Halaman

Rabu, 20 Maret 2019

#84 Kartu Pra Kerja, dan Kondisi Tenaga Kerja Kita


                  Presiden Joko Widodo telah berhasil menurunkan angka kemiskinan hingga satu digit dengan berbagai program anti kemiskinannya. Keberhasilan Kartu Keluarga Sejahtera, Kartu Indonesia Sehat, hingga Kartu Indonesia Pintar mendorong Presiden untuk berencana meluncurkan Kartu Pra-Kerja bagi pengangguran yang baru lulus sekolah. Rencana ini tentu mengusik rasa keadilan dan kemanusiaan, ketika pada saat yang sama penduduk miskin bekerja keras dengan hasil yang kurang mencukupi kebutuhan hidupnya.

            Ada beberapa hal yang harus dicermati terkait angka ketenagakerjaan di Indonesia sebagai bahan dalam merumuskan rencana kebijakan. Pertama, meski pengangguran hanya 5,34 persen, namun jumlah penduduk yang setengah menganggur mencapai 8,21 juta (6,27 persen) atau lebih banyak dari tingkat pengangguran tadi. Penduduk setengah menganggur ini adalah penduduk yang jam kerjanya kurang dari jam kerja normal, dan masih mencari atau menerima pekerjaan tambahan. Belum lagi jika dilihat tingkat pendidikan tenaga kerja di Indonesia yang didominasi oleh lulusan SD ke bawah yang mencapai lebih dari 40 persen, diikuti oleh lulusan SMP (18 persen) dan SMA/SMK (11 persen). Dengan pendidikan tenaga kerja seperti ini dapat disimpulkan bahwa tenaga kerja Indonesia kurang berkualitas dan sulit untuk bersaing secara global.



           Kedua, definisi bekerja yang digunakan oleh BPS adalah minimal bekerja selama 1 jam dalam satu minggu. Konsep ini merujuk pada rekomendasi ILO agar data yang dihasilkan dapat dibandingkan secara internasional. Dengan minimal jam kerja 1 jam ini memungkinkan banyak waktu produktif yang belum dimanfaatkan secara optimal untuk menghasilkan nilai tambah. Belum lagi yang termasuk dalam kategori pekerja paruh waktu yang bekerja kurang dari full time (35 jam atau lebih dalam seminggu). Pekerja paruh waktu ini tidak punya keinginan untuk menambah pekerjaan, dan jumlahnya mencapai 22,07 persen dari seluruh penduduk yang bekerja.


           Ketiga, apabila dirinci menurut status pekerjaannya, tidak sedikit pekerja yang berstatus sebagai pekerja keluarga atau pekerja tidak dibayar yang mencapai 12,20 persen. Hal ini berarti bahwa meskipun yang bersangkutan tergolong bekerja dan tidak termasuk pengangguran, namun pada kenyataannya dia tidak memperoleh gaji atau penghasilan yang bisa dibelanjakan. Selain itu mayoritas penduduk Indonesia bekerja pada sektor informal yang mencapai 56,84 persen.

            Keempat, sebagian besar penduduk Indonesia bekerja pada sektor pertanian. Meski menyerap paling banyak tenaga kerja, namun kontribusi sektor pertanian dalam Produk Domestik Bruto (PDB) kalah jauh jika dibandingkan dengan sektor industri pengolahan dan perdagangan. Artinya sektor pertanian yang menjadi tumpuan hidup bagi 28,79 persen penduduk ini memberikan nilai tambah yang tidak besar. Tidak mengherankan apabila banyak penduduk miskin bekerja pada sektor pertanian. Sektor pertanian masih menjadi kantong kemiskinan di perdesaan. Hal ini pun terlihat dari rata-rata upah pekerja bebas pada sektor pertanian yang hanya sebesar 1,1 juta rupiah per bulan,. Upah tenaga kerja di sektor pertanian ini paling rendah jika dibandingkan dengan upah tenaga kerja pada sektor ekonomi yang lainnya.


           Kelima, berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2018 jumlah pengangguran tertinggi di Indonesia merupakan lulusan SMK dan SMA dengan persentase mencapai 11,24 persen dan 7,95 persen. Jumlah lulusan yang terus meningkat setiap tahun tidak mampu terserap oleh lapangan pekerjaan yang ada. Sementara mereka yang berpendidikan rendah cenderung mau menerima pekerjaan apa saja. Hal ini dapat dilihat ada tingkat pengangguran pada kelompok tidak pernah sekolah dan belum pernah sekolah yang angkanya sangat rendah yaitu hanya 0,94 persen.


       Amat disayangkan apabila pengangguran dengan pendidikan tinggi ini mendapat tunjangan atau gaji sebelum bekerja, sedangkan penduduk miskin dan hampir miskin yang berpendidikan rendah bersedia membanting tulang untuk bekerja dengan hasil yang tidak mencukupi. Tentu hal ini mengusik rasa kemanusiaan dan keadilan kita. Bahkan sebagai catatan tingkat pengangguran pada kelompok umur muda di Indonesia mencapai 19,68 persen. Hal ini dapat diartikan bahwa dari 100 penduduk berumur 15-24 tahun yang termasuk angkatan kerja, terdapat sekitar 20 orang yang menganggur. Kemungkinan besar kelompok ini adalah penduduk yang baru lulus sekolah menengah pertama, menengah atas, dan perguruan tinggi. Bisa dibayangkan berapa besar dana yang akan dikeluarkan oleh pemerintah untuk memberikan gaji atau tunjangan untuk pengangguran ini. 


           Akan lebih elok jika dana tersebut digunakan untuk meningkatkan kualitas angkatan kerja di Indonesia, mendorong pembukaan lapangan pekerjaan baru dan meningkatkan produktivitas pada sektor-sektor yang banyak menyerap tenaga kerja. Hampir semua sektor ekonomi mengalami pertumbuhan setiap tahun, namun tidak disertai oleh penyerapan tenaga kerja baru yang signifikan, Bahkan ada beberapa sektor yang tumbuh namun terjadi penurunan jumlah tenaga kerja.


          Di sektor pertanian yang paling banyak menyerap tenaga kerja, dapat dilakukan dengan memberikan banyak insentif kepada petani. Jaminan terhadap harga panen dengan untung minimal 30 persen akan mendorong petani menggarap lahan pertaniannya. Memberikan jaminan gagal panen dengan memberikan pengganti berupa pupuk dan benih sebagaimana yang dilakukan oleh Thailand bisa menjamin keberlangsungan pertanian. Selain itu, pembatasan impor produk pertanian akan menggairahkan sektor pertanian menjadi lebih produktif. Perlu kiranya kita belajar kepada negara Vietnam dan Thailand yang telah menjadi pengekspor beras terbesar di dunia, padahal lahan pertanian mereka lebih sempit dibandingkan dengan Indonesia.


           Untuk pekerja pada sektor perdagangan, akomodasi dan penyediaan makan minum yang menyerap tenaga kerja terbanyak kedua setelah pertanian juga perlu diperhatikan. Geliat kelas menengah di Indonesia telah mendorong sektor perdagangan baik secara offline maupun online di Indonesia. Untuk kesejahteraan pekerja pada sektor ini, perlu menambah jumlah komponen hidup layak dalam penghitungan UMR. Karena tidak sedikit usaha pada sektor ini yang meminta penangguhan dalam pembayaran upah sesuai UMR. Selain itu menaikkan penghasilan tidak kena pajak diyakini akan meningkatkan daya beli pekerja sehingga akan meningkatkan kesejahteraannya.


    Dengan mencermati angka-angka ketenagakerjaan di atas, semoga menjadi pertimbangan dalam merumuskan kebijakan dalam mengatasi pengangguran sekaligus meningkatkan kesejahteraan penduduk Indonesia.



(dimuat Pada Kolom Detiknews.com pada tanggal 19 Maret 2019)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

#138 Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas

  (Dimuat di Kolom Opini Republika, 25 November 2022) Perekonomian Indonesia mampu tumbuh mengesankan di tengah ancaman resesi global saat i...