Dimuat di harian Radar Banten, Juli 2018
Arus mudik lebaran telah berlalu dan kini menyisakan
arus balik yang belum sepenuhnya selesai. Dalam arus balik ini akan ada
penambahan penduduk yang melakukan urbanisasi dari wilayah perdesaan ke
perkotaan. Urbanisasi ini lebih banyak didorong oleh kemiskinan yang terjadi di
perdesaan.
Laju urbanisasi di Indonesia tercepat di Asia mengalahkan
India dan China, sebagaimana yang disampaikan oleh Taimur Samad, ketua program city
planning labs dari Bank Dunia. Bahkan Bank Dunia memprediksi pada tahun
2025 sebanyak 68 persen dari penduduk Indonesia akan memadati wilayah
perkotaan. Saat ini Sebagian besar penduduk Indonesia terkonsentrasi di
pulau Jawa, padahal luas wilayah pulau Jawa hanya 6,8 persen dari luas wilayah
negara Indonesia.
Tingginya laju urbanisasi ini, mengharuskan kita belajar
bagaimana China dan India mengelola urbanisasi sehingga mampu meningkatkan
pertumbuhan ekonomi. Menurut Bank Dunia, satu
persen kenaikan urbanisasi di China mempengaruhi Produk Domestik Bruto
(PDB)nya sebesar 10 persen, di India berpengaruh 13 persen, sedangkan di Indonesia hanya
berpengaruh 4 persen terhadap peningkatan PDB per kapita.
China dan India dengan jumlah penduduk yang besar
mampu mengelola menjadi sebuah modal dalam meningkatkan perekonomian
nasionalnya hingga menjadi pesaing bagi Amerika Serikat dan Jepang.
Namun pertumbuhan ekonomi China yang berhasil
membebaskan setengah milyar penduduk miskinnnya dalam 30 tahun terakhir, bukan
berarti tanpa cacat. Penurunan kualitas lingkungan yang membahayakan kesehatan telah
menjadi ongkos yang mahal dari sebuah pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Pengelolaan urbanisasi yang baik sangat penting untuk
mewujudkan potensi kawasan perkotaan dalam meningkatkan efisiensi dan mendorong
inovasi. Investasi besar dalam infrastruktur dan perencanaan tata kota yang
lebih cerdas, dan fokus pada pertumbuhan yang ramah lingkungan adalah salah
satu cara untuk mengurangi dampak bencana alam pada kota besar di dunia. Selain
itu, mengatasi masalah layanan publik mendasar bagi kaum pendatang untuk
mewujudkan tujuan urbanisasi yang mengutamakan manusia.
Semakin berkembang suatu kota, maka tingkat
urbanisasinya semakin tinggi. tidak hanya pada kota utama (capital city)
saja, namun juga pada kota-kota menengah (secondary city). Urbanisasi
hanya terjadi pada kota dengan struktur perekonomian yang didominasi oleh
sektor sekunder (industri pengolahan) dan tersier (perdagangan dan jasa).
Proses
urbanisasi sendiri terjadi bukan hanya akibat dari perpindahan penduduk dari
perdesaan ke perkotaan (migrasi), namun juga termasuk pertumbuhan alamiah
penduduk perkotaan, perluasan wilayah perkotaan maupun perubahan status wilayah
dari daerah perdesaan ke perkotaan (reklasifikasi).
Urbanisasi saat ini lebih banyak
disebabkan oleh proses migrasi. Migrasi atau perpindahan penduduk dari desa ke
kota atau dari kota kecil ke kota besar didorong oleh alasan utama ekonomi. Ketersediaan
lapangan kerja di perkotaan mulai dari tenaga kasar hingga profesional dengan
upah yang tinggi menjadi faktor penarik bagi penduduk desa. Demikian juga
kehidupan modern dengan berbagai fasilitas umum yang memadai menambah magnet
bagi wilayah perkotaan.
Sebaliknya sektor pertanian yang
kurang menguntungkan, terbatasnya lapangan kerja dan upah yang rendah serta
minimnya infrastruktur menjadi faktor pendorong penduduk desa untuk bermigrasi
ke kota. Terlebih tingkat kemiskinan di perdesaan di Indonesia yang mencapai 13,47
persen pada September 2017. Tingginya angka kemiskinan ini turut memotivasi penduduk
desa untuk mencari kehidupan yang lebih baik di perkotaan meski harus bekerja
sebagai buruh kasar.
DKI Jakarta sebagai kota utama di Indonesia, tingkat
kemiskinannya sebesar 3,78 persen atau paling rendah di Indonesia. Namun demikian
ketimpangan pengeluaran penduduknya yang diukur dengan gini rasio sebesar 0,409
atau lebih tinggi dari rata-rata ketimpangan nasional. Selain itu ketimpangan
di DKI Jakarta juga menempati peringkat keempat tertinggi di Indonesia.
Oleh karena itu, Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga
S. Uno berharap para pendatang di DKI untuk melapor ke RT/RW setempat sekaligus
mengikuti program OK Oce (One Kecamatan One centre of enterpreneurship) untuk
menekan kemiskinan sekaligus mengurangi ketimpangan di DKI Jakarta.
Proses
urbanisasi yang besar-besaran akan memperberat perkotaan, manakala lapangan
pekerjaan tidak mampu menampung jumlah tenaga kerja produktif. Yang akan
terjadi adalah timbulnya masalah sosial seperti kemacetan, kemiskinan,
kriminalitas, dan pemukiman kumuh. Hal ini karena sebagian besar pendatang
berbekal pendidikan dan keterampilan yang rendah sehingga hanya mampu bekerja
pada sektor informal.
Agar urbanisasi bermanfaat dalam mempercepat
pertumbuhan ekonomi maka pendatang haru dibekali pendidikan dan keterampilan
yang mumpuni. Langkahnya yaitu dengan meningkatkan pendidikan dan keterampilan mulai
dari desa. Selain itu tingkat kesehatan di desa juga perlu ditingkatkan sehingga
tumbuh SDM yang mampu bersaing dalam pasar tenaga kerja formal di wilayah
perkotaan.
Bagaimana
untuk menekan urbanisasi?
Laju
urbanisasi yang terlampau tinggi juga akan merugikan wilayah perkotaan jika
tidak dibarengi dengan kesiapan infrastruktur yang memadai. Bagi wilayah
perdesaan, tenaga kerja produktif di desa akan berkurang sehingga regenerasi
pada sektor pertanian akan terhambat. Padahal sektor pertanian sangat identik
dengan kecukupan produksi pangan nasional.
Perlu
pengembangan wilayah perdesaan sehingga tidak semua tenaga kerja produktif akan
bermigrasi ke kota. Mempercepat pembangunan infrastruktur di perdesaan sehingga
memperlancar proses transfer barang maupun jasa untuk menggerakkan perekonomian
di desa. Pengembangan kawasan perdesaan
dengan memanfaatkan potensi lokal perlu terus digali. Hal ini untuk mengurangi
ketimpangan antara perdesaan dan perkotaan, baik dari fasilitas umum maupun tingkat
kesejahteraan penduduk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar