Halaman

Jumat, 17 November 2017

Revitalisasi Kawasan Kumuh Menguntungkan Siapa?

Salah satu program dan janji pasangan Gubernur dan wakil Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno adalah membangun pemukiman kumuh tanpa menggusur. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup penduduk tanpa menjauhkan mereka dari pekerjaan atau sumber pendapatannya. Namun ada satu hal yang harus dipikirkan tentang pembangunan kawasan kumuh ini apabila penghuni kawasan tersebut ternyata hanya menyewa dan bukan milik sendiri. Bisa jadi dengan pembangunan kawasan kumuh ini hanya akan menguntungkan pemilik kontrakan dan menyengsarakan penyewa karena adanya kenaikan sewa rumah.
Hal tersebut di atas bukan tanpa alasan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), hanya 50,16 persen penduduk DKI Jakarta yang menempati rumah sendiri dan sebanyak 36,76 persen penduduk menempati rumah kontrak atau sewa. Besarnya penduduk yang menyewa atau mengontrak rumah ini harus diperhatikan, terutama pada pemukiman kumuh di Jakarta. Sebagai sebuah kota metropolitan dengan gedung pencakar langitnya, Jakarta masih menyisakan 223 RW yang masuk dalam golongan pemukiman kumuh pada tahun 2013. Jumlahnya saat ini bisa jadi lebih banyak lagi, karena fokus pembangunan dalam beberapa tahun terakhir pada peningkatan kawasan hunian vertikal atau rumah susun.
             Kriteria kawasan kumuh ini berdasarkan 11 variabel yaitu kepadatan penduduk, pemanfaatan lahan, keadaan jalan, keadaan drainase, tempat buang air besar, pengangkutan dan cara pembuangan sampah, dan penerangan jalan umum. Sedangkan variabel lainnya adalah tata letak bangunan, konstruksi bangunan tempat tinggal dan ventilasi.
Sebagai ibukota negara Kesatuan Republik Indonesia, Jakarta merupakan etalase bagi bangsa. Sehingga tidak layak jika di dalamnya terdapat ruang untuk kawasan kumuh. Oleh karena itu rencana Gubernur baru Jakarta untuk membangun kawasan kumuh merupakan hal yang harus dilakukan. Hal ini sesuai dengan janji kampanye Anies-Sandi untuk menciptakan Jakarta sebagai kota yang maju dengan penduduknya yang bahagia.
Pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta pada triwulan II 2017 sebesar 5,86 persen dan jauh melampui pertumbuhan ekonomi nasional. Pertumbuhan ekonomi ini telah mampu mengurangi jumlah pengangguran di Jakarta hingga 13 ribu orang sehingga menyisakan pengangguran sebanyak 293 ribu atau 5,36 persen. Namun keberhasilan dalam tenaga kerja ini belum dibarengi dalam peningkatan kesejahteraan penduduk. Pertumbuhan ekonomi di Jakarta ini masih menyisakan jumlah penduduk miskin pada Maret 2017 sebanyak 389,69 ribu atau mengalami peningkatan 5,39 ribu orang dalam waktu satu tahun.
Tingkat kedalaman kemiskinan juga meningkat dari 0,457 menjadi 0,48. Demikian juga dengan tingkat keparahan kemiskinan mengalami peningkatan dari 0,083 menjadi 0,097 pada Maret 2017.  Padahal kemiskinan tidak hanya sebatas jumlah saja, namun juga terkait dengan tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan. Semakin dalam dan parah maka semakin sulit untuk mengeluarkan penduduk dari jerat kemiskinan.
Pengeluaran untuk perumahan berperan paling besar dalam membentuk garis kemiskinan non makanan yaitu sebesar 36,36 persen. Garis kemiskinan yang terdiri dari garis kemiskinan makanan dan non makanan pada Maret 2017 sebesar Rp. 536.546 per kapita per bulan dengan kontribusi non makanan 36,26 persen. Besarnya peranan perumahan dalam garis kemiskinan ini menyebabkan pengeluaran untuk perumahan menjadi hal yang sangat sensitif bagi penduduk miskin di Jakarta.
Rencana Gubernur DKI untuk membangun pemukiman kumuh ini harus melalui pertimbangan berdasarkan data yang akurat di lapangan. Informasi tentang jumlah penduduk yang menyewa maupun menempati bangunan milik sendiri harus sudah bisa dipetakan. Jangan sampai pembangunan pemukiman kumuh ini hanya menguntungkan pemilik bangunan, sedangkan penduduk yang mengontrak atau menyewa akan sangat dirugikan. Ketika pemerintah membangun pemukiman menjadi semakin bagus maka harga sewa akan mengalami peningkatan. Kecuali ada jaminan dari pemerintah bahwa harga sewa dari bangunan-bangunan kumuh yang dibangun tersebut tidak akan mengalami kenaikan.
Kenaikan harga sewa rumah ini akan menaikkan garis kemiskinan, karena untuk memenuhi kebutuhan dasar perumahan harus mengeluarkan biaya yang lebih besar. Peningkatan garis kemiskinan ini akan mengakibatkan bertambahnya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, karena secara pendapatan mereka tidak berubah sedangkan jumlah pengeluaran bertambah. Demikian juga dengan tingkat kedalaman kemiskinan juga akan semakin dalam, karena pengeluaran penduduk akan semakin jauh dari garis kemiskinan sehingga semakin sulit untuk keluar dari kemiskinan.
Dengan kenyataan diatas bukan tidak mungkin hal tersebut akan menambah kawasan kumuh yang baru di tempat ilegal karena ketidakmampuan mereka untuk menyewa rumah. Alih-alih mengurangi jumlah kawasan kumuh, yang terjadi justru bertambahnya jumlah penduduk miskin dan kawasan kumuh yang baru di tempat lain. Jadi pemetaan karakteristik penduduk di pemukiman kumuh mutlak diperlukan sehingga program pembangunan yang direncanakan tepat sasaran dan sesuai dengan tujuan.


(Dimuat Di Koran Tangsel Pos, Tanggal 17 Novembr 2017)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

#138 Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas

  (Dimuat di Kolom Opini Republika, 25 November 2022) Perekonomian Indonesia mampu tumbuh mengesankan di tengah ancaman resesi global saat i...