Halaman

Jumat, 05 Februari 2016

Agar Rupiah Tak Goyah


Setelah mengalami masa yang kelam bagi perekonomian Amerika Serikat pada tahun 2008, kini setelah 7 tahun berlalu perekonomian Amerika Serikat sudah kembali stabil. Masa kelam perekonomian Amerika Serikat tersebut disebabkan oleh kegagalan program subprime mortage, suatu desain perbankan untuk kredit kepemilikan rumah bagi kelas menengah kebawah. Untuk mengatasi keadaan tersebut, pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan bail out (dana talangan) sebesar 700 milyar dolar dan memangkas tingkat suku bunga dari 2% menjadi 1,5% untuk menggerakkan sektor riil.

Seiiring dengan pulihnya perekonomian Amerika Serikat, maka Bank Sentral Amerika (The Fed) berencana untuk menaikkan tingkat suku bunga acuan sebesar 25 basis poin pada tahun 2015. Namun The Fed sendiri sampai saat ini belum juga memutuskan kenaikan suku bunga tersebut. Pada satu sisi, peningkatan suku bunga tersebut akan meningkatkan investasi asing ke negara tersebut sehingga akan meningkatkan nilai mata uang dolar. Namun disisi yang lain, peningkatan suku bunga tersebut, akan berdampak negatif diantaranya akan meningkatkan inflasi, meningkatkan pengangguran, dan terjadi fenomena super dollar. Fenomena super dollar  terjadi karena dolar menjadi sangat superior terhadap mata uang asing yang selanjutnya akan berdampak pada kenaikan jumlah impor karena harga produk negara lain menjadi lebih rendah dibanding dengan produk di negara tersebut.
Wacana The Fed dalam menaikkan suku bunga acuan tersebut mengakibatkan menguatnya mata uang dolar dan  melemahnya nilai tukar mata uang negara lain, tidak terkecuali rupiah. Rupiah termasuk soft currency, yaitu mata uang yang mudah berfluktuasi ataupun terdepresiasi, karena perekonomian negara asalnya kurang mapan. Mata uang Negara-negara berkembang umumnya adalah mata uang tipe ini, karena sensivitasnya terhadap kondisi ekonomi internasional. Penyebabnya karena porsi asing pada portofolio investasi saham dan surat utang di Negara berkembang sangat besar.
Selama setahun terakhir nilai tukar rupiah mengalami pelemahan sebesar 13,64 persen.  Padahal begitu besar harapan rakyat Indonesia terhadap pemerintahan yang baru. Apalagi sesaat setelah pasangan presiden dan wakil presiden terpilih dilantik, rupiah mengalami penguatan pada level Rp. 12.011,- per dolar Amerika. Namun seiring berjalannya waktu,nilai tukar rupiah mengalami fluktuasi hingga mencapai level Rp. 13.638 pada bulan Oktober 2015. Bahkan pada bulan September 2015 nilai tukar rupiah sempat menyentuh angka Rp. 14.713 per dolar AS. Kondisi nilai tukar rupiah yang under value tersebut, memaksa Bank Indonesia turun tangan demi menjaga stabilitas makroekonomi dan system keuangan.  Karena menurut deputi Gubernur Bank Indonesia posisi fundamental nilai tukar rupiah berada pada level Rp.13.300-Rp.13.700,-. Sehingga untuk mencapai posisi yang fundamental tersebut, Bank Indonesia menggunakan cadangan devisa negara hingga 3,4 miliar dollar AS pada bulan September 2015 untuk membayar hutang pemerintah dan menstabilkan nilai tukar rupiah. Demikian juga pada bulan Oktober 2015, Bank Indonesia kembali harus turun tangan dengan mencairkan 1 Miliar Dollar AS untuk menstabilkan nilai tukar rupiah. Menurunnya nilai tukar rupiah memberikan dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia. Sehingga pemerintah berupaya keras menstabilkan nilai tukar tersebut meski cadangan devisa negara menjadi berkurang.  
Kemerosotan nilai tukar rupiah sangat berdampak pada ekspor dan impor Indonesia. Harga barang impor akan meningkat karena nilai mata uang rupiah melorot dibanding dolar AS dan berbagai mata uang lainnya. Padahal, sebagian besar dari barang yang diimpor oleh Indonesia adalah barang modal, termasuk bahan baku, mesin pertanian, dan mesin-mesin untuk produksi manufaktur. Dengan meningkatnya harga barang modal tersebut akan meningkatkan biaya produksi perusahaan dan mempersulit ekspansi usaha. Disisi lain, perusahaan juga harus membayar biaya produksi lainnya, seperti bunga pinjaman bank dan upah karyawan. Jika biaya produksi naik, maka alternatif yang bisa dilakukan oleh perusahaan adalah menaikkan harga barang hasil produksi dan mengurangi biaya faktor produksi.
Selain itu juga pada tahun 2015, dunia tengah dilanda perlambatan ekonomi secara global terutama di negara-negara tujuan ekspor seperti Jepang, China, dan Zona Euro. Sehingga hal ini mengakibatkan penurunan permintaan barang produksi Indonesia dari luar negeri. Sementara itu permintaan domestik juga mengalami penurunan karena harga berbagai jenis barang dan jasa meningkat disamping juga terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional. Pada Triwulan III tahun 2015, Badan Pusat Statitik mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 4,73 persen atau sedikit melambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi pada periode yang sama tahun 2014 yang pertumbuhannya sebesar 4,92 persen. Dengan kondisi demikian maka pengurangan jumlah tenaga kerja menjadi suatu yang tidak dapat dihindari oleh perusahaan demi keberlangsungan usaha.
Sampai dengan akhir September 2015, Kementrian Tenaga Kerja Mencatat jumlah pekerja terkena PHK mencapai 43.085 orang. Jumlah ini meningkat sebesar 62% dibanding jumlah pekerja yang di PHK pada bulan Agustus 2015. Dari data tersebut, ada 4 sektor penyumbang PHK terbesar yaitu garmen, industri sepatu, elektronik, dan batu bara. Di sisi lain, angka PHK ini diduga jauh lebih besar dari data yang disampaikan oleh Kemenaker, karena tidak semua perusahaan atau serikat pekerja melaporkan data jumlah tenaga kerja yang di PHK. Sampai dengan bulan Agustus 2015, jumlah pengangguran terbuka di Indonesia sebesar 6,18 persen. Atau mengalami peningkatan dibanding kondisi Bulan Februari 2015 yang nilainya sebesar 5,81 persen. Peningkatan jumlah pengangguran ini disebabkan oleh perlambatan pertumbuhan ekonomi sebagai akibat dari pelemahan nilai tukar rupiah. Meningkatnya jumlah pengangguran dan meningkatnya harga barang kebutuhan pokok, mengakibatkan daya beli masyarakat menurun yang pada akhirnya akan meningkatkan angka kemiskinan di masyarakat.

Perlu upaya yang keras dari pemerintah dan masyarakat untuk bisa keluar dari permasalahan tersebut. Agar rupiah tidak kembali melemah, perlu upaya dari pemerintah dan BI dengan meningkatkan kinerja ekspor dan mencegah terjadinya pelarian modal asing, dimulai dengan meningkatkan efisiensi BUMN, memperbaiki iklim usaha supaya investor betah menanamkan modalnya di Indonesia. Selain itu, penggiatan program pembangunan infrastruktur bisa menjadi salah satu opsi. Selain bisa menyerap tenaga kerja hal tersebut juga diharapkan mampu meningkatkan daya beli masyarakat sehingga akan kembali menggerakkan roda perekonomian. Dari sisi masyarakat, upaya-upaya untuk menggiatkan usaha kecil menengah berbasis kearifan lokal maupun teknologi bisa diberdayakan untuk meningkatkan aktifitas ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Harapannya setelah 70 tahun bangsa Indonesia merdeka, kita berdaulat tidak hanya secara politik namun juga berdaulat secara ekonomi. Sebuah negara berdaulat yang percaya akan kekuatan sendiri dalam mengatur kebijakan ekonomi dalam negeri tanpa tergantung dan terpengaruh oleh pihak manapun.

Dimuat di harian Kabar Banten, 04 Februari 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

#138 Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas

  (Dimuat di Kolom Opini Republika, 25 November 2022) Perekonomian Indonesia mampu tumbuh mengesankan di tengah ancaman resesi global saat i...