Lebaran pada tahun 2017 seolah tidak ada yang berubah jika
dibandingkan dengan lebaran pada tahun-tahun sebelumnya. Kemacetan di jalan
raya yang menyuguhkan pagelaran kendaraan yang mengular, hingga kenaikan harga
barang konsumsi seolah menjadi rutinitas tahunan yang selalu terjadi. Namun ada
satu hal yang seolah baru terjadi pada bulan Ramadan hingga lebaran kali ini
yaitu menurunnya penjualan ritel/eceran barang kebutuhan rumah tangga. Hal ini
diakui oleh ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey,
bahwa ada penurunan penjualan hampir semua barang jika dibandingkan dengan
musim lebaran pada tahun-tahun sebelumnya.
Penurunan ini diakui
mengakibatkan menurunnya keuntungan bagi pengusaha ritel di Indonesia. Padahal
momen Lebaran merupakan saat pengusaha meraup untung yang berlipat karena
naiknya permintaan yang tidak diperoleh pada bulan-bulan yang lain. Penurunan penjualan ini diperkirakan karena menurunnya tingkat daya beli masyarakat atau
bisa jadi karena pergeseran pola konsumsi di masyarakat. Apakah penurunan
tingkat daya beli ini disebabkan oleh perlambatan pertumbuhan ekonomi di
Indonesia yang tidak memenuhi target pemerintah? Pertumbuhan ekonomi tahun 2016
yang nilainya sebesar 5,02 persen dan pertumbuhan ekonomi triwulan I 2017 yang
nilainya sebesar 5,01 persen belum mampu meningkatkan pendapatan sehingga
menurunkan tingkat daya beli di masyarakat.
Sedangkan jika melihat
indikator makro seperti tingkat inflasi selama Ramadan dan Idul Fitri yang
nilainya sebesar 0,69 persen maka hal ini masih dalam tataran wajar dan ideal. Demikian
juga dengan nilai tukar rupiah yang stabil, tidak akan berpengaruh banyak terhadap
harga barang konsumsi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penurunan permintaan barang
ritel ini bukan semata karena kenaikan harga barang kebutuhan rumah tangga yang
biasa terjadi pada Ramadan dan Idul Fitri.
Selain itu apabila
melihat kenyataan di lapangan yang menyuguhkan pagelaran kendaraan yang terus
meningkat setiap tahun hingga mengakibatkan kemacetan yang panjang seolah
perlambatan ekonomi yang terjadi tidak berpengaruh terhadap perekonomian di masyarakat.
Apalagi jika menilik penjualan kendaraan baru pada ajang Indonesia
International Motort Show (IIMS) 2017 yang mengalami peningkatan 5,49 persen
jika dibandingkan dengan penjualan tahun 2016.
Meningkatnya jumlah
kendaraan seolah menggambarkan perkembangan kelas ekonomi menengah atas di
Indonesia. Apakah ini berarti bahwa perlambatan pertumbuhan ekonomi ini tidak
berpengaruh terhadap kelas menengah Indonesia? Sehingga perlambatan ekonomi ini
hanya berpengaruh dalam menurunkan tingkat daya beli pada masyarakat kelas
bawah Indonesia saja. Jadi penurunan permintaan barang ritel dari kelas
menengah atas ini bukan karena menurunnya tingkat daya beli, tapi lebih karena
pergeseran pola konsumsi pada kelas menengah atas di Indonesia.
Bagi kelas menengah
keatas momen lebaran bukan lagi saat yang istimewa untuk membeli barang-barang baru
seperti baju, sendal, sepatu, perhiasan ataupun gadget baru. Karena ketika
mereka merasa membutuhkan atau perlu untuk mengganti dengan model yang terbaru
mereka memiliki kemampuan untuk membelinya tanpa harus menunggu momen lebaran. Terlebih
di era penjualan secara daring yang memberikan kemudahan dalam berbelanja.
Sedangkan kebutuhan
kelas menengah atas di Indonesia Indonesia ini lebih kepada mempersiapkan dana
untuk menikmati libur lebaran. Lihatlah betapa hampir semua objek wisata
dipenuhi oleh wisatawan dengan tingkat hunian hotel yang meningkat dan
menjamurnya wisata kuliner di berbagai wilayah Indonesia. Jadi kemungkinan
besar pengeluaran kelas menengah Indonesia dialihkan pada pengeluaran untuk
wisata yang meliputi biaya perjalanan/tarnsportasi, penginapan/akomodasi, dan
makanan (kuliner) dibandingkan dengan belanja barang konsumsi hari raya. Akibat
dari perubahan pola konsumsi kelas menengah yang memiliki tingkat daya beli
lebih tinggi ini mengakibatkan penurunan penjualan pada barang-barang ritel secara
umum di Indonesia.
Pada
kenyataanya kelas menengah di Indonesia ini dalam satu tahun terakhir mengalami
peningkatan pengeluaran sebesar 11,69 persen, lebih tinggi jika dibandingkan
dengan peningkatan pengeluaran masyarakat ekonomi bawah Indonesia yang hanya meningkat
sebesar 3,83 persen. Jadi perubahan pada pengeluaran dan pola konsumsi yang
terjadi pada kelas menengah akan berdampak besar pada perekonomian Indonesia
terutama pada perdagangan ritel/eceran di Indonesia. Terlebih kelas menengah
ini jumlahnya lebih banyak dan terus meningkat setiap tahunnya. Karena kelas
menengah yang memiliki tingkat pendidikan baik lebih mampu memanfaatkan
pertumbuhan ekonomi dan perkembangan teknologi informasi.
Namun
demikian, meski ada penurunan pada penjualan ritel di Indonesia pada lebaran
tahun ini, namun sebagai bentuk keseimbangan akan ada sektor ekonomi lain yang
mengalami peningkatan. Sektor ekonomi lain yang besar kemungkinan mengalami peningkatan
adalah sektor pariwisata, transportasi, jasa, akomodasi dan penyediaan makanan
minuman. Sehingga pertumbuhan ekonomi akan tetap terjaga meskipun terjadi
pergeseran sektor ekonomi.
Dimuat di Harian Radar Banten, 8 Juli 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar