Presiden Joko Widodo telah berhasil menurunkan angka kemiskinan hingga satu digit dengan berbagai program anti kemiskinannya. Keberhasilan Kartu Keluarga Sejahtera, Kartu Indonesia Sehat, hingga Kartu Indonesia Pintar mendorong Presiden untuk berencana meluncurkan Kartu Pra-Kerja bagi pengangguran yang baru lulus sekolah. Rencana ini tentu mengusik rasa keadilan dan kemanusiaan, ketika pada saat yang sama penduduk miskin bekerja keras dengan hasil yang kurang mencukupi kebutuhan hidupnya.
Ada beberapa hal yang harus dicermati terkait angka ketenagakerjaan di Indonesia sebagai bahan dalam merumuskan rencana kebijakan. Pertama, meski pengangguran hanya 5,34 persen, namun jumlah penduduk yang setengah menganggur mencapai 8,21 juta (6,27 persen) atau lebih banyak dari tingkat pengangguran tadi. Penduduk setengah menganggur ini adalah penduduk yang jam kerjanya kurang dari jam kerja normal, dan masih mencari atau menerima pekerjaan tambahan. Belum lagi jika dilihat tingkat pendidikan tenaga kerja di Indonesia yang didominasi oleh lulusan SD ke bawah yang mencapai lebih dari 40 persen, diikuti oleh lulusan SMP (18 persen) dan SMA/SMK (11 persen). Dengan pendidikan tenaga kerja seperti ini dapat disimpulkan bahwa tenaga kerja Indonesia kurang berkualitas dan sulit untuk bersaing secara global.
Ada beberapa hal yang harus dicermati terkait angka ketenagakerjaan di Indonesia sebagai bahan dalam merumuskan rencana kebijakan. Pertama, meski pengangguran hanya 5,34 persen, namun jumlah penduduk yang setengah menganggur mencapai 8,21 juta (6,27 persen) atau lebih banyak dari tingkat pengangguran tadi. Penduduk setengah menganggur ini adalah penduduk yang jam kerjanya kurang dari jam kerja normal, dan masih mencari atau menerima pekerjaan tambahan. Belum lagi jika dilihat tingkat pendidikan tenaga kerja di Indonesia yang didominasi oleh lulusan SD ke bawah yang mencapai lebih dari 40 persen, diikuti oleh lulusan SMP (18 persen) dan SMA/SMK (11 persen). Dengan pendidikan tenaga kerja seperti ini dapat disimpulkan bahwa tenaga kerja Indonesia kurang berkualitas dan sulit untuk bersaing secara global.
Kedua, definisi bekerja yang digunakan oleh BPS adalah minimal bekerja selama 1 jam dalam satu minggu. Konsep ini merujuk pada rekomendasi ILO agar data yang dihasilkan dapat dibandingkan secara internasional. Dengan minimal jam kerja 1 jam ini memungkinkan banyak waktu produktif yang belum dimanfaatkan secara optimal untuk menghasilkan nilai tambah. Belum lagi yang termasuk dalam kategori pekerja paruh waktu yang bekerja kurang dari full time (35 jam atau lebih dalam seminggu). Pekerja paruh waktu ini tidak punya keinginan untuk menambah pekerjaan, dan jumlahnya mencapai 22,07 persen dari seluruh penduduk yang bekerja.
Amat disayangkan apabila pengangguran dengan pendidikan tinggi ini mendapat tunjangan atau gaji sebelum bekerja, sedangkan penduduk miskin dan hampir miskin yang berpendidikan rendah bersedia membanting tulang untuk bekerja dengan hasil yang tidak mencukupi. Tentu hal ini mengusik rasa kemanusiaan dan keadilan kita. Bahkan sebagai catatan tingkat pengangguran pada kelompok umur muda di Indonesia mencapai 19,68 persen. Hal ini dapat diartikan bahwa dari 100 penduduk berumur 15-24 tahun yang termasuk angkatan kerja, terdapat sekitar 20 orang yang menganggur. Kemungkinan besar kelompok ini adalah penduduk yang baru lulus sekolah menengah pertama, menengah atas, dan perguruan tinggi. Bisa dibayangkan berapa besar dana yang akan dikeluarkan oleh pemerintah untuk memberikan gaji atau tunjangan untuk pengangguran ini.
Dengan mencermati angka-angka ketenagakerjaan di atas, semoga menjadi pertimbangan dalam merumuskan kebijakan dalam mengatasi pengangguran sekaligus meningkatkan kesejahteraan penduduk Indonesia.
(dimuat Pada Kolom Detiknews.com pada tanggal 19 Maret 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar