Dalam semingggu terakhir banyak diberitakan
di media tentang penurunan daya beli konsumen di Indonesia. Hal ini berdasarkan
pengakuan dari Asosiasi
Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) yang mengatakan bahwa penjualan yang dicapai anggotanya pada semester
pertama 2017 turun sebanyak 20 persen. Namun dari beberapa indikator makro ekonomi menunjukkan
bahwa daya beli masyarakat Indonesia masih terjaga dan tidak mengalami
penurunan. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa perekonomian
Indonesia pada triwulan dua 2017 mengalami pertumbuhan sebesar 5,01 persen.
Demikian juga dengan laju inflasi dari Januari hingga Juli berada dalam tataran
ideal yaitu sebesar 2,6 persen.
Data dari Produk Domestik
Bruto (PDB) menurut pengeluaran juga menunjukkan pertumbuhan konsumsi rumah
tangga sebesar 4,95 persen. Naik turunnya pengeluaran konsumsi rumah tangga sangat
berpengaruh karena memiliki peranan terbesar yaitu hampir 56 persen dalam
membentuk PDB. Sehingga kekhawatiran akan menurunnya daya beli rumah tangga ini
menghantui para pelaku usaha dan pemerintah Indonesia.
Penurunan daya beli dalam
jangka panjang sangat membahayakan karena akan mengakibatkan penurunan
permintaan dan produksi. Produksi turun maka perusahaan akan mengurangi jam
kerja, jumlah tanaga kerja, dan juga bahan baku. Pengurangan jumlah tenaga
kerja mengakibatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang akan menambah
pengangguran, menurunkan daya beli, dan beresiko meningkatkan jumlah penduduk
miskin.
Namun dengan melihat bahwa
hampir semua lapangan usaha mengalami pertumbuhan ekonomi maka kurang
meyakinkan jika dikatakan terjadi penurunan daya beli penduduk. Meskipun harus
diakui bahwa terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi di beberapa lapangan usaha
unggulan seperti industri pengolahan dan perdagangan. Namun perlambatan ini
bukan berarti permintaannya menurun, hanya saja pertumbuhannya tidak secepat
periode sebelumnya. Sedangkan lapangan usaha lain yang mengalami percepatan
pertumbuhan ekonomi adalah sektor informasi dan komunikasi, akomodasi dan
penyediaan makan minum, serta transportasi dan pergudangan.
Dengan memperhatikan
struktur pertumbuhan ekonomi masing-masing lapangan usaha, semakin terlihat
terjadinya pergeseran pengeluaran penduduk. Namun yang perlu dicatat bahwa
pergeseran pola pengeluaran ini kemungkinan hanya terjadi pada kelas menengah
atas Indonesia. Pergeseran pola pengeluaran dari barang-barang konsumsi menjadi
pengeluaran untuk hiburan dan rekreasi memungkinkan perlambatan pada permintaan
produk manufaktur. Hiburan dan rekreasi seolah menjadi kebutuhan bagi setiap
keluarga terutama kelas menengah atas di perkotaan sebagai kompensasi atas
kerja keras ditengah kemacetan kota besar. Pengeluaran untuk hiburan dan
rekreasi tercermin pada meningkatnya pertumbuhan ekonomi pada sektor akomodasi,
penyediaan makan minum, dan transportasi.
Selain pola pengeluaran yang
berubah, terjadi juga perubahan cara belanja dari konvensional menjadi sistem
daring. Hal ini terjadi seiring dengan kemudahan teknologi informasi dan
menjamurnya e-commerce di Indonesia. Perubahan cara belanja ini terlihat dari
meningkatnya penjualan di beberapa e-commerce seperti Tokopedia, Bukalapak, dan
lain sebagainya. Demikian juga untuk pengiriman barang melalui kurir seperti
JNE mengalami kenaikan dalam setahun terakhir.
Cara belanja secara daring
juga memungkinkan konsumen langsung membeli ke produsen, sehingga memangkas
jalur distribusi retail. Akibatnya ketika yang menjadi objek pengamatan adalah
toko retail, maka akan terjadi penurunan omset. Padahal konsumen tidak
mengurangi permintaan, namun konsumen membeli ke produsen/pengrajin langsung
melalui sistem daring.
Contoh yang paling mudah
ketika kita menanyakan kepada tukang ojek pangkalan, bagaimana omset ojek
selama setahun terakhir. Ojek pangkalan akan mengaku bahwa pendapatannya
menurun. Sedangkan jumlah pengguna ojek tetap atau bahkan meningkat. Pengakuan
menurunnya omset ojek pangkalan ini terjadi karena adanya ojek online seperti
gojek, grab, maupun uber. Jadi bukan karena permintaan yang menurun namun
karena perubahan cara dalam memperoleh barang maupun jasa.
Selain itu melambatnya
pertumbuhan konsumsi bisa jadi diakibatkan oleh semakin bijaknya masyarakat
kelas menengah atas Indonesia dalam mengelola keuangannya. Meningkatnya
pengetahuan tentang investasi mendorong kelas menengah atas untuk mengamankan asetnya
di masa depan.
Ketika perubahan pola
pengeluaran dan cara belanja di atas hanya terjadi pada kelas menengah atas,
bagaimana dengan penduduk ekonomi kelas bawah di Indonesia? Daya beli
masyarakat kelas bawah ini harus mendapat perhatian, karena penurunan daya
belinya bisa jadi tidak terlihat atau kurang terpantau. Hal ini terjadi karena
kontribusi pengeluaran penduduk 40 persen terbawah ini hanya 17 persen dari
seluruh pengeluaran konsumsi nasional. Akibatnya penurunan daya beli yang
terjadi pada 40 persen kelompok bawah ini tidak akan memberikan pengaruh yang
besar terhadap perekonomian secara nasional.
Jangan sampai karena secara
makro semua indikator tidak menunjukkan penurunan daya beli, maka kondisi
kelompok pengeluaran terbawah ini jadi terabaikan. Ibaratnya sudah miskin menjadi
semakin tambah miskin. Apalagi jumlah penduduk miskin pada kondisi Maret 2017
mengalami peningkatan menjadi 27,77 juta jiwa. Selain jumlah penduduk miskin yang
meningkat, kemiskinan di perkotaan juga semakin dalam dan parah. Dengan kondisi
demikian maka pengentasan kemiskinan akan semakin sulit dilakukan.
Benar bahwa banyak upaya
yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam meningkatkan daya beli penduduk
miskin ini. Pemberian aneka bantuan, jaminan pendidikan dan kesehatan, serta
berbagai macam subsidi terbukti mampu meningkatkan daya beli penduduk miskin.
Namun pemberian bantuan tersebut merupakan cara yang instan dalam menaikkan
daya beli. Karena ketika terjadi keterlambatan penyaluran beras sejahtera
(rastra) misalnya, maka hal tersebut akan mengakibatkan bertambahnya penduduk
miskin. Jadi upaya ini harus dibarengi dengan program jangka panjang yang
memungkinkan penduduk kelas bawah memiliki keterampilan sehingga mampu berusaha
keluar dari jerat kemiskinan.
Selain itu, terkait dengan
daya beli penduduk kelas bawah ini juga diperlukan edukasi dalam hal
pengeluaran. Tingginya porsi pengeluaran untuk rokok yang menempati urutan
kedua terbesar setelah beras patut disayangkan. Pengeluaran untuk rokok ini
jauh lebih besar daripada pengeluaran untuk sumber protein seperti tahu, tempe
dan telur. Seharusnya pengeluaran untuk rokok ini bisa dialihkan untuk
pengeluaran yang lebih bermanfaat bagi kesehatan maupun pendidikan. Sehingga
dengan daya beli yang terbatas mampu meningkatkan kualitas hidup dan
produktifitas dalam bekerja.
Dimuat di Harian Analisa, 26 Agustus 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar