Halaman

Minggu, 09 Juli 2017

Anomali Lebaran 2017




Lebaran pada tahun 2017 seolah tidak ada yang berubah jika dibandingkan dengan lebaran pada tahun-tahun sebelumnya. Kemacetan di jalan raya yang menyuguhkan pagelaran kendaraan yang mengular, hingga kenaikan harga barang konsumsi seolah menjadi rutinitas tahunan yang selalu terjadi. Namun ada satu hal yang seolah baru terjadi pada bulan Ramadan hingga lebaran kali ini yaitu menurunnya penjualan ritel/eceran barang kebutuhan rumah tangga. Hal ini diakui oleh ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey, bahwa ada penurunan penjualan hampir semua barang jika dibandingkan dengan musim lebaran pada tahun-tahun sebelumnya.

Penurunan ini diakui mengakibatkan menurunnya keuntungan bagi pengusaha ritel di Indonesia. Padahal momen Lebaran merupakan saat pengusaha meraup untung yang berlipat karena naiknya permintaan yang tidak diperoleh pada bulan-bulan yang lain.  Penurunan penjualan ini diperkirakan karena  menurunnya tingkat daya beli masyarakat atau bisa jadi karena pergeseran pola konsumsi di masyarakat. Apakah penurunan tingkat daya beli ini disebabkan oleh perlambatan pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang tidak memenuhi target pemerintah? Pertumbuhan ekonomi tahun 2016 yang nilainya sebesar 5,02 persen dan pertumbuhan ekonomi triwulan I 2017 yang nilainya sebesar 5,01 persen belum mampu meningkatkan pendapatan sehingga menurunkan tingkat daya beli di masyarakat.
Sedangkan jika melihat indikator makro seperti tingkat inflasi selama Ramadan dan Idul Fitri yang nilainya sebesar 0,69 persen maka hal ini masih dalam tataran wajar dan ideal. Demikian juga dengan nilai tukar rupiah yang stabil, tidak akan berpengaruh banyak terhadap harga barang konsumsi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penurunan permintaan barang ritel ini bukan semata karena kenaikan harga barang kebutuhan rumah tangga yang biasa terjadi pada Ramadan dan Idul Fitri.
Selain itu apabila melihat kenyataan di lapangan yang menyuguhkan pagelaran kendaraan yang terus meningkat setiap tahun hingga mengakibatkan kemacetan yang panjang seolah perlambatan ekonomi yang terjadi tidak berpengaruh terhadap perekonomian di masyarakat. Apalagi jika menilik penjualan kendaraan baru pada ajang Indonesia International Motort Show (IIMS) 2017 yang mengalami peningkatan 5,49 persen jika dibandingkan dengan penjualan tahun 2016.
Meningkatnya jumlah kendaraan seolah menggambarkan perkembangan kelas ekonomi menengah atas di Indonesia. Apakah ini berarti bahwa perlambatan pertumbuhan ekonomi ini tidak berpengaruh terhadap kelas menengah Indonesia? Sehingga perlambatan ekonomi ini hanya berpengaruh dalam menurunkan tingkat daya beli pada masyarakat kelas bawah Indonesia saja. Jadi penurunan permintaan barang ritel dari kelas menengah atas ini bukan karena menurunnya tingkat daya beli, tapi lebih karena pergeseran pola konsumsi pada kelas menengah atas di Indonesia.
Bagi kelas menengah keatas momen lebaran bukan lagi saat yang istimewa untuk membeli barang-barang baru seperti baju, sendal, sepatu, perhiasan ataupun gadget baru. Karena ketika mereka merasa membutuhkan atau perlu untuk mengganti dengan model yang terbaru mereka memiliki kemampuan untuk membelinya tanpa harus menunggu momen lebaran. Terlebih di era penjualan secara daring yang memberikan kemudahan dalam berbelanja.
Sedangkan kebutuhan kelas menengah atas di Indonesia Indonesia ini lebih kepada mempersiapkan dana untuk menikmati libur lebaran. Lihatlah betapa hampir semua objek wisata dipenuhi oleh wisatawan dengan tingkat hunian hotel yang meningkat dan menjamurnya wisata kuliner di berbagai wilayah Indonesia. Jadi kemungkinan besar pengeluaran kelas menengah Indonesia dialihkan pada pengeluaran untuk wisata yang meliputi biaya perjalanan/tarnsportasi, penginapan/akomodasi, dan makanan (kuliner) dibandingkan dengan belanja barang konsumsi hari raya. Akibat dari perubahan pola konsumsi kelas menengah yang memiliki tingkat daya beli lebih tinggi ini mengakibatkan penurunan penjualan pada barang-barang ritel secara umum di Indonesia.
Pada kenyataanya kelas menengah di Indonesia ini dalam satu tahun terakhir mengalami peningkatan pengeluaran sebesar 11,69 persen, lebih tinggi jika dibandingkan dengan peningkatan pengeluaran masyarakat ekonomi bawah Indonesia yang hanya meningkat sebesar 3,83 persen. Jadi perubahan pada pengeluaran dan pola konsumsi yang terjadi pada kelas menengah akan berdampak besar pada perekonomian Indonesia terutama pada perdagangan ritel/eceran di Indonesia. Terlebih kelas menengah ini jumlahnya lebih banyak dan terus meningkat setiap tahunnya. Karena kelas menengah yang memiliki tingkat pendidikan baik lebih mampu memanfaatkan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan teknologi informasi.
Namun demikian, meski ada penurunan pada penjualan ritel di Indonesia pada lebaran tahun ini, namun sebagai bentuk keseimbangan akan ada sektor ekonomi lain yang mengalami peningkatan. Sektor ekonomi lain yang besar kemungkinan mengalami peningkatan adalah sektor pariwisata, transportasi, jasa, akomodasi dan penyediaan makanan minuman. Sehingga pertumbuhan ekonomi akan tetap terjaga meskipun terjadi pergeseran sektor ekonomi.


Dimuat di Harian Radar Banten, 8 Juli 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

#139 Kemiskinan Dalam Tekanan Inflasi

Tren penurunan jumlah penduduk miskin pasca pandemi sedikit terganggu dengan lonjakan inflasi yang terjadi pada akhir tahun 2022. Hal ini di...