.
Terlebih
apabila ukuran yang digunakan untuk melihat kesejahteraan penduduk adalah PDB
per kapita yang bisa jadi hanya mencerminkan kesejahteraan semu. Sebagaimana
diketahui PDB per kapita Indonesia pada tahun 2018 sebesar 56,0 juta rupiah per
tahun atau meningkat 4,1 juta dalam setahun terakhir.
PDB
maupun PDB per kapita yang tinggi tidak menjamin kesejahteraan penduduk di
dalamnya. Sebagai contoh Kabupaten Mimika di Papua yang kaya akan tambang emas
dan tembaga, memiliki PDRB per kapita tinggi yang mencapai Rp.371,955 juta per
tahun (7 kali lipat PDB per kapita nasional).
Namun
faktanya kemiskinan dan pengangguran masih menjadi persoalan di kabupaten
tersebut. Kemiskinan di Kabupaten Mimika masih 14,89 persen pada tahun 2017. Demikian
juga dengan tingkat penganggurannya yang mencapai 7,7 persen (di atas rata-rata
nasional) pada periode yang sama. Padahal pertumbuhan ekonomi Kabupaten Mimika sebesar
5,69 persen, dan tahun 2016 pertumbuhannya bahkan mencapai 11,39 persen.
Ironi
di atas terjadi karena nilai tambah yang tercipta dari kegiatan ekonomi di
wilayah tersebut tidak dinikmati oleh penduduk seutuhnya. Nilai tambah dari
kegiatan ekonomi tersebut dibawa keluar oleh pemodal dan dinikmati oleh segelintir
karyawan berupa upah dan gaji. Tentu kita tidak menginginkan Indonesia
sebagaimana gambaran kecil pada Kabupaten Mimika tersebut. Pertumbuhan ekonomi
tinggi, PDRB dan PDRB per kapita tinggi namun tidak berkualitas karena kesejahteraan
penduduknya di bawah rata-rata.
Belum
lagi apabila pertumbuhan ekonomi justru menyisakan kesenjangan yang makin lebar
antar kelompok ekonomi penduduk. Yang kaya makin kaya, yang miskin semakin
miskin. Hal ini karena tidak semua penduduk memiliki kemampuan dan peluang yang
sama terhadap kegiatan ekonomi. Sebagai contoh, rata-rata pengeluaran 20 persen
penduduk terbawah Indonesia sebesar 378 ribu rupiah per bulan, sedangkan untuk penduduk kelas
atas rata-rata pengeluarannya sebesar 2,59 juta rupiah per bulan (hampir 7 kali
lipat).
Secara
nasional, rata-rata pengeluaran penduduk tertinggi terdapat di DKI Jakarta
yaitu sebesar 2,03 juta rupiah per bulan. Selain itu kemiskinan di Provinsi DKI
juga terendah se Indonesia yaitu sebesar 3,55 persen. Untuk PDRB perkapita DKI
Jakarta sebesar 248,31 juta per tahun dengan pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta
sebesar 6,17 persen (di atas rata-rata nasional).
Kondisi
ideal seperti DKI Jakarta tersebut tentu mensyaratkan adanya kualitas sumber
daya manusia yang tercermin dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM DKI
Jakarta sebesar 80,06 jauh melampui rata-rata IPM nasional yang nilainya
sebesar 70,81. Dengan predikat IPM sangat tinggi tersebut memungkinkan penduduk
DKI dapat berperan aktif dalam kegiatan ekonomi dan ambil bagian dalam
menikmati pertumbuhan ekonomi.
Menurut teori Maslow,
manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan tersebut
memiliki tingkatan mulai dari yang paling rendah bersifat fisiologis seperti
makan, sampai yang paling tinggi berupa aktualisasi diri. Bagaimana dengan pengeluaran
penduduk Indonesia? Jika masih berkutat untuk kebutuhan fisiologis, jangan
berharap untuk terjadi lompatan besar dalam peningkatan kualitas sumber daya
manusia. Tingginya kualitas SDM hanya akan tercipta manakala kebutuhan fisik
terpenuhi, sehingga ada waktu dan anggaran untuk pengembangan dan aktualisasi
diri dengan pendidikan dan ketrampilan.
Masalah perekonomian bangsa
Indonesia saat ini terlihat belum terselesaikannya pada persoalan kemiskinan,
kesenjangan sosial, kesenjangan antar wilayah, dan ketergantungan dalam hal pangan,
energi, keuangan dan teknologi (Bapenas, 2014). Persoalan tersebut memunculkan
tantangan dengan pertumbuhan ekonomi, pemerataan berkeadilan, dan peningkatan
kualitas SDM.
Dari segi Pendidikan, tidak
cukup hanya partisipasi dan harapan lama sekolah yang meningkat setiap tahun,
jika tidak disertai peningkatan kualitas peserta didik. Kualitas pendidikan
kita masih kalah jauh dibandingkan Vietnam dalam Program for International
Student Assesment (PISA) yaitu penilaian anak usia sekolah dalam sains, membaca,
dan matematika. Dengan alokasi anggaran pendidikan yang sama yaitu 20 persen
dari APBN, Vietnam menduduki peringkat ke 22, sedangkan Indonesia di peringkat 67
dari 72 negara. Tidak mengherankan jika Vietnam dengan kualitas SDM tersebut mampu
mengoptimalkan sektor pertaniannya hingga menjadi negara pengekspor beras
terbesar di dunia.
Kenyataan ini memberikan
arti bahwa pendidikan tidak hanya sekedar besar kecilnya anggaran. Namun
bagaimana meningkatkan kualitas pendidik sebagai ujung tombak dalam
menyampaikan materi dan peningkatan kualitas siswa. Peningkatan anggaran pendidikan
maupun tunjangan sertifikasi guru harus diikuti oleh peningkatan kualitas siswa
yang terukur secara internasional. Bagaimana pun sumber daya manusia yang
dihasilkan nanti akan bersaing secara global untuk memperebutkan peluang
ekonomi.
Dari segi kesehatan, dalam sebulan terakhir terdapat
penduduk yang mengalami keluhan kesehatan sebanyak 30,96 persen atau meningkat
dalam tiga tahun terakhir (BPS, 2018). Keluhan kesehatan ini secara otomatis
akan mengurangi produktivitas dalam bekerja maupun belajar.
Oleh karena itu meningkatkan derajat kesehatan dengan
menjaga ketersediaan dan harga pangan yang terjangkau mutlak diperlukan.
Bantuan pangan non tunai juga perlu dinaikkan nominalnya dan diperluas penerima
manfaatnya, agar mencukupi kebutuhan pangan dan gizi penduduk. Peningkatan gizi
ini memungkinkan penduduk lebih produktif secara pendidikan dan ekonomi. Selain
itu dengan derajat kesehatan yang meningkat akan menekan biaya kesehatan yang
harus ditanggung oleh pemerintah. Bukan rahasia umum, jika Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) Kesehatan mengalami defisit dan menunggak pembayaran pada banyak
rumah sakit.
Satu hal yang perlu diingat bahwa peningkatan kualitas
pendidikan dan kesehatan ini merupakan investasi jangka panjang. Sehingga
diperlukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan dalam beberapa periode
kepemimpinan. Dengan kualitas sumber daya manusia yang meningkat, diharapkan
memiliki kemampuan untuk berkontribusi yang optimal dalam perekonomian. Secara
individu kesejahteraannya akan meningkat, dan secara nasional pun pertumbuhan
ekonominya juga akan melesat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar