Dana
desa telah terbukti mampu meningkatkan kemajuan bagi desa di Indonesia. Deretan
pembangunan infrastruktur hingga aneka pemberdayaan ekonomi desa melalui BUMDes
maupun Prukades menjadi sebuah keberhasilan yang membanggakan. Namun ada satu
hal yang luput dari perhatian, yaitu ketimpangan di perdesaan yang kian melebar
dalam setahun terakhir.
Berkurangnya
angka kemiskinan dan pengangguran di desa merupakan sebuah keberhasilan
pemerintah yang harus diapresiasi. Namun sebagaimana diketahui bahwa menurunnya
angka kemiskinan tidak terkecuali di perdesaan lebih karena penyaluran aneka bantuan
sosial yang tepat waktu dan mencapai target. Karena bagaimanapun kemiskinan di
perdesaan juga masih bertengger pada level 2 digit yaitu 13,20 persen.
Sedangkan untuk ketimpangan pengeluaran penduduk desa yang diukur menggunakan
gini rasio mengalami peningkatan dari 0,320 menjadi 0,324 dalam setahun
terakhir.
Ketimpangan
di perdesaan yang kian lebar disebabkan oleh laju pertumbuhan pengeluaran
penduduk kelas atas di desa lebih tinggi dibandingkan dengan laju peningkatan
pengeluaran penduduk 40 persen terbawah. Akibatnya, proporsi pengeluaran
penduduk kelas atas semakin besar sedangkan proporsi pengeluaran penduduk 40
persen terbawah semakin kecil. Hal ini sesuai dengan rilis BPS bahwa
pengeluaran penduduk 20 persen teratas naik 4,95 persen, sedangkan pengeluaran
penduduk 40 persen terbawah hanya naik 2,93 persen. Kondisi ini bisa menjadi
sinyal bahwa kucuran dana desa lebih menguntungkan para elite desa dan kurang
menyentuh penduduk miskin desa.
Ketimpangan
pengeluaran/konsumsi biasanya terkait erat dengan bentuk ketimpangan lainnya
seperti ketimpangan akses terhadap pendidikan, ketimpangan akses terhadap
layanan kesehatan, dan layanan publik yang secara umum termanifestasi dalam
ketimpangan kesempatan (inequality of
opportunity). Dimensi lain dari ketimpangan ini dianggap memiliki dampak
signifikan mengganggu pertumbuhan ekonomi dan upaya penanggulangan kemiskinan,
bahkan juga terhadap stabilitas sosial politik (The Smeru Reasearch Institute,
2017).
Pertumbuhan
ekonomi dihitung berdasarkan dari Produk Domestik Bruto maupun Produk Domestik
Regional Bruto (PDB/PDRB) atas harga konstan (harga tahun dasar). Struktur PDB/PDRB
menurut pengeluaran di Indonesia masih didominasi oleh konsumsi rumah tangga
yaitu sebesar 55,43 persen. Sehingga segala hal yang terjadi pada pengeluaran
rumah tangga akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.
Ketimpangan
pengeluaran makin rendah manakala distribusi pengeluaran antara kelompok penduduk
makin kecil selisihnya. Jika penduduk kelas bawah semakin kecil kontribusinya
dalam pengeluaran nasional, maka ketimpangan akan semakin lebar dan hal ini
akan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu daya beli penduduk kelas
menengah kebawah harus dijaga, tidak hanya untuk kesejahteraan pribadinya,
namun juga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi secara nasional.
Ketimpangan
di perdesaan yang kian lebar akan memberatkan pertumbuhan ekonomi. Padahal di
tengah kondisi ekonomi global yang tidak jelas, kita sangat membutuhkan
dorongan pertumbuhan ekonomi terutama dari konsumsi rumah tangga. di tengah
kurs rupiah yang melemah, defisit neraca perdagangan maka peningkatan konsumsi
rumah tangga diharapkan mampu melejitkan perekonomian indonesia.
Oleh
karena itu diperlukan upaya untuk mempersempit ketimpangan pengeluaran di
Indonesia. Selain upaya kuratif pemerintah melalui aneka bantuan sosial, diperlukan
pemberdayaan ekonomi penduduk. Pemanfaatan sumber daya lokal yang secara
langsung meningkatkan pendapatan penduduk akan mengurangi ketimpangan yang ada.
Jika
selama ini target penurunan kemiskinan masih diukur secara nasional, maka untuk
kedepan target-target tersebut harus dipecah menjadi penurunan kemiskinan perkotaan
dan kemiskinan perdesaan. Meski BPS telah merinci kemiskinan menurut wilayah
perdesaan dan perkotaan, namun dalam target penurunan pemerintah belum
memberikan perhatian terhadap perdesaan secara khusus. Harus diakui, Presiden
Jokowi telah memberikan perhatian yang
terhadap perdesaan yang dibuktikan dengan peningkatan dana desa hingga 80
Triliun pada tahun 2019.
Namun
demikian dampak dana desa terhadap perekonomian belum sepenuhnya bisa diukur.
Hal ini karena untuk Produk Domestik Bruto maupun Produk Domestik Regional
Bruto (PDB/PDRB) belum membedakan nilai tambah yang tercipta di desa maupun di
kota. Selama ini pertumbuhan ekonomi dihitung agregat di dalam wilayah
Kabupaten/kota, Provinsi, dan Nasional.
Jika
untuk pengeluaran penduduk perdesaan sudah bisa dihitung dari Survei Sosial Ekonomi
Nasional (Susenas) yang selama ini dilakukan oleh BPS, maka untuk PDRB tingkat
kecamatan bukan hal yang mustahil untuk dilakukan. Penghitungan PDRB menurut
lapangan usaha di tingkat Kecamatan bisa didorong untuk diimplemetasikan. Hal
ini untuk mengetahui keberadaan sektor ekonomi unggulan di masing-masing
kecamatan secara jelas dan rinci. Jika selama ini setiap desa atau kecamatan
mengklaim memiliki produk atau sektor unggulan tertentu, maka berapa sebenarnya
nilai tambah yang dihasilkan akan dapat dihitung.
Dengan
dihitungnya PDRB tingkat kecamatan, dana desa yang dikucurkan dalam jumlah
besar tersebut bisa diukur dan dibandingkan hasilnya untuk seluruh Indonesia.
Penghitungan PDRB menurut kecamatan ini akan memungkinkan untuk analisis
selanjutnya seperti Analisis IO (Input Output), ICOR (Incremental Capital Output Ratio) maupun ILOR (Incremental Labour Output Ratio). Analisis IO akan menunjukkan
ketergantungan antara berbagai sektor dan aktivitas ekonomi, baik antar sektor
produksi maupun antara sektor produksi dan konsumsi akhir.
Analisis
ICOR menunjukkan berapa nilai tambah yang dihasilkan dari setiap modal yang
ditambahkan. Ini menjadi sangat penting untuk mengukur besaran suntikan modal
yang dikucurkan dan pengaruhnya terhadap perekonomian. Sedangkan ILOR akan
menghitung besarnya nilai tambah yang dihasilkan setiap penambahan jumlah
tenaga kerja produksi.
Penghitungan
ini akan memotret lebih dekat kondisi perekonomian di perdesaan, sehingga
memudahkan bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan yang optimal. Selanjutnya, diharapkan akan terwujud desa berdaya yang
mampu menyokong perekonomian nasional. Desa yang mandiri dan maju akan menekan
laju urbanisasi sehingga masalah klasik di perkotaan seperti kamacetan, lingkungan
kumuh, dan kriminalitas akan berkurang.
Memberikan perhatian
terhadap perekonomian desa ini menjadi sangat penting selain untuk mendukung
perekonomian nasional secara umum, juga untuk meningkatkan kesejahteraan
penduduk desa yang selama ini rentan terhadap kemiskinan. Perekonomian
perdesaan perlu mendapatkan perhatian, karena desa merupakan tempat harapan dan
masa depan Indonesia bermula.
(Muat Di Koran Republika, 5 November 2018)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar