Salah satu kegiatan dalam gelaran pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional (IMF)-Bank
Dunia (World Bank) di Nusa Dua, Bali, Selasa (9/10/2018) adalah seminar Empowering
Women in the Workplace,
Selasa (9/10/2018). Seminar tersebut membahas tentang
pemberdayaan perempuan di dunia kerja.
Dalam seminar yang mempertemukan
para perempuan hebat dunia tersebut, Sri Mulyani mengusulkan agar kegiatan mengurus rumah tangga, seperti
merawat anak, dimasukkan sebagai komponen Produk
Domestik Bruto (PDB) karena
nilainya sangat tinggi dan penting. Namun, aktivitas ekonomi tersebut menjadi
hampir tak ada nilainya dalam komponen penghitungan PDB. Hal ini senada dengan pendapat Sri Moertiningsih Adioetomo (Opini Kompas, 2017) bahwa kegiatan
domestik perempuan sebenarnya mempunyai nilai ekonomi yang dapat meningkatkan
pendapatan nasional. Konsep perempuan ”bekerja” sudah harus diteliti lagi dan
disesuaikan dengan perkembangan teknologi. Bekerja bagi perempuan tidak harus
keluar rumah.
Tantangan di atas dijawab oleh Direktur
IMF, Christine Lagarde "Kami akan
mengadakan konferensi statistik di November di mana kami mencari cara untuk mengumpulkan data-data yang
belum dicatat dalam komponen PDB [termasuk pekerjaan rumah tangga],". Selain itu Lagarde lebih banyak menyoroti mengenai kondisi
pekerja perempuan yang saat ini tengah menghadapi era teknologi tinggi (high-tech). Paparan teknologi tinggi
tersebut tentu akan berpengaruh cukup besar terhadap keberadaan perempuan dalam
angkatan kerja. Efek ini bukan karena perempuan bersifat minoritas, akan tetapi
karena mereka bekerja dalam bidang pekerjaan yang dapat diotomatisasi. Sehingga
teknologi akan menggusur lapangan kerja bagi perempuan.
Tidak dapat dipungkiri transisi demografi
ketiga telah mendorong banyak perempuan untuk beraktifitas ekonomi keluar
rumah. Kondisi ini tidak jarang mengakibatkan anak dan orang tua lanjut usia
menjadi pihak yang dikorbankan. Kebersamaan anak dan orang tua sedikit banyak
terenggut waktunya hingga menurunkan kebahagiaan anak.
Anak
yang bahagia, akan lebih optimal perkembangannya. Dan ini membutuhkan peran
seorang perempuan. Peranan ibu dimulai dari 1.000 hari pertama kehidupan, di
mana kemampuan kognitif anak terbentuk sejak janin dalam kandungan. Kemudian
ibu juga akan bertanggungjawab dalam tumbuh kembang anak hingga memasuki dunia
kerja sehingga mampu menggantikan angkatan kerja saat ini yang belum menguntungkan.
Dengan
rata-rata lama sekolah dan harapan lama sekolah bagi perempuan yang terus
meningkat setiap tahun menjadikan perempuan semakin berkualias secara
pendidikan. Kondisi ini tentu mendorong perempuan untuk mengaktualisasikan
dirinya di dunia kerja. Namun ketika berkeluarga, perempuan dihadapkan pada
posisi yang sulit. Dorongan untuk bekerja dan tarikan untuk mendidik
putra-putrinya semakin kuat pertentangannya. Terlebih saat ini semakin sulit
untuk mencari pengasuh yang mumpuni, sedangkan di sisi yang lain biaya
pengasuhan juga semakin meningkat.
Kondisi
dilema ini semakin menjadi manakala kebutuhan hidup keluarga juga semakin
tinggi sedangkan penghasilan dari pasangan sebagai penopang nafkah keluarga
belum mencukupi. Keinginan untuk memberikan pendidikan terbaik bagi putra putrinya, hingga
fasilitas kesehatan yang berkualitas mendorong perempuan untuk menambah penghasilan
keluarga.
Namun tidak semua perempuan
harus keluar rumah untuk memasuki lapangan usaha formal. Tidak perlu juga
dibenturkan antara peran perempuan dalam keluarga dan perannya di luar rumah. Ada
peran perempuan yang tidak bisa diwakilkan dalam keluarga. Ada tanggungjawab
dalam mengasuh dan mendidik anak sebagai generasi penerus bangsa.
Segala
peluang bonus demografi sering dibahas, namun syarat-syarat yang harus
menyertainya sering kali dilupakan. Meningkatnya penduduk usia produktif yang
cepat belum diikuti dengan peningkatan kualitas sumber daya manusianya. Secara
usia masuk produktif, namun secara kemampuan dan daya saing sangat rendah. Terlebih
di era digital seperti sekarang, generasi milenial yang lekat dengan teknologi
serba cepat telah menjadikannya kurang memiliki daya
relisien (kuat dan tangguh).
Peranan ibu dalam pembentukan karakter anak di dalam keluarga sangat menentukan
keberhasilan anak di kemudian hari.
Proses
pembentukan tersebut lebih banyak ada di dalam keluarga sebagai pondasi pertama
dan utama dalam kehidupan bernegara.
Usia
produktif yang tidak menguntungkan akan semakin menambah beban pemerintah
karena menciptakan pengangguran yang tinggi. Sebagai gambaran, pengangguran
tertinggi didominasi oleh penduduk usia dengan pendidikan SMA dan SMK. Bahkan, jika dirinci menurut kelompok umur milenial,
semakin muda usia milenial kian tinggi angka penganggurannya, yang sekaligus
menunjukkan semakin sulit memperoleh pekerjaan. Namun terbukanya jendela
peluang yang melebar menjadi 2020-2040, 10 tahun lebih panjang dari semula
agaknya cukup waktu untuk membentuk modal manusia berkualitas dan berkarakter
yang dimulai dari peranan ibu dalam keluarga.
Saat
ini justru yang harus didorong adalah penciptaan usaha informal bagi perempuan.
Hal ini dimaksudkan agar perempuan dapat aktif secara ekonomi meski sudah
memasuki gerbang pernikahan. Bagi perempuan kelas menengah atas yang melek
teknologi, bekerja dari rumah merupakan pilihan yang banyak dinikmati. Bahkan
di era teknologi informasi yang semakin canggih sekarang banyak peluang
pekerjaan yang bisa dilakukan dari rumah sambil mengasuh anak yang sehat,
berkualitas, berkarakter, serta berintegritas tinggi. Menjadi seorang penulis,
programmer, desainer, content writer, ataupun pedagang online merupakan
pilihan pekerjaan yang mampu meningkatkan penghasilan perempuan.
Sedangkan
bagi perempuan pekerja formal, dibutuhkan dukungan penuh dari institusi sangat
diperlukan. Jika ruang laktasi sudah menjadi kebutuhan hampir di semua tempat
kerja, maka pengaturan jam kerja juga harus lebih ramah bagi perempuan yang
sudah berkeluarga. Hal ini supaya mereka
dapat bekerja dengan nyaman dan dapat menunjukkan seluruh potensi yang ia
miliki tanpa harus mengorbankan keluarga. Demikian juga dengan upah
antara laki-laki dan perempuan harus adil sesuai dengan pendidikan dan beban
kerja, karena masih ada perbedaan besarnya upah antara laki-laki dan perempuan
(Sakernas, Februari 2018).
Selain itu, kebutuhan akan peningkatan pendidikan
dan keterampilan perempuan mutlak diperlukan. Tidak selamanya kondisi ideal
akan selalu dinikmati oleh perempuan. Ada sebanyak 15,07 persen perempuan
berstatus sebagai kepala rumah tangga yang disebabkan oleh perceraian maupun
kematian pasangannya. Bahkan dari seluruh rumah tangga miskin di Indonesia, ada
sebanyak 16,12 persen rumah tangga miskin yang dikepalai oleh perempuan.
Kondisi inilah yang memaksa perempuan untuk bergerak guna memenuhi kebutuhan
sosial ekonomi keluarganya.
Pada
akhirnya yang harus dipahami bagi seorang perempuan
baik yang bekerja maupun yang
tidak bekerja bahwa
tanggungjawab pengasuhan dan pendidikan anak ada pada pundaknya. Apapun aktifitas ibu di luar rumah, pendidikan dan pengasuhan
anak menjadi prioritas utamanya. Peranan ibu dalam keluarga sangat diperlukan
dalam pembentukan modal sumber daya manusia. Semua
berawal dari ibu dan keluarga untuk menciptakan bonus demografi kedua di mana
angkatan kerjanya
berkualitas dengan produktivitas yang
tinggi.
(Dimuat Di Kolom Detiknews.com, 7 November 2018)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar