Setelah mengalami masa yang kelam bagi perekonomian Amerika Serikat
pada tahun 2008, kini setelah 7 tahun berlalu perekonomian Amerika Serikat
sudah kembali stabil. Masa kelam perekonomian Amerika Serikat tersebut
disebabkan oleh kegagalan program subprime mortage, suatu desain
perbankan untuk kredit kepemilikan rumah bagi kelas menengah kebawah. Untuk
mengatasi keadaan tersebut, pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan bail out
(dana talangan) sebesar 700 milyar dolar dan memangkas tingkat suku bunga dari
2% menjadi 1,5% untuk menggerakkan sektor riil.
Seiiring dengan pulihnya perekonomian Amerika Serikat, maka Bank
Sentral Amerika (The Fed) berencana untuk menaikkan tingkat suku bunga acuan
sebesar 25 basis poin pada tahun 2015. Namun The Fed sendiri sampai saat ini
belum juga memutuskan kenaikan suku bunga tersebut. Pada satu sisi, peningkatan
suku bunga tersebut akan meningkatkan investasi asing ke negara tersebut
sehingga akan meningkatkan nilai mata uang dolar. Namun disisi yang lain,
peningkatan suku bunga tersebut, akan berdampak negatif diantaranya akan
meningkatkan inflasi, meningkatkan pengangguran, dan terjadi fenomena super
dollar. Fenomena super dollar
terjadi karena dolar menjadi sangat superior terhadap mata uang asing
yang selanjutnya akan berdampak pada kenaikan jumlah impor karena harga produk negara
lain menjadi lebih rendah dibanding dengan produk di negara tersebut.
Wacana The Fed dalam menaikkan suku bunga acuan tersebut mengakibatkan
menguatnya mata uang dolar dan
melemahnya nilai tukar mata uang negara lain, tidak terkecuali rupiah. Rupiah
termasuk soft currency, yaitu mata uang yang mudah berfluktuasi ataupun
terdepresiasi, karena perekonomian negara asalnya kurang mapan. Mata uang
Negara-negara berkembang umumnya adalah mata uang tipe ini, karena
sensivitasnya terhadap kondisi ekonomi internasional. Penyebabnya karena porsi
asing pada portofolio investasi saham dan surat utang di Negara berkembang sangat
besar.
Selama
setahun terakhir nilai tukar rupiah mengalami pelemahan sebesar 13,64 persen. Padahal begitu besar harapan rakyat Indonesia
terhadap pemerintahan yang baru. Apalagi sesaat setelah pasangan presiden dan
wakil presiden terpilih dilantik, rupiah mengalami penguatan pada level Rp.
12.011,- per dolar Amerika. Namun seiring berjalannya waktu,nilai tukar rupiah
mengalami fluktuasi hingga mencapai level Rp. 13.638 pada bulan Oktober 2015. Bahkan
pada bulan September 2015 nilai tukar rupiah sempat menyentuh angka Rp. 14.713
per dolar AS. Kondisi nilai tukar rupiah yang under value tersebut, memaksa Bank Indonesia turun tangan demi
menjaga stabilitas makroekonomi dan system keuangan. Karena menurut deputi Gubernur Bank Indonesia
posisi fundamental nilai tukar rupiah berada pada level Rp.13.300-Rp.13.700,-. Sehingga
untuk mencapai posisi yang fundamental tersebut, Bank Indonesia menggunakan
cadangan devisa negara hingga 3,4 miliar dollar AS pada bulan September 2015 untuk
membayar hutang pemerintah dan menstabilkan nilai tukar rupiah. Demikian juga
pada bulan Oktober 2015, Bank Indonesia kembali harus turun tangan dengan
mencairkan 1 Miliar Dollar AS untuk menstabilkan nilai tukar rupiah. Menurunnya
nilai tukar rupiah memberikan dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia.
Sehingga pemerintah berupaya keras menstabilkan nilai tukar tersebut meski
cadangan devisa negara menjadi berkurang.
Kemerosotan nilai tukar rupiah sangat berdampak pada ekspor dan
impor Indonesia. Harga barang impor akan meningkat karena nilai mata uang
rupiah melorot dibanding dolar AS dan berbagai mata uang lainnya. Padahal,
sebagian besar dari barang yang diimpor oleh Indonesia adalah barang modal,
termasuk bahan baku, mesin pertanian, dan mesin-mesin untuk produksi
manufaktur. Dengan meningkatnya harga barang modal tersebut akan meningkatkan
biaya produksi perusahaan dan mempersulit ekspansi usaha. Disisi lain,
perusahaan juga harus membayar biaya produksi lainnya, seperti bunga pinjaman
bank dan upah karyawan. Jika biaya produksi naik, maka alternatif yang bisa
dilakukan oleh perusahaan adalah menaikkan harga barang hasil produksi dan
mengurangi biaya faktor produksi.
Selain itu juga pada tahun 2015, dunia tengah dilanda perlambatan
ekonomi secara global terutama di negara-negara tujuan ekspor seperti Jepang,
China, dan Zona Euro. Sehingga hal ini mengakibatkan penurunan permintaan barang
produksi Indonesia dari luar negeri. Sementara itu permintaan domestik juga mengalami
penurunan karena harga berbagai jenis barang dan jasa meningkat disamping juga
terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional. Pada Triwulan III tahun 2015,
Badan Pusat Statitik mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 4,73 persen
atau sedikit melambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi pada periode
yang sama tahun 2014 yang pertumbuhannya sebesar 4,92 persen. Dengan kondisi
demikian maka pengurangan jumlah tenaga kerja menjadi suatu yang tidak dapat
dihindari oleh perusahaan demi keberlangsungan usaha.
Sampai dengan akhir September 2015, Kementrian Tenaga Kerja
Mencatat jumlah pekerja terkena PHK mencapai 43.085 orang. Jumlah ini meningkat
sebesar 62% dibanding jumlah pekerja yang di PHK pada bulan Agustus 2015. Dari
data tersebut, ada 4 sektor penyumbang PHK terbesar yaitu garmen, industri
sepatu, elektronik, dan batu bara. Di sisi lain, angka PHK ini diduga jauh
lebih besar dari data yang disampaikan oleh Kemenaker, karena tidak semua
perusahaan atau serikat pekerja melaporkan data jumlah tenaga kerja yang di PHK.
Sampai dengan bulan Agustus 2015, jumlah pengangguran terbuka di Indonesia
sebesar 6,18 persen. Atau mengalami peningkatan dibanding kondisi Bulan
Februari 2015 yang nilainya sebesar 5,81 persen. Peningkatan jumlah
pengangguran ini disebabkan oleh perlambatan pertumbuhan ekonomi sebagai akibat
dari pelemahan nilai tukar rupiah. Meningkatnya jumlah pengangguran dan
meningkatnya harga barang kebutuhan pokok, mengakibatkan daya beli masyarakat
menurun yang pada akhirnya akan meningkatkan angka kemiskinan di masyarakat.
Perlu upaya yang keras dari pemerintah dan masyarakat untuk bisa
keluar dari permasalahan tersebut. Agar rupiah tidak kembali melemah, perlu
upaya dari pemerintah dan BI dengan meningkatkan kinerja ekspor dan mencegah
terjadinya pelarian modal asing, dimulai dengan meningkatkan efisiensi BUMN,
memperbaiki iklim usaha supaya investor betah menanamkan modalnya di Indonesia.
Selain itu, penggiatan program pembangunan infrastruktur bisa menjadi salah
satu opsi. Selain bisa menyerap tenaga kerja hal tersebut juga diharapkan mampu
meningkatkan daya beli masyarakat sehingga akan kembali menggerakkan roda
perekonomian. Dari sisi masyarakat, upaya-upaya untuk menggiatkan usaha kecil menengah
berbasis kearifan lokal maupun teknologi bisa diberdayakan untuk meningkatkan
aktifitas ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Harapannya setelah 70 tahun
bangsa Indonesia merdeka, kita berdaulat tidak hanya secara politik namun juga
berdaulat secara ekonomi. Sebuah negara berdaulat yang percaya akan kekuatan
sendiri dalam mengatur kebijakan ekonomi dalam negeri tanpa tergantung dan
terpengaruh oleh pihak manapun.
Dimuat di harian Kabar Banten, 04 Februari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar