Petani dan kesejahteraan. Dua kata yang hingga saat ini seolah sulit untuk bersatu. Kondisi terakhir, berdasarkan survei sosial ekonomi nasional yang dikeluarkan BPS, hampir separuh penduduk miskin di Indonesia bekerja pada sektor pertanian. Padahal di pundak merekalah harapan untuk mencapai swasembada pangan disematkan. Apalagi, ada sebanyak 39,68 juta orang tenaga kerja di Indonesia yang menggantungkan hidupnya pada sektor ini, baik itu sebagai petani maupun buruh tani. Hal ini berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada Bulan Februari 2017.
Pertumbuhan sektor pertanian
sebesar 3,33 persen dalam setahun terakhir, ternyata tak cukup mampu mengangkat
kesejahteraan petani. Angka kemiskinan yang tinggi di wilayah perdesaan yang mencapai 17,10 juta orang pada
kondisi Maret 2017, menjadi fakta semakin jauhnya petani kita dari kata
sejahtera.
Kondisi ini menjadikan sektor
pertanian semakin tidak menarik bagi generasi muda. Ancaman hilangnya generasi
selanjutnya yang menggeluti bidang pertanianpun semakin nyata. Berdasarkan
sensus pertanian 2013 telah terjadi penurunan jumlah petani dalam kurun waktu
10 tahun sebanyak 16,26 persen. Artinya telah terjadi pergeseran mata
pencaharian dari sektor pertanian ke sektor ekonomi lainnya. Anggapan bahwa
sektor pertanian kurang menguntungkan inilah yang semakin menyurutkan keinginan generasi muda
untuk terjun ke sektor pertanian.
Selama ini, kesejahteraan petani umumnya
diukur dengan indikator Nilai Tukar Petani (NTP). NTP ialah perbandingan indeks perubahan
harga barang yang diterima oleh petani dengan indeks perubahan harga yang
dibayar oleh petani. Selama ini, nilai NTP memang selalu di atas 100 yang
mengindikasikan terjadinya surplus pada petani. Akan tetapi, sebenarnya NTP yang setiap bulan dirilis oleh BPS
belum cukup menggambarkan kesejahteraan petani. Hal ini karena kesejahteraan tidak
sekedar membandingkan harga saja, namun lebih menyangkut jumlah pendapatan dan
pengeluaran rumah tangga tani.
Pendapatan petani berkaitan erat
dengan produksi pertanian dan harga jual produk pertanian. Keberhasilan
pemerintah dalam meningkatkan produktifitas pertanian patut kita apresiasi. Akan
tetapi, hal tersebut belum cukup untuk meningkatkan kesejahteraan petani
Indonesia. Karena, bisa jadi produksi melimpah akan tetapi harga komoditas menjadi
rendah dan bahkan kesulitan untuk menjualnya. Akibatnya, lagi-lagi petani yang
dirugikan. Seperti yang terjadi pada
petani tebu dan petani garam yang baru-baru ini kesulitan dalam menjual hasil
panennya bahkan dengan harga rendah sekalipun.
Ada dua hal yang mutlak dilakukan agar jumlah pendapatan petani
menjadi layak ialah penetapan harga pokok pembelian (HPP) yang menguntungkan petani dan
perencanaan jadwal impor. Penetapan HPP mencegah terjualnya komoditas dengan harga rendah
sedangkan perencanaan impor yang cermat memungkinkan masuknya produk
impor tidak bersamaan dengan masa panen petani. Diharapkan dengan dua kebijakan
ini hasil panen dari petani masih terserap di pasar dengan harga yang
menguntungkan petani.
Sedangkan dari sisi pengeluaran terdiri
dari biaya/ongkos usaha pertanian dan pengeluaran konsumsi rumah tangga. Jika
untuk biaya bercocok tanam pemerintah banyak memberikan subsidi, maka untuk
pengeluaran konsumsi rumah tangga seperti pangan, sandang, perumahan,
pendidikan, dan kesehatan juga harus mendapat perhatian. Karena kenaikan harga barang
konsumsi rumah tangga ini berpengaruh paling besar dalam menurunkan
kesejahteraan petani.
Selain itu harga barang konsumsi
lebih elastis dibanding harga komoditas pertanian. Menurut survei sosial
ekonomi nasional, jenis barang konsumsi masyarakat perdesaan tidak jauh berbeda
dengan konsumsi masyarakat perkotaan. Sehingga diperlukan pemotongan rantai
distribusi yang panjang untuk menekan harga di perdesaan. Selain pembangunan
infrastruktur yang masif, juga perlu diperbanyak warung Rumah Pangan Kita (RPK)
yang digagas oleh Perum Bulog untuk mendekatkan ke konsumen.
Usaha menyejahterakan petani ini
membutuhkan waktu yang panjang dan berliku. Ada 14,25 juta
diantaranya merupakan petani gurem dengan lahan yang diolah kurang dari
setengah hektar. Skala usaha yang kecil ini memungkinkan petani tidak mampu
mencukupi kebutuhan hidupnya meski kegiatan usaha pertanian tersebut
menguntungkan. Terlebih lagi ketika petani harus berbagi hasil dengan pemilik
lahan/modal.
Selain itu, bagaimana petani
mencukupi kebutuhannya hingga waktu panen harus juga diperhatikan. Hari ini
tidak sedikit petani yang berhutang kepada pedagang atau tengkulak untuk
mencukupi kebutuhan sehari-hari dan biaya pengolahan lahan pertanian. Sehingga
ketika panen tiba, petani akan menjual hasil panennya guna membayar hutang.
Kesempatan untuk mengolah hasil panen seperti yang diharapkan untuk
meningkatkan nilai tambah urung dilakukan karena hasil panen sudah dijual
bahkan sebelum waktu panen tiba.
Oleh karena itu, perlu didorong
untuk menciptakan usaha informal di perdesaan guna meningkatkan daya beli
petani. Pelatihan keterampilan pada anggota rumah tangga potensial untuk
menciptakan nilai tambah dengan memanfaatkan sumber daya lokal. Pendampingan
dan pelatihan dalam pemasaran dengan memanfaatkan teknologi digital juga perlu
dilakukan. Hal ini berguna untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga tani
disamping dari hasil pengolahan lahan.
Pembentukan koperasi bersama untuk
menjamin pemenuhan kebutuhan petani bisa menjadi salah satu solusi. Kemudian
ketika panen tiba, petani akan meningkatkan nilai tambah komoditas pertanian
melalui usaha bersama. Selanjutnya koperasi akan kembali berperan dalam
menampung dan memasarkan komoditas pertanian maupun hasil pengolahan pertanian
ke berbagai wilayah. Harapannya pendapatan dan kesejahteraan petani akan
meningkat di masa yang akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar