Halaman

Rabu, 23 Agustus 2017

Kemiskinan dan Pertumbuhan Ekonomi



Kemiskinan adalah sebuah permasalahan sosial yang hampir selalu melekat sebagai atribut bagi negara berkembang seperti Indonesia. Sehingga tidak mengherankan setiap periode pemerintahan selalu memprioritaskan program untuk mengurangi angka kemiskinan. Demikian juga dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo, pengentasan kemiskinan menjadi salah satu agenda dalam nawacita. Meski dalam kenyataannya dalam 3 tahun pemerintahannya jumlah penduduk miskin justru justru mengalami peningkatan dari 27,73 juta pada September 2014 menjadi 27,77 juta jiwa pada kondisi Maret 2017.
Kemiskinan adalah suatu kondisi ketidakmampuan seseorang secara ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin. Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilo kalori perkapita perhari. Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin pada Maret 2017 mengalami peningkatan sebesar 6,90 ribu jiwa. Peningkatan terjadi di perkotaan yang mencapai 188,9 ribu jiwa. Sedangkan di perdesaan jumlah penduduk miskin mengalami penurunan sebanyak 181,29 ribu jiwa.
Tidak hanya jumlahnya yang meningkat dalam enam bulan terakhir, namun kondisi penduduk miskin di perkotaan juga semakin dalam dan parah. Hal ini tercermin dari indeks kedalaman kemiskinan yang meningkat dari 1,21 menjadi 1,24 dan indeks keparahan meningkat dari 0,29 menjadi 0,31 dalam waktu enam bulan. Dengan meningkatnya kedua indeks ini berarti bahwa kemiskinan semakin sulit diatasi. Karena dengan meningkatnya indeks kedalaman maka semakin jauh pengeluaran penduduk miskin dari garis kemiskinan. Sedangkan indeks keparahan menggambarkan ketimpangan antar penduduk miskin.
Meningkatnya jumlah penduduk miskin di perkotaan mengisyaratkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 5,01 persen pada triwulan pertama dan kedua belum mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk secara merata. Meski ekonomi tumbuh diatas 5 persen namun kualitasnya belum bisa diharapkan. Hal ini tercermin pada ketidakmampuannya dalam menyerap angkatan kerja yang terus meningkat setiap tahun. Akibatnya meski perekonomian tumbuh, namun masih menyisakan pengangguran yang mencapai 7,01 juta orang.
Pertumbuhan ekonomi baru bisa dimanfaatkan oleh masyarakat kelas menengah atas di Indonesia. Keterbatasan pendidikan serta keterampilan mengakibatkan penduduk kelas bawah tidak mampu memanfaatkan peluang ekonomi. Hal ini terlihat pada peningkatan pengeluaran kelas menengah Indonesia sebesar 2,19 persen atau lebih tinggi dibandingkan dengan kelas bawah di Indonesia yaitu sebesar 1,89 persen. Selain itu, dalam enam bulan terakhir juga terjadi peningkatan jumlah wirausaha baru yang mencapai 1,84 juta usaha.  Pendidikan yang baik memungkinkan kelas menengah atas di Indonesia mampu membuka peluang usaha dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Terlebih di era digital seperti saat ini.
Pengentasan kemiskinan ini diperlukan upaya yang terpadu dan tepat sasaran. Karakteristik antara perdesaan dan perkotaan harus menjadi landasan dalam menyusun program guna menurunkan angka kemiskinan.
Langkah pemerintah dengan pemberian aneka bantuan dan subsidi baik untuk kesehatan, pendidikan, maupun beras sejahtera mampu menekan pengeluaran penduduk miskin. Namun hal ini merupakan cara yang instan, yang belum menyentuh pokok permasalahan. Sehingga ketika terjadi keterlambatan penyaluran aneka bantuan tersebut mengakibatkan bertambahnya penduduk miskin. Hal ini seperti yang terjadi pada Bulan Maret  2017, bahwa peningkatan jumlah penduduk miskin disinyalir karena terlambatnya penyaluran beras sejahtera.
Oleh karena itu diperlukan program yang tidak hanya memberikan umpan saja namun juga memberikan kailnya. Program tersebut berupa peningkatan ketrampilan dan modal usaha, sehingga dalam jangka panjang penduduk miskin mampu menciptakan usaha sendiri yang dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga.
Meski secara nasional jumlah penduduk miskin di perdesaan mengalami penurunan, namun jumlahnya masih mendominasi total penduduk miskin. Tidak dapat dipungkiri bahwa berdasarkan karakterisiknya, hampir 50 persen penduduk miskin bekerja pada sektor pertanian. Sedangkan kesejahteraan petani sangat bergantung pada harga komoditas pertanian dan harga kebutuhan barang konsumsi. Upaya pemerintah dalam menggenjot pembangunan infrastruktur mampu memperlancar arus barang sehingga dapat menekan harga barang di tingkat perdesaan.

Sedangkan dari segi pendidikan, 37,44 persen tidak tamat SD dan 37,46 persen hanya tamat SD. Sehingga untuk mengurangi angka kemiskinan dalam jangka panjang diperlukan dengan meningkatkan tingkat pendidikan dan kesehatan penduduk. Harapannya anak-anak yang terlahir dari keluarga miskin akan memiliki tingkat pendidikan dan kesehatan yang baik sehingga kelak mereka mampu berusaha untuk keluar dari jerat kemiskinan. 
Dimuat di harian Kabar Banten 22 Agustus 2017 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

#138 Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas

  (Dimuat di Kolom Opini Republika, 25 November 2022) Perekonomian Indonesia mampu tumbuh mengesankan di tengah ancaman resesi global saat i...