Halaman

Senin, 28 Agustus 2017

Daya Beli Yang Tertukar


Dalam semingggu terakhir banyak diberitakan di media tentang penurunan daya beli konsumen di Indonesia. Hal ini berdasarkan pengakuan dari Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) yang mengatakan bahwa penjualan yang dicapai anggotanya pada semester pertama 2017 turun sebanyak 20 persen. Namun dari beberapa indikator makro ekonomi menunjukkan bahwa daya beli masyarakat Indonesia masih terjaga dan tidak mengalami penurunan. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia pada triwulan dua 2017 mengalami pertumbuhan sebesar 5,01 persen. Demikian juga dengan laju inflasi dari Januari hingga Juli berada dalam tataran ideal yaitu sebesar 2,6 persen.
Data dari Produk Domestik Bruto (PDB) menurut pengeluaran juga menunjukkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga sebesar 4,95 persen. Naik turunnya pengeluaran konsumsi rumah tangga sangat berpengaruh karena memiliki peranan terbesar yaitu hampir 56 persen dalam membentuk PDB. Sehingga kekhawatiran akan menurunnya daya beli rumah tangga ini menghantui para pelaku usaha dan pemerintah Indonesia.
Penurunan daya beli dalam jangka panjang sangat membahayakan karena akan mengakibatkan penurunan permintaan dan produksi. Produksi turun maka perusahaan akan mengurangi jam kerja, jumlah tanaga kerja, dan juga bahan baku. Pengurangan jumlah tenaga kerja mengakibatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang akan menambah pengangguran, menurunkan daya beli, dan beresiko meningkatkan jumlah penduduk miskin.
Namun dengan melihat bahwa hampir semua lapangan usaha mengalami pertumbuhan ekonomi maka kurang meyakinkan jika dikatakan terjadi penurunan daya beli penduduk. Meskipun harus diakui bahwa terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi di beberapa lapangan usaha unggulan seperti industri pengolahan dan perdagangan. Namun perlambatan ini bukan berarti permintaannya menurun, hanya saja pertumbuhannya tidak secepat periode sebelumnya. Sedangkan lapangan usaha lain yang mengalami percepatan pertumbuhan ekonomi adalah sektor informasi dan komunikasi, akomodasi dan penyediaan makan minum, serta transportasi dan pergudangan.
Dengan memperhatikan struktur pertumbuhan ekonomi masing-masing lapangan usaha, semakin terlihat terjadinya pergeseran pengeluaran penduduk. Namun yang perlu dicatat bahwa pergeseran pola pengeluaran ini kemungkinan hanya terjadi pada kelas menengah atas Indonesia. Pergeseran pola pengeluaran dari barang-barang konsumsi menjadi pengeluaran untuk hiburan dan rekreasi memungkinkan perlambatan pada permintaan produk manufaktur. Hiburan dan rekreasi seolah menjadi kebutuhan bagi setiap keluarga terutama kelas menengah atas di perkotaan sebagai kompensasi atas kerja keras ditengah kemacetan kota besar. Pengeluaran untuk hiburan dan rekreasi tercermin pada meningkatnya pertumbuhan ekonomi pada sektor akomodasi, penyediaan makan minum, dan transportasi.
Selain pola pengeluaran yang berubah, terjadi juga perubahan cara belanja dari konvensional menjadi sistem daring. Hal ini terjadi seiring dengan kemudahan teknologi informasi dan menjamurnya e-commerce di Indonesia. Perubahan cara belanja ini terlihat dari meningkatnya penjualan di beberapa e-commerce seperti Tokopedia, Bukalapak, dan lain sebagainya. Demikian juga untuk pengiriman barang melalui kurir seperti JNE mengalami kenaikan dalam setahun terakhir.
Cara belanja secara daring juga memungkinkan konsumen langsung membeli ke produsen, sehingga memangkas jalur distribusi retail. Akibatnya ketika yang menjadi objek pengamatan adalah toko retail, maka akan terjadi penurunan omset. Padahal konsumen tidak mengurangi permintaan, namun konsumen membeli ke produsen/pengrajin langsung melalui sistem daring.
Contoh yang paling mudah ketika kita menanyakan kepada tukang ojek pangkalan, bagaimana omset ojek selama setahun terakhir. Ojek pangkalan akan mengaku bahwa pendapatannya menurun. Sedangkan jumlah pengguna ojek tetap atau bahkan meningkat. Pengakuan menurunnya omset ojek pangkalan ini terjadi karena adanya ojek online seperti gojek, grab, maupun uber. Jadi bukan karena permintaan yang menurun namun karena perubahan cara dalam memperoleh barang maupun jasa.
Selain itu melambatnya pertumbuhan konsumsi bisa jadi diakibatkan oleh semakin bijaknya masyarakat kelas menengah atas Indonesia dalam mengelola keuangannya. Meningkatnya pengetahuan tentang  investasi mendorong  kelas menengah atas untuk mengamankan asetnya di masa depan.
Ketika perubahan pola pengeluaran dan cara belanja di atas hanya terjadi pada kelas menengah atas, bagaimana dengan penduduk ekonomi kelas bawah di Indonesia? Daya beli masyarakat kelas bawah ini harus mendapat perhatian, karena penurunan daya belinya bisa jadi tidak terlihat atau kurang terpantau. Hal ini terjadi karena kontribusi pengeluaran penduduk 40 persen terbawah ini hanya 17 persen dari seluruh pengeluaran konsumsi nasional. Akibatnya penurunan daya beli yang terjadi pada 40 persen kelompok bawah ini tidak akan memberikan pengaruh yang besar terhadap perekonomian secara nasional.
Jangan sampai karena secara makro semua indikator tidak menunjukkan penurunan daya beli, maka kondisi kelompok pengeluaran terbawah ini jadi terabaikan. Ibaratnya sudah miskin menjadi semakin tambah miskin. Apalagi jumlah penduduk miskin pada kondisi Maret 2017 mengalami peningkatan menjadi 27,77 juta jiwa. Selain jumlah penduduk miskin yang meningkat, kemiskinan di perkotaan juga semakin dalam dan parah. Dengan kondisi demikian maka pengentasan kemiskinan akan semakin sulit dilakukan.
Benar bahwa banyak upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam meningkatkan daya beli penduduk miskin ini. Pemberian aneka bantuan, jaminan pendidikan dan kesehatan, serta berbagai macam subsidi terbukti mampu meningkatkan daya beli penduduk miskin. Namun pemberian bantuan tersebut merupakan cara yang instan dalam menaikkan daya beli. Karena ketika terjadi keterlambatan penyaluran beras sejahtera (rastra) misalnya, maka hal tersebut akan mengakibatkan bertambahnya penduduk miskin. Jadi upaya ini harus dibarengi dengan program jangka panjang yang memungkinkan penduduk kelas bawah memiliki keterampilan sehingga mampu berusaha keluar dari jerat kemiskinan.

Selain itu, terkait dengan daya beli penduduk kelas bawah ini juga diperlukan edukasi dalam hal pengeluaran. Tingginya porsi pengeluaran untuk rokok yang menempati urutan kedua terbesar setelah beras patut disayangkan. Pengeluaran untuk rokok ini jauh lebih besar daripada pengeluaran untuk sumber protein seperti tahu, tempe dan telur. Seharusnya pengeluaran untuk rokok ini bisa dialihkan untuk pengeluaran yang lebih bermanfaat bagi kesehatan maupun pendidikan. Sehingga dengan daya beli yang terbatas mampu meningkatkan kualitas hidup dan produktifitas dalam bekerja.

Dimuat di Harian Analisa, 26 Agustus 2017 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

#139 Kemiskinan Dalam Tekanan Inflasi

Tren penurunan jumlah penduduk miskin pasca pandemi sedikit terganggu dengan lonjakan inflasi yang terjadi pada akhir tahun 2022. Hal ini di...