PRODUKSI beras nasional hampir selalu
menjadi polemik setiap tahun. Produksi beras nasional yang dilaporkan mengalami
surplus sejak tahun 2014 kini seolah kembali diuji keakuratannya ketika terjadi
bencana yang beruntun mulai dari meletusnya Gunung Agung di Bali hingga banjir
dan longsor di beberapa kabupaten di pesisir selatan Pulau Jawa. Harus diakui
bahwa data produksi beras memang sangat krusial.Keberadaannya diperlukan guna
menjamin ketersediaan pangan dan pengendalian harga terutama ketika terjadi bencana.
Perubahan harga beras sangat sensitif
karena pergerakannya akan sangat berpengaruh terhadap inflasi secara umum. Hal
ini terjadi karena andil beras dalam pengeluaran rumah tangga sangat besar.
Demikian juga bagi penduduk miskin, pengeluaran untuk beras menjadi penyumbang
terbesar dalam garis kemiskinan makanan. Kenaikan harga beras akan menaikkan
garis kemiskinan sehingga menambah jumlah penduduk miskin.
Dalam dua bulan terakhir harga beras di
tingkat konsumen mengalami konstraksi, hal ini tercermin pada andil komoditas
beras dalam inflasi Bulan November sebesar 0,02 persen. Peningkatan harga
beras di tingkat konsumen berawal dari meningkatnya harga gabah kering panen
di tingkat petani sebesar 1,52 persen dan harga beras di tingkat penggilingan
meningkat sebesar 1,79 persen.
Gejolak yang terjadi pada harga beras ini
disinyalir oleh menipisnya stok beras yang berada di tingkat petani, pedagang,
dan penggilingan. Menipisnya stok beras terjadi akibat berkurangnya luas
panen. Pada kondisi normal saja, luas panen di subround 3 (September, Oktober,
November, Desember) setiap tahunnya mengalami penurunan dibanding subround
sebelumnya. Apalagi jika ditambah dengan bencana alam yang terjadi seperti
pada akhir tahun 2017 ini, tentu hal ini semakin mengurangi produksi beras
nasional.
Bergejolaknya harga beras di pasar memang
akan dapat diatasi oleh pemerintah dengan melakukan operasi pasar guna
menstabilkan harga. Namun apa yang akan terjadi jika stok yang ada di
pemerintah juga dalam kondisi yang tidak aman. Menurut Direktur Utama Perum
Bulog Djarot Kusumayakti, stok beras di Bulog hingga akhir tahun diperkirakan
tinggal 700 ribu ton. Angka ini jauh dari tataran stok ideal yang seharusnya
yaitu 1,3-2 juta ton. Mengingat saat ini Indonesia tengah diuji dengan musibah
bencana alam.
Berbagai bencana alam tersebut mengakibatkan
puluhan ribu orang hidup dalam pengungsian dan membutuhkan bahan makanan
terutama beras. Selain mengakibatkan penduduknya mengungsi, bencana yang
tengah terjadi juga mengakibatkan ratusan hektar lahan pertanian mengalami
kerusakan sehingga tidak memungkinkan untuk panen. Dengan demikian kebutuhan
beras penduduk yang terdampak bencana mutlak tergantung dari cadangan beras
pemerintah.
Tentu kondisi yang demikian menguji
kesiapan pemerintah dalam menjamin ketersediaan pangan bahkan ketika bencana
terjadi. Diperlukan data yang akurat terkait dengan produksi beras nasional
untuk mewujudkan ketahanan pangan bagi rakyat Indonesia.
Produksi beras yang diklaim mengalami
surplus sejak tahun 2014 hingga kinipun masih menyisakan polemik dan keraguan.
Hal ini dikarenakan jika produksi beras dikurangi kebutuhan beras nasional 2,6
juta ton per bulan, secara perhitungan masih menyisakan surplus yang besar
namun diragukan keberadaannya. Selain itu yang terjadi di lapangan justru
harga beras mengalami kenaikan dan cadangan beras di Bulog juga tidak sesuai
dengan jumlah yang seharusnya.
Data produksi beras selama ini diperoleh
dari Badan Pusat Statistik (BPS) bekerjasama dengan Kementerian Pertanian. BPS
bertanggungjawab terhadap penghitungan produktifitas gabah, sedangkan
Kementerian Pertanian bertanggungjawab terhadap laporan luas panen setiap
bulan. Menjawab keraguan publik, BPS telah mengupayakan perbaikan data beras
melalui survei luas lahan dan luas panen. Survei ini untuk mengukur selisih
antara luas panen menurut pengakuan petani dengan luas panen hasil pengukuran
dengan menggunakan Global Positioning System (GPS).
Demikian juga untuk mengidentifikasi
keberadaan surplus beras, BPS kembali melakukan survei kajian cadangan beras
pada tahun 2015 yang hasilnya bahwa stok beras yang ada di masyarakat (rumah
tangga tani, penggilingan, pedagang, rumah makan/restoran, dan Perum Bulog)
tidak sesuai dengan surplus beras hasil produksi.
Tidak berhenti sampai disitu, dalam rangka
memperbaiki data beras Kantor Staf Presiden (KSP) telah menunjuk BPS untuk
menghasilkan data produksi padi yang lebih akurat. Data ini sebagai dasar
pengambilan keputusan pemerintah secara tepat terkait cadangan beras pemerintah,
impor beras, dan stabilisasi harga beras.
Atas amanat dari KSP tersebut, BPS
bekerjasama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) melakukan
penghitungan luas panen berbasis teknologi. Jika selama ini luas panen dihitung
berdasarkan eye estimate (padangan mata) maka mulai tahun 2018 penghitungan
luas panen dilakukan dengan menggunakan metode Kerangka Sampel Area (KSA).
Metode KSA sebelumnya telah diujicobakan di seluruh Provinsi di Pulau Jawa
kecuali DKI Jakarta. Hasilnya menunjukkan adanya perbedaan antara penghitungan
luas panen melalui KSA dengan laporan luas panen dari Dinas Pertanian di
daerah.
Metode KSA memanfaatkan teknologi digital
dan penghitungan statistik sehingga tingkat akurasinya dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah. KSA mengintegregasikan data spasial dan data lapangan
menggunakan teknologi komunikasi digital yang lebih objektif sehingga
hasilnya sesuai kondisi di lapangan.
Dengan berbagai upaya ini diharapkan
akurasi data beras dapat dipertanggung jawabkan dan polemik yang telah terjadi
bertahun-tahun ini tidak berlanjut. Pada akhirnya, dengan tersedianya data produksi
beras yang akurat akan memudahkan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan
guna menjaga ketersediaan stok beras dalam tataran yang ideal. Ketersediaan
stok beras sangat penting untuk menjamin kebutuhan pangan penduduk dalam
kondisi bencana sekalipun. Ketersediaan stok beras yang ideal juga diperlukan
untuk menjamin stabilitas harga beras di pasar sehingga tidak memperburuk
kondisi ekonomi masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar