Halaman

Kamis, 14 September 2017

Ekonomi Digital dan Matinya Usaha Konvensional


(Dimuat Di Koran Analisa, Tanggal 14 September 2017)
Dalam pekan ini dunia retail Indonesia dikejutkan dengan rencana tutupnya delapan gerai Ramayana di beberapa kota besar di Indonesia. Selain itu juga laporan tentang sepinya pengunjung pada banyak toko di berbagai pusat perbelanjaan seperti Glodok dan Mangga Dua. Apakah fenomena ini semakin mengaminkan bahwa daya beli masyarakat Indonesia tengah menurun sehingga mengakibatkan tutupnya banyak toko retail di Indonesia?
Berdasarkan laporan dari Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) yang mengatakan bahwa penjualan yang dicapai anggotanya pada semester pertama 2017 turun sebanyak 20 persen. Padahal pada semester pertama kemarin ada momen ramadhan dan idul fitri yang biasanya terjadi peningkatan jumlah permintaan aneka barang dan jasa.
Namun indikator makro seperti pertumbuhan ekonomi dan inflasi, menunjukkan hal sebaliknya yaitu bahwa daya beli masyarakat masih stabil. Demikian juga apabila dilihat dari Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar pengeluaran, konsumsi rumah tangga mengalami peningkatan sebesar 4,95 persen atau lebih lambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan pada periode sebelumnya.
Kembali kepada rencana tutupnya beberapa gerai Ramayana dan banyak toko di pusat perbelanjaan, hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan penjualan di usaha retail tersebut. Ramayana dan sebagian besar toko di pusat perbelanjaan menerapkan penjualan secara konvensional, dimana penjual dan pembeli bertemu secara langsung untuk melakukan transaksi. Padahal di era sekarang, telah terjadi pergeseran cara belanja dari konvensional menjadi belanja secara online (daring).
Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan menjamurnya toko online semakin memudahkan dan memanjakan masyarakat untuk berbelanja. Pemanfaatan teknologi informasi dalam bertransaksi pembelian barang dan jasa ini juga terlihat pada pertumbuhan ekonomi sektor informasi dan komunikasi sebesar 10,88 persen dan konsisten diatas angka 10 persen dalam beberapa tahun terakhir. Pertumbuhan sektor ini juga selalu menempati urutan tertinggi jika dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya.
Bukti bahwa telah terjadi pergeseran cara belanja tersebut terlihat pada meningkatnya omset penjualan pada beberapa e-commerce seperti Tokopedia, Bukalapak, Lazada, Blibli, dan lain sebagainya. Belanja secara online mengakibatkan peningkatan jumlah kiriman barang dari penjual ke pembeli. Hal ini terbukti pada melonjaknya jumlah kiriman pada jasa ekspedisi seperti JNE, JNT, Tiki, dan beberapa jasa kurir yang lain.
Tidak hanya dalan penjualan barang yang mengalami perubahan cara belanja, namun dari penjualan jasa juga terjadi perubahan cara transaksi dari konvensional kepada digital. Hal ini terbukti dari maraknya jasa layanan transportasi online seperti Gojek, Grab, dan Uber. Dengan layanan yang murah dan lebih profesional menjadikan jasa transportasi ini lebih digemari oleh masyrakat. Bahkan tidak hanya mengantarkan penumpang ke tempat tujuan, namun aplikasi ini juga melayani konsumen untuk pemesanan makanan, pembelian obat, jasa pindahan, pengiriman barang, dan layanan lainnya.
Aneka layanan secara online tadi tentu semakin memanjakan konsumen. Konsumen tidak perlu lagi berdesakan di pusat belanjaan, atau berpanas-panasan dan mengantri hanya untuk memperoleh makanan kesukaan. Semua tinggal klik, barang akan diantar sampai di rumah. Betapa revolusi ekonomi digital semakin memudahkan konsumen dalam memperoleh barang dan jasa.
Cara belanja online ini juga menguntungkan bagi penjual dan pelaku UMKM. Tanpa harus memiliki toko ataupun mengeluarkan uang sewa serta gaji karyawan, mereka bisa membuka toko virtual di pusat perbelanjaan virtual (e-commerce). Perubahan cara belanja ini akan memangkas rantai distribusi yang panjang antara produsen dan konsumen. Karena sekarang produsenpun bisa menjual langsung kepada konsumen. Demikian juga penjual bisa menjual eceran barang dagangannya tanpa harus menyetok barang karena adanya sistem dropship, dimana penjual akan memesan ke produsen atau pedagang lain untuk dikirim ke konsumen. Sangat mudah bukan?
Namun bagi pelaku usaha yang masih konvensional, hal ini merupakan ancaman. Hal ini terbukti akan menurunnya penjualan pada pengusaha retail di tanah air yang berakibat pada menurunnya keuntungan bagi pelaku usaha konvensional. Dengan omset yang mengalami penurunan sedangkan pengeluaran sewa tempat dan gaji karyawan terus berjalan mengakibatkan usaha rugi yang bisa berujung pada tutupnya usaha. Inilah kemungkinan yang terjadi pada tutupnya jaringan perusahaan retail besar di negeri ini. Dan tidak menutup kemungkinan, fenomena ini akan menjalar pada usaha retail lainnya jika tidak segera berevolusi dengan memanfaatkan layanan ekonomi digital.
Terlepas dari perubahan pola konsumsi masyarakat, jika usaha konvensional ini tidak menyesuaikan dengan ekonomi digital sekarang maka lambat laun usaha konvensional ini akan tergilas hingga berujung pada kematian usaha. Sehingga mau tidak mau usaha konvensional atau offline harus menyesuaikan dengan membuka layanan pembelian secara online/daring agar mampu mempertahankan usahanya.

Meski jumlah uang yang beredar tetap sama, namun dengan revolusi digital ini bisa mengakibatkan pengurangan jumlah karyawan pada jaringan usaha retail konvensional di berbagai pusat perbelanjaan. Pengurangan jumlah karyawan ini mengakibatkan tingkat pengangguran bertambah dan secara langsung akan menurunkan tingkat daya beli masyarakat. Penurunan daya beli ini dalam jangka panjang akan memperlebar tingkat ketimpangan pendapatan dan menambah jumlah penduduk miskin di Indonesia. 

(Dimuat Di Koran Analisa, Tanggal 14 September 2017)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

#138 Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas

  (Dimuat di Kolom Opini Republika, 25 November 2022) Perekonomian Indonesia mampu tumbuh mengesankan di tengah ancaman resesi global saat i...