Kemiskinan adalah sebuah permasalahan sosial yang hampir selalu
melekat sebagai atribut bagi negara berkembang seperti Indonesia. Sehingga
tidak mengherankan setiap periode pemerintahan selalu memprioritaskan program
untuk mengurangi angka kemiskinan. Demikian juga dalam pemerintahan Presiden
Joko Widodo, pengentasan kemiskinan menjadi salah satu agenda dalam nawacita.
Meski dalam kenyataannya dalam 3 tahun pemerintahannya jumlah penduduk miskin
justru justru mengalami peningkatan dari 27,73 juta pada September 2014 menjadi
27,77 juta jiwa pada kondisi Maret 2017.
Kemiskinan adalah suatu kondisi ketidakmampuan seseorang secara
ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan
dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Penduduk yang
memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan
dikategorikan sebagai penduduk miskin. Garis Kemiskinan (GK) merupakan
penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non
Makanan (GKNM). Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran
kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilo kalori perkapita
perhari. Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk
perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk
miskin pada Maret 2017 mengalami peningkatan sebesar 6,90 ribu jiwa.
Peningkatan terjadi di perkotaan yang mencapai 188,9 ribu jiwa. Sedangkan di
perdesaan jumlah penduduk miskin mengalami penurunan sebanyak 181,29 ribu jiwa.
Tidak hanya jumlahnya yang meningkat dalam enam bulan terakhir,
namun kondisi penduduk miskin di perkotaan juga semakin dalam dan parah. Hal
ini tercermin dari indeks kedalaman kemiskinan yang meningkat dari 1,21 menjadi
1,24 dan indeks keparahan meningkat dari 0,29 menjadi 0,31 dalam waktu enam
bulan. Dengan meningkatnya kedua indeks ini berarti bahwa kemiskinan semakin
sulit diatasi. Karena dengan meningkatnya indeks kedalaman maka semakin jauh
pengeluaran penduduk miskin dari garis kemiskinan. Sedangkan indeks keparahan
menggambarkan ketimpangan antar penduduk miskin.
Meningkatnya jumlah penduduk miskin di perkotaan mengisyaratkan
bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 5,01 persen pada triwulan
pertama dan kedua belum mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk secara
merata. Meski ekonomi tumbuh diatas 5 persen namun kualitasnya belum bisa
diharapkan. Hal ini tercermin pada ketidakmampuannya dalam menyerap angkatan
kerja yang terus meningkat setiap tahun. Akibatnya meski perekonomian tumbuh,
namun masih menyisakan pengangguran yang mencapai 7,01 juta orang.
Pertumbuhan ekonomi baru bisa dimanfaatkan oleh masyarakat kelas
menengah atas di Indonesia. Keterbatasan pendidikan serta keterampilan
mengakibatkan penduduk kelas bawah tidak mampu memanfaatkan peluang ekonomi. Hal
ini terlihat pada peningkatan pengeluaran kelas menengah Indonesia sebesar 2,19
persen atau lebih tinggi dibandingkan dengan kelas bawah di Indonesia yaitu
sebesar 1,89 persen. Selain itu, dalam enam bulan terakhir juga terjadi
peningkatan jumlah wirausaha baru yang mencapai 1,84 juta usaha. Pendidikan yang baik memungkinkan kelas
menengah atas di Indonesia mampu membuka peluang usaha dengan memanfaatkan
teknologi informasi dan komunikasi. Terlebih di era digital seperti saat ini.
Pengentasan kemiskinan ini diperlukan upaya yang terpadu dan tepat
sasaran. Karakteristik antara perdesaan dan perkotaan harus menjadi landasan
dalam menyusun program guna menurunkan angka kemiskinan.
Langkah pemerintah dengan pemberian aneka bantuan dan subsidi baik
untuk kesehatan, pendidikan, maupun beras sejahtera mampu menekan pengeluaran
penduduk miskin. Namun hal ini merupakan cara yang instan, yang belum menyentuh
pokok permasalahan. Sehingga ketika terjadi keterlambatan penyaluran aneka
bantuan tersebut mengakibatkan bertambahnya penduduk miskin. Hal ini seperti
yang terjadi pada Bulan Maret 2017,
bahwa peningkatan jumlah penduduk miskin disinyalir karena terlambatnya
penyaluran beras sejahtera.
Oleh
karena itu diperlukan program yang tidak hanya memberikan umpan saja namun juga
memberikan kailnya. Program tersebut berupa peningkatan ketrampilan dan modal
usaha, sehingga dalam jangka panjang penduduk miskin mampu menciptakan usaha
sendiri yang dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga.
Meski secara nasional jumlah penduduk miskin di perdesaan mengalami
penurunan, namun jumlahnya masih mendominasi total penduduk miskin. Tidak dapat
dipungkiri bahwa berdasarkan karakterisiknya, hampir 50 persen penduduk miskin
bekerja pada sektor pertanian. Sedangkan kesejahteraan petani sangat bergantung
pada harga komoditas pertanian dan harga kebutuhan barang konsumsi. Upaya
pemerintah dalam menggenjot pembangunan infrastruktur mampu memperlancar arus
barang sehingga dapat menekan harga barang di tingkat perdesaan.
Sedangkan dari segi pendidikan, 37,44 persen tidak tamat SD dan
37,46 persen hanya tamat SD. Sehingga untuk mengurangi angka kemiskinan dalam
jangka panjang diperlukan dengan meningkatkan tingkat pendidikan dan kesehatan
penduduk. Harapannya anak-anak yang terlahir dari keluarga miskin akan memiliki
tingkat pendidikan dan kesehatan yang baik sehingga kelak mereka mampu berusaha
untuk keluar dari jerat kemiskinan.
Dimuat di harian Kabar Banten 22
Agustus 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar