Dalam pekan ini dunia retail Indonesia dikejutkan dengan rencana tutupnya delapan gerai Ramayana di beberapa kota besar di Indonesia. Selain itu juga laporan tentang sepinya pengunjung pada banyak toko di berbagai pusat perbelanjaan seperti Glodok dan Mangga Dua. Apakah fenomena ini semakin mengaminkan bahwa daya beli masyarakat Indonesia tengah menurun sehingga mengakibatkan tutupnya banyak toko retail di Indonesia?
Berdasarkan laporan dari Asosiasi
Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) yang mengatakan bahwa penjualan yang
dicapai anggotanya pada semester pertama 2017 turun sebanyak 20 persen. Padahal
pada semester pertama kemarin ada momen ramadhan dan idul fitri yang biasanya
terjadi peningkatan jumlah permintaan aneka barang dan jasa.
Namun indikator makro seperti pertumbuhan ekonomi
dan inflasi, menunjukkan hal sebaliknya yaitu bahwa daya beli masyarakat masih
stabil. Demikian juga apabila dilihat dari Produk Domestik Bruto (PDB) atas
dasar pengeluaran, konsumsi rumah tangga mengalami peningkatan sebesar 4,95
persen atau lebih lambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan pada periode
sebelumnya.
Kembali kepada rencana tutupnya beberapa gerai
Ramayana dan banyak toko di pusat perbelanjaan, hal ini menunjukkan bahwa telah
terjadi penurunan penjualan di usaha retail tersebut. Ramayana dan sebagian
besar toko di pusat perbelanjaan menerapkan penjualan secara konvensional,
dimana penjual dan pembeli bertemu secara langsung untuk melakukan transaksi. Padahal
di era sekarang, telah terjadi pergeseran cara belanja dari konvensional
menjadi belanja secara online (daring).
Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan
menjamurnya toko online semakin memudahkan dan memanjakan masyarakat untuk
berbelanja. Pemanfaatan teknologi informasi dalam bertransaksi pembelian barang
dan jasa ini juga terlihat pada pertumbuhan ekonomi sektor informasi dan
komunikasi sebesar 10,88 persen dan konsisten diatas angka 10 persen dalam
beberapa tahun terakhir. Pertumbuhan sektor ini juga selalu menempati urutan
tertinggi jika dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya.
Bukti bahwa telah terjadi pergeseran cara belanja
tersebut terlihat pada meningkatnya omset penjualan pada beberapa e-commerce
seperti Tokopedia, Bukalapak, Lazada, Blibli, dan lain sebagainya. Belanja
secara online mengakibatkan peningkatan jumlah kiriman barang dari penjual ke
pembeli. Hal ini terbukti pada melonjaknya jumlah kiriman pada jasa ekspedisi seperti
JNE, JNT, Tiki, dan beberapa jasa kurir yang lain.
Tidak hanya dalan penjualan barang yang mengalami
perubahan cara belanja, namun dari penjualan jasa juga terjadi perubahan cara
transaksi dari konvensional kepada digital. Hal ini terbukti dari maraknya jasa
layanan transportasi online seperti Gojek, Grab, dan Uber. Dengan layanan yang
murah dan lebih profesional menjadikan jasa transportasi ini lebih digemari
oleh masyrakat. Bahkan tidak hanya mengantarkan penumpang ke tempat tujuan,
namun aplikasi ini juga melayani konsumen untuk pemesanan makanan, pembelian
obat, jasa pindahan, pengiriman barang, dan layanan lainnya.
Aneka layanan secara online tadi tentu semakin
memanjakan konsumen. Konsumen tidak perlu lagi berdesakan di pusat belanjaan,
atau berpanas-panasan dan mengantri hanya untuk memperoleh makanan kesukaan.
Semua tinggal klik, barang akan diantar sampai di rumah. Betapa revolusi
ekonomi digital semakin memudahkan konsumen dalam memperoleh barang dan jasa.
Cara belanja online ini juga menguntungkan bagi
penjual dan pelaku UMKM. Tanpa harus memiliki toko ataupun mengeluarkan uang
sewa serta gaji karyawan, mereka bisa membuka toko virtual di pusat
perbelanjaan virtual (e-commerce). Perubahan cara belanja ini akan memangkas
rantai distribusi yang panjang antara produsen dan konsumen. Karena sekarang
produsenpun bisa menjual langsung kepada konsumen. Demikian juga penjual bisa
menjual eceran barang dagangannya tanpa harus menyetok barang karena adanya
sistem dropship, dimana penjual akan memesan ke produsen atau pedagang lain
untuk dikirim ke konsumen. Sangat mudah bukan?
Namun bagi pelaku usaha yang masih konvensional,
hal ini merupakan ancaman. Hal ini terbukti akan menurunnya penjualan pada
pengusaha retail di tanah air yang berakibat pada menurunnya keuntungan bagi
pelaku usaha konvensional. Dengan omset yang mengalami penurunan sedangkan pengeluaran
sewa tempat dan gaji karyawan terus berjalan mengakibatkan usaha rugi yang bisa
berujung pada tutupnya usaha. Inilah kemungkinan yang terjadi pada tutupnya
jaringan perusahaan retail besar di negeri ini. Dan tidak menutup kemungkinan,
fenomena ini akan menjalar pada usaha retail lainnya jika tidak segera
berevolusi dengan memanfaatkan layanan ekonomi digital.
Terlepas dari perubahan pola konsumsi masyarakat,
jika usaha konvensional ini tidak menyesuaikan dengan ekonomi digital sekarang
maka lambat laun usaha konvensional ini akan tergilas hingga berujung pada
kematian usaha. Sehingga mau tidak mau usaha konvensional atau offline harus
menyesuaikan dengan membuka layanan pembelian secara online/daring agar mampu
mempertahankan usahanya.
Meski jumlah uang yang beredar tetap sama, namun dengan
revolusi digital ini bisa mengakibatkan pengurangan jumlah karyawan pada
jaringan usaha retail konvensional di berbagai pusat perbelanjaan. Pengurangan
jumlah karyawan ini mengakibatkan tingkat pengangguran bertambah dan secara
langsung akan menurunkan tingkat daya beli masyarakat. Penurunan daya beli ini
dalam jangka panjang akan memperlebar tingkat ketimpangan pendapatan dan menambah
jumlah penduduk miskin di Indonesia.
(Dimuat Di Koran Analisa, Tanggal 14 September 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar