Halaman

Selasa, 04 September 2018

#77 Kembali Ke Desa


Kemiskinan yang menyentuh level satu digit merupakan sebuah prestasi menggembirakan sebagaimana yang ditargetkan oleh pemerintah. Namun ada hal yang terlewatkan yaitu masih bertenggernya kemiskinan di pedesaan pada level 13,20 persen. Meski kemiskinan di perdesaan menurun, namun celakanya tingkat ketimpangan di perdesaan semakin melebar. Kondisi ini tentu menuntut pemerintah untuk mengarahkan perhatiannya kembali ke desa, tempat dimana harapan dan masa depan Indonesia bermula.
Ketimpangan perdesaan yang melebar ditandai dengan peningkatan proporsi pengeluaran penduduk kelas atas yang lebih cepat dibandingkan dengan penduduk 40 persen terbawah. Harus diakui bahwa penurunan tingkat kemiskinan perdesaan lebih karena program kuratif yang dilakukan oleh pemerintah, seperti ketepatan waktu penyaluran bantuan sosial dan realisasi penyalurannya yang mencapai target.
Menjadi sebuah ironi, manakala sebagian besar penduduk desa memproduksi komoditas pertanian, namun untuk bahan pangan mereka membeli dari pedagang. Bukan rahasia lagi, jika para petani di desa sebagian besar menjual hasil pertaniannya, kemudian membeli hasil olahan pertanian tersebut dengan harga yang lebih tinggi.
Sektor pertanian yang menjadi tumpuan hidup penduduk desa semakin kurang menguntungkan meski produktifitasnya meningkat setiap tahun. Penghasilan petani pun juga kurang memadai, berdasarkan survey ongkos usaha tani (SOUT) yang dilakukan oleh BPS, penghasilan petani tanaman pangan sebesar Rp 4,95 juta per hektar. Jika dihitung per bulan, pendapatan petani hanya sekitar Rp 1,23 juta, jauh dari upah minimum. Kondisi tersebut jika lahan yang digarap sebesar 1 hektar. Padahal kenyataannya sebagian besar petani kita merupakan petani gurem dengan lahan garapan kurang dari 0,5 hektar. Pendapatan yang jauh dari upah minimum regional tersebut masih harus berbagi lagi dengan pemilik lahan, karena lagi-lagi sebagian besar petani (98,53%) hanya sebagai petani penggarap.
Dengan kenyataan tersebut, bukan suatu hal yang aneh jika kesejahteraan petani sangat rendah dan perdesaan menjadi kantong kemiskinan di Indonesia. Tidak mengherankan pula jika tenaga kerja produktif di desa melakukan urbanisasi. Bagaimanapun kota masih menjanjikan peluang pekerjaan dengan upah yang lebih baik. Kondisi ini menjadikan desa tidak berkembang karena hanya diisi oleh tenaga kerja usia tua dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah pula.
Diperlukan terobosan bagaimana meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan penduduk desa. Tidak hanya tergantung dari bantuan sosial tapi harus mampu berdiri sendiri. Karena ketika ketergantungan itu sudah terjadi, akan sangat rentan untuk jatuh ke jurang kemiskinan jika penyaluran aneka bantuan tersebut mengalami keterlambatan. Sebagaimana yang pernah terjadi pada Maret 2017, ketika jumlah penduduk miskin mengalami kenaikan yang disebabkan oleh keterlambatan penyaluran beras sejahtera.
Strategi yang bisa dilakukan adalah mendorong lebih banyak usaha pengolahan produk pertanian. Selama ini petani hanya menjual gabah, maupun tanaman pangan lainnya, maka bisa didorong untuk menjual produk dengan nilai tambah lebih. Selain itu juga memindahkan sentra-sentra industry ke perdesaan untuk menyerap tenaga kerja sekaligus menggerakkan perekonomian di desa. Pengalihan ini selain mendekatkan dengan sumber bahan baku dan tenaga kerja, juga sebagai langkah untuk pemerataan pembangunan ekonomi.
Saat ini pemerintah melalui kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) telah meluncurkan Produk Kawasan Unggulan Perdesaan (Prukades) untuk meningkatkan nilai jual komoditas unggulan. Bahkan PDTT juga telah menggandeng pihak pemerintah daerah dan swasta (korporasi pertanian) sebagai mitra dalam penyediaan benih, penyuluh perusahaan, pabrik pengolah, hingga menerima produk akhir. Sayangnya program prukades ini jangkauannya belum luas sehingga tetap diperlukan inisiatif dari setiap desa untuk menentukan mengembangkan dirinya.
Satu hal yang tidak boleh terlupa adalah evaluasi tentang penggunaan dana desa termasuk program padat karya. Meski harus diakui bahwa dana desa mampu meningkatkan pendapatan dan produktifitas desa, namun pada kenyataannya ketimpangan pengeluaran penduduk di perdesaan semakin melebar. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan pengeluaran penduduk 20 persen teratas lebih tinggi jika dibandingkan dengan pengeluaran penduduk 40 persen terbawah. Jangan sampai program tersebut lebih menguntungkan para elite desa dibandingkan dengan penduduk miskin desa.
Potensi Desa
Penduduk miskin desa dengan kepemilikan aset yang minim, tingkat pendidikan dan kesehatan yang rendah menjadikannya sulit untuk diberdayakan. Oleh karena itu harus ada campur tangan dari pemerintah maupun swasta untuk menggali potensi yang ada. Pemanfaatan sumber daya alam lokal, termasuk potensi wisata yang bisa menjadi magnet baru dalam menggerakkan perekonomian desa. Telah banyak contoh bagaimana pengelolaan potensi desa menjadi sebuah destinasi wisata yang baru.
Dengan memanfaatkan keindahan alam, ada desa Nyalo Painan di Sumatera Barat, Desa Adat di Madobak Mentawai, Desa Tamansari di banyuwangi, Desa Pujon Kidul di Malang dengan wisata agro nya, Pasar Seni di Ubud Gianyar, hingga Umbul Ponggok di Klaten yang mampu menghasilkan Rp 6,5 Milyar dalam setahun. Menjamurnya tempat wisata tersebut sejalan dengan kebutuhan gaya hidup milenial yang baru. Kebutuhan akan leisure economy berupa pengalaman dan rekreasi ke tempat wisata kemudian mengunggahnya dalam jejaring sosial merupakan peluang yang harus bisa ditangkap oleh desa. Dengan demikian perekonomian di desa akan berdenyut sehingga akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan penduduk perdesaan.

(Muat di Republika, 4 September 20148)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

#139 Kemiskinan Dalam Tekanan Inflasi

Tren penurunan jumlah penduduk miskin pasca pandemi sedikit terganggu dengan lonjakan inflasi yang terjadi pada akhir tahun 2022. Hal ini di...