(Dimuat di Koran Kabar Banten, 21 November 2017)
Pekatnya asap rokok penduduk miskin seolah menjadi gambaran betapa rumitnya keterkaitan antara rokok dan kemiskinan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2017 mencapai 27,77 juta orang atau 10,64 persen dari total penduduk Indonesia. Jumlah ini bisa jadi semakin sulit dikeluarkan dari lingkaran kemiskinan jika melihat pola konsumsi penduduk miskin yang sangat memprihatinkan. Hal ini tercermin dari belanja rokok yang masih menjadi pengeluaran terbesar kedua setelah beras. Padahal angka penderita gizi buruk dan stunting pada keluarga miskin masih tinggi.
Data BPS 2016 juga menunjukkan satu dari empat balita di Indonesia
mengkonsumsi kalori kurang dari kebutuhan minimumnya. Sedangkan data dari
Pantauan Status Gizi (PSG) menunjukkan pada tahun yang sama jumlah balita
stunting mencapai 27,5 persen. Hal ini masih menjadi masalah bagi dunia
kesehatan karena berdasarkan rekomendasi WHO jumlah balita stunting harus di
bawah 5 persen.
Tingginya kasus stunting dan gizi buruk menempatkan Indonesia pada
peringkat kelima terburuk di dunia. Sedangkan stunting dan gizi buruk berisiko
paling besar terjadi pada keluarga miskin.
Hal ini harus menjadi perhatian khusus bagi pemerintah. Karena
anak-anak adalah aset negara yang harus dijaga. Di tangan merekalah masa depan
bangsa ini akan dilanjutkan. Kemajuan bangsa ini akan banyak ditentukan dari
sejauh mana bangsa ini memberikan perhatian kepada anak-anak, tidak terkecuali
anak-anak pada rumah tangga miskin. Karena yang kita harapkan anak-anak miskin
ini tiak mewarisi kemiskinan orang tuanya.
Kemiskinan memang bukan satu-satunya penyebab terjadinya gizi buruk
dan stunting. Namun kurangnya pemahaman penduduk akan pentingnya asi, pemahaman
gizi beragam, kondisi lingkungan hingga salah dalam mengalokasikan pendapatan
merupakan atribut yang melekat pada penduduk miskin itu sendiri.
Menilik pada pengeluaran penduduk miskin, patut disayangkan bahwa
rokok masih menjadi pengeluaran terbesar kedua setelah beras. Pengeluaran untuk
rokok mencapai lebih dari 11 persen atau tiga kali lipat jika dibandingkan
untuk pengeluaran telur ayam, tiga kali lipat dari pengeluaran daging ayam, dan
7 kali lipat dari pengeluaran untuk tempe maupun tahu.
Sifat kecanduan rokok memaksa keluarga miskin di Indonesia
melupakan pemenuhan terhadap pemenuhan gizi keluarga. Hal yang juga tidak kalah
mengherankan bagi penduduk miskin adalah adanya pengeluaran untuk mie instan
yang mencapai 2,59 persen di perkotaan dan 2,31 persen di perdesaan.
Pengeluaran mie instan ini jauh lebih besar jika dibandingkan untuk
pengeluaran sumber protein sederhana seperti tempe dan tahu yang memiliki porsi
hanya sekitar 1,5 persen dari seluruh pengeluaran penduduk miskin. Padahal
bukan rahasia umum lagi jika mie instan ini tidak akan menambah gizi bagi
keluarga, bahkan konsumsinya harus dibatasi untuk anak-anak.
Pengalokasian
ulang pengeluaran rokok dan mie instan untuk pemenuhan gizi keluarga memerlukan
kesadaran akan pentingnya kesehatan bagi keluarga. Anak-anak yang paling rentan
terkena dampaknya harus menjadi alasan utama bagi kepala keluarga untuk
mengurangi atau bahkan mengeliminasi pengeluaran terutama untuk rokok tersebut.
Rokok yang memiliki dampak buruk terhadap kesehatan seharusnya
ditinggalkan karena akan menurunkan tingkat kesehatan dan produktifitas
penduduk miskin. Dengan menurunnya produktifitas maka semakin sulit penduduk
miskin untuk keluar dari jerat kemiskinan.
Selain pengalokasian pengeluaran, masih ada banyak cara intervensi
yang dapat dilakukan untuk menjauhkan anak dari kekurangan gizi dan stunting.
Asupan gizi anak bermula dari dalam kandungan hingga 1000 hari pertama
kehidupannya.
Ibu hamil harus memperoleh gizi dan zat mineral yang cukup untuk
kebutuhan janin. Edukasi untuk menggugah kesadaran ibu hamil terutama pada
keluarga miskin untuk rutin memeriksakan kandungannya secara gratis di pos
pelayanan kesehatan. Karena di pos pelayanan tersebut akan diberikan vitamin
dan mineral guna memenuhi kekurangan zat gizi.
Demikian juga kampanye pemberian asi ekslusif dan melanjutkannya
hingga 2 tahun bisa mencegah anak kekurangan gizi. Asi merupakan makanan yang
paling cocok dengan kebutuhan bayi. Pada keluarga miskin asi lebih mudah diperoleh
dan lebih murah sehingga pada tahun pertama ketika asi masih menjadi makanan
utama, bayi akan tercukupi kebutuhan kalorinya disamping pemberian makanan
tambahan yang bergizi.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masih ada 32,34 persen anak
miskin berumur 0-23 bulan yang tidak mendapatkan asi sesuai dengan usianya.
Masalah kekurangan gizi dan stunting ini harus menjadi perhatian seluruh
komponen bangsa, tidak hanya pemerintah saja namun juga masyarakat secara luas.
Pemerintah berperan dengan melakukan intervensi dalam penyediaan
pelayanan kesehatan. Sedangkan untuk mengurangi konsumsi rokok penduduk miskin
memerlukan jalan panjang yang tidak instan. Rokok bagi penduduk miskin sudah
seperti candu yang sejenak bisa melupakan kepenatan hidup.
Oleh karena itu perlu dibentuk komunitas positif bagi penduduk
miskin guna menyibukkan diri dengan kegiatan produktif. Kegiatan yang mampu
menghasilkan nilai tambah secara ekonomi dan mengurangi konsumsi rokok agar dialihkan untuk
gizi keluarga. Salah satu kegiatan produktif yang bisa meningkatkan pendapatan
penduduk miskin adalah program padat karya cash yang digagas oleh Presiden Joko
Widodo. Terlebih lagi apabila peserta program tersebut disyaratkan untuk
berhenti merokok atau tidak merokok selama bekerja.
Dengan
pendapatan yang meningkat dan prioritas pengeluaran yang tepat, diharapkan anak-anak
dari keluarga miskin kelak akan memiliki daya saing yang tinggi sehingga mampu
keluar dari kemiskinannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar