(Dimuat Di Koran Tangsel Pos, Tanggal 8 Desember 2017)
Untuk mengatasi stagnasi pengangguran sekaligus mengurangi
kemiskinan, mulai tahun 2018 Presiden Joko Widodo akan menggulirkan program
padat karya cash. Program ini bertujuan untuk membuka lapangan pekerjaan sekaligus
meningkatkan daya beli terutama penduduk miskin di perdesaan. Selain
permasalahan daya beli, hal yang perlu dicermati lainnya adalah pola konsumsi
penduduk miskin yang sangat memprihatinkan. Hal ini tercermin pada konsumsi
rokok yang menempati urutan kedua terbesar setelah beras. Mungkinkah dalam program
padat karya cash nanti ditambahkan syarat untuk tidak merokok selama bekerja?
Sasaran utama program padat karya cash ini adalah penduduk miskin di
perdesaan yang daya belinya tergerus dalam beberapa waktu terakhir. Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik, pertumbuhan ekonomi dalam setahun terakhir sebesar
5,06 persen ternyata belum mampu untuk mengurangi jumlah pengangguran yang
mencapai .. juta jiwa pada Agustus 2017. Demikian juga dengan jumlah penduduk
miskin di Indonesia pada Maret 2017 yang jumlahnya mencapai 27,77 juta orang dan
17,10 juta diantaranya tinggal di perdesaan. Dengan program padat karya cash pendapatan
akan bertambah dan diharapkan daya beli akan meningkat sehingga mampu keluar
dari garis kemiskinan.
Menilik pada pengeluaran penduduk miskin, patut disayangkan bahwa
rokok masih menjadi pengeluaran terbesar kedua setelah beras. Pengeluaran untuk
rokok mencapai lebih dari 11 persen atau tiga kali lipat jika dibandingkan
untuk pengeluaran telur ayam, tiga kali lipat dari pengeluaran daging ayam, dan
7 kali lipat dari pengeluaran untuk tempe maupun tahu. Padahal angka penderita
gizi buruk dan stunting pada keluarga miskin masih tinggi.
Data BPS tahun 2016 juga menunjukkan satu dari empat balita di
Indonesia mengkonsumsi kalori kurang dari kebutuhan minimumnya. Sedangkan data
dari Pantauan Status Gizi (PSG) menunjukkan pada tahun yang sama jumlah balita
stunting mencapai 27,5 persen. Hal ini masih menjadi masalah bagi dunia
kesehatan karena berdasarkan rekomendasi WHO jumlah balita stunting harus di
bawah 5 persen. Tingginya kasus stunting dan gizi buruk menempatkan Indonesia
pada peringkat kelima terburuk di dunia. Sedangkan stunting dan gizi buruk
berisiko paling besar terjadi pada keluarga miskin.
Sejalan dengan program padat karya cash diatas, selain memberikan
lapangan pekerjaan dan peningkatan pendapatan bagi penduduk, maka tidak ada
salahnya jika dimasukkan program untuk mengurangi konsumsi rokok penduduk
miskin. Kita tidak bisa menuntut penduduk miskin untuk berhenti merokok dengan
segera, karena hal tersebut pasti tidak mudah. Rokok bagi penduduk miskin
bagaikan candu yang bisa melupakan sejenak kepenatan hidup. Rokok bagi penduduk
miskin bisa jadi semacam pelarian sekaligus teman penyemangat dalam bekerja.
Namun menguranginya minimal ketika bekerja akan berpengaruh
terhadap pola konsumsi penduduk miskin. Meski diluar jam kerja pemerintah tidak
bisa intervensi, namun 2 batang rokok yang biasa dihabiskan sambil bekerja bisa
dialihkan untuk membeli sumber protein seperti tempe dengan harga yang sama. Kandungan
protein dari tempe cukup besar yaitu sebesar 19 gram per 100 gram tempe. Jadi tempe
satu papan seharga dua batang rokok dengan berat 300 gram akan mengandung
protein sebesar 57 gram. Dengan kebutuhan protein rata-rata 1 gram per 1 kg
berat badan, maka perubahan pola konsumsi ini akan sangat berpengaruh terhadap
peningkatan gizi keluarga miskin.
Peningkatan kualitas kesehatan penduduk miskin sangat diperlukan
terutama pada anak-anak miskin agar mereka mampu tumbuh sesuai potensi mereka. Sebagaimana
hasil kajian BPS dan Unicef bahwa pengurangan kemiskinan hanya akan berhasil
jika dimulai dari anak-anak, yaitu dengan pemenuhan hak-hak dasar anak tidak
terkecuali hak untuk memperoleh gizi yang cukup. Dengan pemberian gizi yang
cukup akan meningkatkan kesehatan dan daya saing anak-anak miskin agar mandiri
secara ekonomi dan tidak mewarisi kemiskinan orang tuanya.
Ketika di tempat-tempat yang dilarang merokok seperti rumah sakit, SPBU,
hingga di fasilitas umum lainnya larangan merokok bisa dipatuhi, apatah lagi di
tempat bekerja yang memperoleh upah. Ketika kesadaran mengurangi konsumsi rokok
sulit sekali untuk ditumbuhkan, maka penegakan aturan bisa menjadi solusi.
Bukankah sebelumnya pemerintah juga pernah memberikan syarat bagi keluarga
penerima bantuan Program Keluarga Harapan (PKH)? Dimana salah satu syaratnya
tidak ada anak usia sekolah yang putus sekolah.
Tentu pemerintah sebagai pemilik dana sekaligus pemegang proyek
kegiatan, memiliki kuasa untuk membuat aturan bagi siapapun yang akan ikut
bekerja dalam program padat karya cash ini. Harapannya selain pendapatan
meningkat disertai juga dengan pengelolaan pengeluaran yang sesuai prioritas. dengan
kebijakan tersebut maka harapan untuk membuka lapangan usaha, mengurangi
kemiskinan, hingga mengurangi ketimpangan dan meningkatkan kesejahteraan akan
terwujud secara bersamaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar