Menulis bagi saya merupakan
sesuatu yang baru. Meski udah cukup lama (baru 12 tahun di BPS siiiih) bergelut
dengan angka, namun untuk menulis di media masa baru mencoba tahun 2015.
Berawal dari kepindahan ke Banten setelah 8 tahun lebih menikmati merantau di
Timika, ada rasa gelisah galau merana karena pekerjaan yang padat seolah tidak
ada habisnya. Sempat kepikiran kalau saya begini-begini terus ga akan ada
peningkatan, hanya akan mengulang pekerjaan yang sama setiap tahunnya.
Kenapa saya ga nyoba nulis ke
koran saja ya? Jadilah tulisan perdana saya yang berjudul “Kemiskinan di
Perdesaan”. Sehari, dua hari, hingga seminggu belum muat juga. Yasudahlah
mungkin memang tidak layak muat. Daaaaaan ternyata pas sepuluh hari setelah
pengiriman, di tanggal 26 september 2015 tulisan perdana saya mejeng dengan
cantiknya di koran Radar Banten. Ini adalah semangat baru saya.
Meski masih level koran lokal
banyak berkah yang saya peroleh. Salah satunya beberapa kenalan di SKPD akan
sms atau ngeWA saya, kalo muncul tulisan saya di koran. Atau mitra BPS yang
lapor, saya sering liat ibu di koran lho. Dan Kabidsos (Pak Hanif) jg bilang
“ketika saya ke Untirta (salah satu universitas negeri di Serang), Tasmilah
lebih dikenal daripada saya”. Maaf bos.
Dan puncaknya ketika mendapat
undangan istimewa dari Direktur Kesra (Pak Gantjang Amanullah) untuk mengikuti
workshop menulis di Bintaro. Itupun berawal ketika beliau sedang pengawasan
riskesdas di kota Serang dan dibisiki oleh Pak Kabid kalo saya sering nulis di
koran. Meski agak galau karena membawa baby Fahma sekaligus teteh yang ngasuh,
akhirnya saya berangkat juga.
Ketika mengikuti workshop
menulis, saya mendapat tambahan motivasi yang luar biasa dari Pak Sairi,
sekaligus materi yang sangat bermanfaat dari para mentor. Di pelatihan tersebut
ada seorang Bapak yang bilang, saya udah baca semua tulisan mbak Tasmilah.
Darimana Bapak tahu? Beliau bilang ya tahulah.
Penasaran, akhirnya saya cari di daftar peserta, oalaahhh yang tadi itu
Pak Eko Oesman, Kabag Humas. (Maklum Pak, saya orang daerah kurang mengenal
seleb-seleb di Pusat. Mungkin saya perlu agak jauh mainnya, hehehe). Pantesan
beliau tahu, wong saya ngirim 47 tulisan ke humas untuk dikompilasi. Pun saat
beliau bilang, mbak Tasmilah ini udah nulis di 10 koran. Batin saya masak sih,
soalnya saya ga pernah ngitung. Ternyata memang benar, sudah ada 10 koran yang
memuat tulisan cupu saya saat itu. Dan kini setelah dihitung ada 68 tulisan
yang muat di 14 koran mulai dari Suara Merdeka, Radar Banten, Kabar Banten,
Warta Banten, Banten Raya, Banten Pos, Satelitnews, Tangsel Pos, Balipos,
Galamedia, Bhirawa, Analisa, Suara Pembaruan, hingga yang terbaru di Kompas.
Setelah mencoba 11 kali ngirim
ke Kompas akhirnya bisa tembus juga. Hampir putus asa, dan sempat terlontar apa
mungkin karena saya bukan pejabat atau tokoh kali yaa, jadi susah banget tembus
di Kompas. Tapi prasangka itu terpatahkan saat tulisan sederhana berjudul
“Memaknai Angka Kemiskinan” nangkring di halaman 6 Kompas tanggal 20/1/2018.
Waktu nulis inipun awalnya
sempet kederrr juga, masak iya saya akan menjawab opini seorang guru besar.
Tapi dorongan dari kanjeng abi sangat kuat, udah tulis aja. Itupun udah pesimis
karena lewat seminggu belum juga muat. Hingga akhirnya setelah 12 hari
pengiriman berhasil dimuat juga di Kompas. Alhamdulillah, segala puji hanya
bagi Allah.
Selalu ada tulisan cupu untuk puluhan tulisan
selanjutnya. Akan ada belasan kali penolakan hingga akhirnya muat juga.
Pelatihan menulis sejatinya ada pada praktek menulis itu sendiri. Semangat
memulai, semangat juga untuk melewati setiap fase perjalanannya. Sama-sama
belajar dan saling menyemangati. Mohon maaf jika saya masih norak-norak
bergembira.
Ini mah ga norak mba, tapi menginspirasiiiii sekaliiiiii....
BalasHapusHehehehe..makasih..teuteup norak norak bergembira..
Hapus