Salah satu program dan janji pasangan
Gubernur dan wakil Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno adalah
membangun pemukiman kumuh tanpa menggusur. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan
kualitas hidup penduduk tanpa menjauhkan mereka dari pekerjaan atau sumber
pendapatannya. Namun ada satu hal yang harus dipikirkan tentang pembangunan
kawasan kumuh ini apabila penghuni kawasan tersebut ternyata hanya menyewa dan
bukan milik sendiri. Bisa jadi dengan pembangunan kawasan kumuh ini hanya akan
menguntungkan pemilik kontrakan dan menyengsarakan penyewa karena adanya
kenaikan sewa rumah.
Hal tersebut di atas bukan tanpa alasan.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), hanya 50,16 persen penduduk DKI Jakarta
yang menempati rumah sendiri dan sebanyak 36,76 persen penduduk menempati rumah
kontrak atau sewa. Besarnya penduduk yang menyewa atau mengontrak rumah ini
harus diperhatikan, terutama pada pemukiman kumuh di Jakarta. Sebagai sebuah
kota metropolitan dengan gedung pencakar langitnya, Jakarta masih menyisakan
223 RW yang masuk dalam golongan pemukiman kumuh pada tahun 2013. Jumlahnya
saat ini bisa jadi lebih banyak lagi, karena fokus pembangunan dalam beberapa
tahun terakhir pada peningkatan kawasan hunian vertikal atau rumah susun.
Kriteria kawasan kumuh ini berdasarkan 11
variabel yaitu kepadatan penduduk, pemanfaatan lahan, keadaan jalan, keadaan
drainase, tempat buang air besar, pengangkutan dan cara pembuangan sampah, dan penerangan
jalan umum. Sedangkan variabel lainnya adalah tata letak bangunan, konstruksi
bangunan tempat tinggal dan ventilasi.
Sebagai ibukota negara Kesatuan Republik
Indonesia, Jakarta merupakan etalase bagi bangsa. Sehingga tidak layak jika di
dalamnya terdapat ruang untuk kawasan kumuh. Oleh karena itu rencana Gubernur
baru Jakarta untuk membangun kawasan kumuh merupakan hal yang harus dilakukan.
Hal ini sesuai dengan janji kampanye Anies-Sandi untuk menciptakan Jakarta
sebagai kota yang maju dengan penduduknya yang bahagia.
Pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta pada
triwulan II 2017 sebesar 5,86 persen dan jauh melampui pertumbuhan ekonomi
nasional. Pertumbuhan ekonomi ini telah mampu mengurangi jumlah pengangguran di
Jakarta hingga 13 ribu orang sehingga menyisakan pengangguran sebanyak 293 ribu
atau 5,36 persen. Namun keberhasilan dalam tenaga kerja ini belum dibarengi
dalam peningkatan kesejahteraan penduduk. Pertumbuhan ekonomi di Jakarta ini masih
menyisakan jumlah penduduk miskin pada Maret 2017 sebanyak 389,69 ribu atau
mengalami peningkatan 5,39 ribu orang dalam waktu satu tahun.
Tingkat kedalaman kemiskinan juga
meningkat dari 0,457 menjadi 0,48. Demikian juga dengan tingkat keparahan
kemiskinan mengalami peningkatan dari 0,083 menjadi 0,097 pada Maret 2017. Padahal kemiskinan tidak hanya sebatas jumlah
saja, namun juga terkait dengan tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan.
Semakin dalam dan parah maka semakin sulit untuk mengeluarkan penduduk dari jerat
kemiskinan.
Pengeluaran untuk perumahan berperan
paling besar dalam membentuk garis kemiskinan non makanan yaitu sebesar 36,36
persen. Garis kemiskinan yang terdiri dari garis kemiskinan makanan dan non
makanan pada Maret 2017 sebesar Rp. 536.546 per kapita per bulan dengan
kontribusi non makanan 36,26 persen. Besarnya peranan perumahan dalam garis
kemiskinan ini menyebabkan pengeluaran untuk perumahan menjadi hal yang sangat
sensitif bagi penduduk miskin di Jakarta.
Rencana Gubernur DKI untuk membangun
pemukiman kumuh ini harus melalui pertimbangan berdasarkan data yang akurat di
lapangan. Informasi tentang jumlah penduduk yang menyewa maupun menempati
bangunan milik sendiri harus sudah bisa dipetakan. Jangan sampai pembangunan
pemukiman kumuh ini hanya menguntungkan pemilik bangunan, sedangkan penduduk
yang mengontrak atau menyewa akan sangat dirugikan. Ketika pemerintah membangun
pemukiman menjadi semakin bagus maka harga sewa akan mengalami peningkatan.
Kecuali ada jaminan dari pemerintah bahwa harga sewa dari bangunan-bangunan
kumuh yang dibangun tersebut tidak akan mengalami kenaikan.
Kenaikan harga sewa rumah ini akan
menaikkan garis kemiskinan, karena untuk memenuhi kebutuhan dasar perumahan
harus mengeluarkan biaya yang lebih besar. Peningkatan garis kemiskinan ini
akan mengakibatkan bertambahnya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan,
karena secara pendapatan mereka tidak berubah sedangkan jumlah pengeluaran
bertambah. Demikian juga dengan tingkat kedalaman kemiskinan juga akan semakin
dalam, karena pengeluaran penduduk akan semakin jauh dari garis kemiskinan
sehingga semakin sulit untuk keluar dari kemiskinan.
Dengan kenyataan diatas bukan tidak mungkin hal
tersebut akan menambah kawasan kumuh yang baru di tempat ilegal karena ketidakmampuan
mereka untuk menyewa rumah. Alih-alih mengurangi jumlah kawasan kumuh, yang
terjadi justru bertambahnya jumlah penduduk miskin dan kawasan kumuh yang baru di
tempat lain. Jadi pemetaan karakteristik penduduk di pemukiman kumuh mutlak
diperlukan sehingga program pembangunan yang direncanakan tepat sasaran dan
sesuai dengan tujuan.
(Dimuat Di Koran Tangsel Pos, Tanggal 17 Novembr 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar