Generasi milenial yang saat ini berumur 18 hingga 37 tahun diyakini banyak memberikan pengaruh di bidang ekonomi. Generasi ini merupakan penggerak leisure economy yang ditandai dengan adanya perubahan konsumsi dari kebutuhan yang berorientasi barang menjadi kebutuhan akan kesenangan/hiburan.
Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) ada 176,8 juta penduduk usia produkstif pada tahun 2017 atau sekitar 67 persen dari 261,8 juta penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut 80 juta diantaranya merupakan generasi milenial yang lahir antara tahun 1980-1999. Jumlah yang besar ini tidak hanya menjadi penggerak dalam leisure economy namun suara milenial terutama di media sosial juga mampu mengubah arah kebijakan pemerintah sebagaimana yang terjadi pada angkutan daring.
Namun siapa sangka, dibalik hingar bingarnya gairah generasi milenial ini, ada satu persoalan yang perlu mendapat perhatian, bahkan perlu mendapatkan bantuan dari pemerintah. Persoalan tersebut ada pada penyediaan rumah/tempat tinggal sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia.
Kemampuan penyediaan rumah saat ini berkejaran dengan meningkatnya jumlah penduduk yang memasuki usia produktif. Bahkan menurut hasil dari litbang Kompas, kekurangan rumah saat ini sekitar 11,4 juta unit, sedangkan kebutuhan rumah setiap tahun bertambah 800.000 unit.
Sebagai contoh di Ibu Kota Jakarta, hanya 50,16 persen penduduk yang menempati rumah sendiri dan ada sebanyak 36,76 persen penduduk yang menempati rumah kontrak atau sewa. Kondisi yang sama tentu tidak jauh berbeda untuk kota-kota besar lainnya di Indonesia. Menurut Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian, harga rumah di Jabodetabek rata-rata mengalami kenaikan 20 persen per tahun. Angka ini jauh melampui kenaikan gaji yang rata-rata karyawan/buruh yang nilainya 10 persen per tahun.
Kondisi di atas mencerminkan bahwa harga perumahan di DKI Jakarta dan di kota besar lainnya semakin tidak terbeli, tidak terkecuali bagi generasi milenial. Bahkan menurut konsultan properti Savills Indonesia, 46 persen generasi milenial di Jakarta berpenghasilan dibawah 4 juta rupiah dan 34 persen berpenghasilan antara 4-7 juta rupiah. Hanya ada 14 persen milenial yang berpenghasilan 7-12 juta rupiah dan 6 persen yang berpenghasilan di atas 12 juta rupiah.
Generasi milenial yang hari ini begitu eksis di berbagai media sosial, namun dibalik itu menyimpan sebuah kekhawatiran. Jika generasi sebelumnya menganggap bahwa rumah besar dan mobil mewah adalah sebuah kebanggaan, namun tidak demikian dengan generasi ini. Mereka lebih suka menikmati pengalaman dan kesenangan dengan berkumpul bersama teman dan tidak lupa memamerkan aneka kegiatannya. Jalan-jalan kemana, makan di mana, nonton apa, bersama siapa lebih penting bagi generasi milenial.
Gaya hidup inilah yang mendorong perubahan konsumsi rumah tangga dari yang semula berorientasi barang beralih pada pengalaman. Hal ini tercermin pada pertumbuhan ekonomi pada sektor-sektor leisure seperti transportasi, hotel/akomodasi, dan restoran/penyediaan makan minum dalam beberapa tahun terakhir. Meski penjualan retail menurun, namun kunjungan untuk tempat-tempat wisata dan kuliner semakin meningkat setiap tahun.
Jika untuk kepemilikan kendaraan bisa dengan sistem sharing /berbagi karena semakin menjamurnya transportasi daring, namun tidak demikian dengan perumahan. Mungkin pemikiran bahwa harus segera memiliki rumah itu dianggap masih dianggap kuno, namun bagaimanapun hal tersebut harus terpenuhi. Bagi siapapun rumah merupakan tempat yang paling ideal untuk kembali sekaligus menghimpun energi untuk menikmati hidup.
Bahwa pengalaman dan liburan itu penting, namun punya rumah itu juga tidak kalah penting bahkan prioritas. Hal ini karena semakin milenial menunda memiliki rumah, maka harga rumah semakin tidak terjangkau. Harus ada pengaturan pengeluaran bagi generasi milenial ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa kerasnya persaingan di dunia kerja dan bisnis, hingga kemacetan yang menyita waktu mengakibatkan kebutuhan untuk liburan/rekreasi juga semakin meningkat.
Fenomena fear of missing out (FOMO) atau ketakutan jika tidak ikut menikmati sebuah pengalaman harus dihilangkan. Ketakutan tidak bisa traveling atau tidak bisa menonton konser harus dihilangkan, karena bisa jadi bukan lagi sebagai sebuah kebutuhan namun lebih kepada ajang pamer dan eksistensi.
Tidak mengherankan jika ada banyak tampilan kepura-puraan yang menghiasi media sosial. Padahal tidak semua milenial itu kuat secara ekonomi atau seperti yang mereka pertontonkan. Tidak semua milenial mampu, tidak semua milenial merupakan enterpreneur muda atau karyawan perusahaan bergengsi. Ada banyak milenial rapuh.Ada banyak milenial yang bergaji dibawah UMR, demikian juga ada banyak milenial pengangguran lulusan SMA/SMK tetapi ingin eksis. Hal ini terkonfirmasi dari data BPS yang menunjukkan bahwa tingkat pengangguran tertinggi pada September 2017 merupakan lulusan SMA/SMK yaitu sebanyak 19,7 persen.
Kebutuhan perumahan dan kondisi ekonomi generasi milenial ini harus disadari sepenuhnya oleh pemerintah. Kondisi ini tentu membutuhkan peran pemerintah untuk mengatasi kekosongan tersebut. Program rumah atau apartemen bersubsidi bisa menjadi solusi. Menurut Menteri pekerjaan Umum dan perumahan rakyat basuki Hadimuljono, pemerintah akan mengembangkan beberapa skema pembiayaan, misalnya pembiayaan berbasis tabungan. Akan tetapi harus disadari bahwa dalam kepemilikan rumah tersebut tidak hanya menyediakan cicilan tiap bulan saja namun juga harus mengumpulkan dana guna memenuhi uang muka. Ini harus menjadi perhatian juga bagi generasi milenial yang secara umum masih nanggung secara kemampuan ekonomi.
Harapannya upaya pemerintah ini dibarengi dengan kedewasaan milenial dalam mengelola keuangan, sehingga upaya tersebut bertemu dengan kemampuan milenial dalam membeli rumah. Jadi sekali lagi jalan-jalan dan pengalaman itu perlu, namun memiliki rumah itu adalah prioritas.
Keren bu..baarokallah..
BalasHapusaamiin..jazakillah ustazah yuyun. Mohon doanya semoga makin semangat belajar
Hapus