Halaman

Sabtu, 06 April 2019

#86 Kunci Pertumbuhan Berkualitas


Indonesia diprediksi menjadi negara maju dengan menduduki peringkat ke 6 Produk Dometik Bruto (PDB) tertinggi di dunia pada tahun 2030. Hal tersebut tentu membutuhkan syarat dengan mengejar pertumbuhan antara 6-8 persen per tahun. Meski PDB dan pertumbuhan ekonomi menjadi tolok ukur untuk menjadi negara maju, namun kesejahteraan penduduk harus menjadi tujuan utama dalam pembangunan yang berkesinambungan.
Terlebih apabila ukuran yang digunakan untuk melihat kesejahteraan penduduk adalah PDB per kapita yang bisa jadi hanya mencerminkan kesejahteraan semu. Sebagaimana diketahui PDB per kapita Indonesia pada tahun 2018 sebesar 56,0 juta rupiah per tahun atau meningkat 4,1 juta dalam setahun terakhir.

PDB maupun PDB per kapita yang tinggi tidak menjamin kesejahteraan penduduk di dalamnya. Sebagai contoh Kabupaten Mimika di Papua yang kaya akan tambang emas dan tembaga, memiliki PDRB per kapita tinggi yang mencapai Rp.371,955 juta per tahun (7 kali lipat PDB per kapita nasional).
Namun faktanya kemiskinan dan pengangguran masih menjadi persoalan di kabupaten tersebut. Kemiskinan di Kabupaten Mimika masih 14,89 persen pada tahun 2017. Demikian juga dengan tingkat penganggurannya yang mencapai 7,7 persen (di atas rata-rata nasional) pada periode yang sama. Padahal pertumbuhan ekonomi Kabupaten Mimika sebesar 5,69 persen, dan tahun 2016 pertumbuhannya bahkan mencapai 11,39 persen.
Ironi di atas terjadi karena nilai tambah yang tercipta dari kegiatan ekonomi di wilayah tersebut tidak dinikmati oleh penduduk seutuhnya. Nilai tambah dari kegiatan ekonomi tersebut dibawa keluar oleh pemodal dan dinikmati oleh segelintir karyawan berupa upah dan gaji. Tentu kita tidak menginginkan Indonesia sebagaimana gambaran kecil pada Kabupaten Mimika tersebut. Pertumbuhan ekonomi tinggi, PDRB dan PDRB per kapita tinggi namun tidak berkualitas karena kesejahteraan penduduknya di bawah rata-rata.
Belum lagi apabila pertumbuhan ekonomi justru menyisakan kesenjangan yang makin lebar antar kelompok ekonomi penduduk. Yang kaya makin kaya, yang miskin semakin miskin. Hal ini karena tidak semua penduduk memiliki kemampuan dan peluang yang sama terhadap kegiatan ekonomi. Sebagai contoh, rata-rata pengeluaran 20 persen penduduk terbawah Indonesia sebesar 378 ribu rupiah  per bulan, sedangkan untuk penduduk kelas atas rata-rata pengeluarannya sebesar 2,59 juta rupiah per bulan (hampir 7 kali lipat).
Secara nasional, rata-rata pengeluaran penduduk tertinggi terdapat di DKI Jakarta yaitu sebesar 2,03 juta rupiah per bulan. Selain itu kemiskinan di Provinsi DKI juga terendah se Indonesia yaitu sebesar 3,55 persen. Untuk PDRB perkapita DKI Jakarta sebesar 248,31 juta per tahun dengan pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta sebesar 6,17 persen (di atas rata-rata nasional).
Kondisi ideal seperti DKI Jakarta tersebut tentu mensyaratkan adanya kualitas sumber daya manusia yang tercermin dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM DKI Jakarta sebesar 80,06 jauh melampui rata-rata IPM nasional yang nilainya sebesar 70,81. Dengan predikat IPM sangat tinggi tersebut memungkinkan penduduk DKI dapat berperan aktif dalam kegiatan ekonomi dan ambil bagian dalam menikmati pertumbuhan ekonomi.
Menurut  teori Maslow, manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan tersebut memiliki tingkatan mulai dari yang paling rendah bersifat fisiologis seperti makan, sampai yang paling tinggi berupa aktualisasi diri. Bagaimana dengan pengeluaran penduduk Indonesia? Jika masih berkutat untuk kebutuhan fisiologis, jangan berharap untuk terjadi lompatan besar dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Tingginya kualitas SDM hanya akan tercipta manakala kebutuhan fisik terpenuhi, sehingga ada waktu dan anggaran untuk pengembangan dan aktualisasi diri dengan pendidikan dan ketrampilan.
            Masalah perekonomian bangsa Indonesia saat ini terlihat belum terselesaikannya pada persoalan kemiskinan, kesenjangan sosial, kesenjangan antar wilayah, dan ketergantungan dalam hal pangan, energi, keuangan dan teknologi (Bapenas, 2014). Persoalan tersebut memunculkan tantangan dengan pertumbuhan ekonomi, pemerataan berkeadilan, dan peningkatan kualitas SDM.
Dari segi Pendidikan, tidak cukup hanya partisipasi dan harapan lama sekolah yang meningkat setiap tahun, jika tidak disertai peningkatan kualitas peserta didik. Kualitas pendidikan kita masih kalah jauh dibandingkan Vietnam dalam Program for International Student Assesment (PISA) yaitu penilaian anak usia sekolah dalam sains, membaca, dan matematika. Dengan alokasi anggaran pendidikan yang sama yaitu 20 persen dari APBN, Vietnam menduduki peringkat ke 22, sedangkan Indonesia di peringkat 67 dari 72 negara. Tidak mengherankan jika Vietnam dengan kualitas SDM tersebut mampu mengoptimalkan sektor pertaniannya hingga menjadi negara pengekspor beras terbesar di dunia.
Kenyataan ini memberikan arti bahwa pendidikan tidak hanya sekedar besar kecilnya anggaran. Namun bagaimana meningkatkan kualitas pendidik sebagai ujung tombak dalam menyampaikan materi dan peningkatan kualitas siswa. Peningkatan anggaran pendidikan maupun tunjangan sertifikasi guru harus diikuti oleh peningkatan kualitas siswa yang terukur secara internasional. Bagaimana pun sumber daya manusia yang dihasilkan nanti akan bersaing secara global untuk memperebutkan peluang ekonomi.
Dari segi kesehatan, dalam sebulan terakhir terdapat penduduk yang mengalami keluhan kesehatan sebanyak 30,96 persen atau meningkat dalam tiga tahun terakhir (BPS, 2018). Keluhan kesehatan ini secara otomatis akan mengurangi produktivitas dalam bekerja maupun belajar.
Oleh karena itu meningkatkan derajat kesehatan dengan menjaga ketersediaan dan harga pangan yang terjangkau mutlak diperlukan. Bantuan pangan non tunai juga perlu dinaikkan nominalnya dan diperluas penerima manfaatnya, agar mencukupi kebutuhan pangan dan gizi penduduk. Peningkatan gizi ini memungkinkan penduduk lebih produktif secara pendidikan dan ekonomi. Selain itu dengan derajat kesehatan yang meningkat akan menekan biaya kesehatan yang harus ditanggung oleh pemerintah. Bukan rahasia umum, jika Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengalami defisit dan menunggak pembayaran pada banyak rumah sakit.
Satu hal yang perlu diingat bahwa peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan ini merupakan investasi jangka panjang. Sehingga diperlukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan dalam beberapa periode kepemimpinan. Dengan kualitas sumber daya manusia yang meningkat, diharapkan memiliki kemampuan untuk berkontribusi yang optimal dalam perekonomian. Secara individu kesejahteraannya akan meningkat, dan secara nasional pun pertumbuhan ekonominya juga akan melesat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

#139 Kemiskinan Dalam Tekanan Inflasi

Tren penurunan jumlah penduduk miskin pasca pandemi sedikit terganggu dengan lonjakan inflasi yang terjadi pada akhir tahun 2022. Hal ini di...