Kemiskinan
yang menyentuh level satu digit merupakan sebuah prestasi menggembirakan
sebagaimana yang ditargetkan oleh pemerintah. Namun ada hal yang terlewatkan
yaitu masih bertenggernya kemiskinan di pedesaan pada level 13,20 persen. Meski
kemiskinan di perdesaan menurun, namun celakanya tingkat ketimpangan di
perdesaan semakin melebar. Kondisi ini tentu menuntut pemerintah untuk mengarahkan
perhatiannya kembali ke desa, tempat dimana harapan dan masa depan Indonesia
bermula.
Ketimpangan
perdesaan yang melebar ditandai dengan peningkatan proporsi pengeluaran
penduduk kelas atas yang lebih cepat dibandingkan dengan penduduk 40 persen
terbawah. Harus diakui bahwa penurunan tingkat kemiskinan perdesaan lebih
karena program kuratif yang dilakukan oleh pemerintah, seperti ketepatan waktu
penyaluran bantuan sosial dan realisasi penyalurannya yang mencapai target.
Menjadi
sebuah ironi, manakala sebagian besar penduduk desa memproduksi komoditas
pertanian, namun untuk bahan pangan mereka membeli dari pedagang. Bukan rahasia
lagi, jika para petani di desa sebagian besar menjual hasil pertaniannya,
kemudian membeli hasil olahan pertanian tersebut dengan harga yang lebih tinggi.
Sektor
pertanian yang menjadi tumpuan hidup penduduk desa semakin kurang menguntungkan
meski produktifitasnya meningkat setiap tahun. Penghasilan petani pun juga
kurang memadai, berdasarkan survey ongkos usaha tani (SOUT) yang dilakukan oleh
BPS, penghasilan petani tanaman pangan sebesar Rp 4,95 juta per hektar. Jika
dihitung per bulan, pendapatan petani hanya sekitar Rp 1,23 juta, jauh dari
upah minimum. Kondisi tersebut jika lahan yang digarap sebesar 1 hektar. Padahal
kenyataannya sebagian besar petani kita merupakan petani gurem dengan lahan
garapan kurang dari 0,5 hektar. Pendapatan yang jauh dari upah minimum regional
tersebut masih harus berbagi lagi dengan pemilik lahan, karena lagi-lagi
sebagian besar petani (98,53%) hanya sebagai petani penggarap.
Dengan
kenyataan tersebut, bukan suatu hal yang aneh jika kesejahteraan petani sangat rendah
dan perdesaan menjadi kantong kemiskinan di Indonesia. Tidak mengherankan pula jika
tenaga kerja produktif di desa melakukan urbanisasi. Bagaimanapun kota masih
menjanjikan peluang pekerjaan dengan upah yang lebih baik. Kondisi ini
menjadikan desa tidak berkembang karena hanya diisi oleh tenaga kerja usia tua
dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah pula.
Diperlukan
terobosan bagaimana meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan penduduk desa. Tidak
hanya tergantung dari bantuan sosial tapi harus mampu berdiri sendiri. Karena ketika
ketergantungan itu sudah terjadi, akan sangat rentan untuk jatuh ke jurang
kemiskinan jika penyaluran aneka bantuan tersebut mengalami keterlambatan.
Sebagaimana yang pernah terjadi pada Maret 2017, ketika jumlah penduduk miskin
mengalami kenaikan yang disebabkan oleh keterlambatan penyaluran beras
sejahtera.
Strategi
yang bisa dilakukan adalah mendorong lebih banyak usaha pengolahan produk
pertanian. Selama ini petani hanya menjual gabah, maupun tanaman pangan
lainnya, maka bisa didorong untuk menjual produk dengan nilai tambah lebih. Selain
itu juga memindahkan sentra-sentra industry ke perdesaan untuk menyerap tenaga
kerja sekaligus menggerakkan perekonomian di desa. Pengalihan ini selain
mendekatkan dengan sumber bahan baku dan tenaga kerja, juga sebagai langkah
untuk pemerataan pembangunan ekonomi.
Saat
ini pemerintah melalui kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi (PDTT) telah meluncurkan Produk Kawasan Unggulan Perdesaan
(Prukades) untuk meningkatkan nilai jual komoditas unggulan. Bahkan PDTT juga
telah menggandeng pihak pemerintah daerah dan swasta (korporasi pertanian)
sebagai mitra dalam penyediaan benih, penyuluh perusahaan, pabrik pengolah,
hingga menerima produk akhir. Sayangnya program prukades ini jangkauannya belum
luas sehingga tetap diperlukan inisiatif dari setiap desa untuk menentukan mengembangkan
dirinya.
Satu
hal yang tidak boleh terlupa adalah evaluasi tentang penggunaan dana desa
termasuk program padat karya. Meski harus diakui bahwa dana desa mampu
meningkatkan pendapatan dan produktifitas desa, namun pada kenyataannya
ketimpangan pengeluaran penduduk di perdesaan semakin melebar. Hal ini
disebabkan oleh pertumbuhan pengeluaran penduduk 20 persen teratas lebih tinggi
jika dibandingkan dengan pengeluaran penduduk 40 persen terbawah. Jangan sampai
program tersebut lebih menguntungkan para elite desa dibandingkan dengan penduduk
miskin desa.
Potensi
Desa
Penduduk
miskin desa dengan kepemilikan aset yang minim, tingkat pendidikan dan
kesehatan yang rendah menjadikannya sulit untuk diberdayakan. Oleh karena itu
harus ada campur tangan dari pemerintah maupun swasta untuk menggali potensi
yang ada. Pemanfaatan sumber daya alam lokal, termasuk potensi wisata yang bisa
menjadi magnet baru dalam menggerakkan perekonomian desa. Telah banyak contoh
bagaimana pengelolaan potensi desa menjadi sebuah destinasi wisata yang baru.
Dengan
memanfaatkan keindahan alam, ada desa Nyalo Painan di Sumatera Barat, Desa Adat
di Madobak Mentawai, Desa Tamansari di banyuwangi, Desa Pujon Kidul di Malang
dengan wisata agro nya, Pasar Seni di Ubud Gianyar, hingga Umbul Ponggok di
Klaten yang mampu menghasilkan Rp 6,5 Milyar dalam setahun. Menjamurnya tempat
wisata tersebut sejalan dengan kebutuhan gaya hidup milenial yang baru.
Kebutuhan akan leisure economy berupa
pengalaman dan rekreasi ke tempat wisata kemudian mengunggahnya dalam jejaring
sosial merupakan peluang yang harus bisa ditangkap oleh desa. Dengan demikian
perekonomian di desa akan berdenyut sehingga akan meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan penduduk perdesaan.
(Muat di Republika, 4 September 20148)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar