Halaman

Sabtu, 03 Juni 2017

Mengatasi Ketimpangan, Mengentaskan Kemiskinan



Keberhasilan pemerintah dalam memacu pertumbuhan ekonomi sebesar 5,02 persen pada tahun 2016 atau lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun 2015 yang tumbuh sebesar 4,88 persen patut diapresiasi. Meski pertumbuhan ekonomi ini dibawah target pemerintah, namun harus diakui bahwa pertumbuhan ini mampu mengurangi tingkat pengangguran, kemiskinan, dan tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia dalam setahun terakhir. Namun demikian apakah keberhasilan pembangunan ekonomi tersebut dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia?
Pertumbuhan yang terjadi di hampir semua sektor perekonomian pada tahun 2016 mampu menurunkan tingkat pengangguran hingga 10 ribu orang, namun hal ini masih menyisakan sejumlah pengangguran hingga 7,01 juta orang pada kondisi Februari 2017. Demikian juga untuk kemiskinan, meski tingkat kemiskinan mengalami penurunan sebanyak 250 ribu orang, namun masih menyisakan penduduk miskin yang mencapai 27,76 juta orang atau sekitar 10,70 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Artinya dari 100 orang penduduk di Indonesia, terdapat 11 orang penduduk dalam kondisi miskin. Penduduk miskin tersebut tersebar di perkotaan dan perdesaan, dengan jumlah penduduk miskin di perdesaan paling banyak yaitu mencapai 17,28 juta orang dan sisanya berjumlah 10,49 juta orang tersebar di perkotaan.
Sama halnya dengan ketimpangan pengeluaran yang diukur dengan menggunakan gini rasio. Ketimpangan pengeluaran dapat digunakan sebagai pendekatan terhadap ketimpangan pendapatan karena menggambarkan besaran pendapatan yang mampu dibelanjakan oleh penduduk. Pada kondisi September 2016 gini rasio Indonesia sebesar 0,394 atau mengalami penurunan tipis jika dibandingkan dengan kondisi Maret 2016 yang nilainya sebesar 0,397. Meski mengalami penurunan, namun ketimpangan ini masih jauh dari yang ditargetkan oleh Presiden Joko Widodo dalam RPJMN dimana pada tahun 2019 nilai gini rasio sebesar 0,37. Adapun menurut ukuran ketimpangan Bank Dunia, Indonesia masuk ke dalam ketimpangan rendah karena persentase pengeluaran pada kelompok penduduk 40 persen terbawah sebesar 17,11 persen atau sedikit diatas batas minimal persentase pengeluaran 17 persen.
Meski ketimpangan pengeluaran mengalami penurunan, namun untuk kelompok pengeluaran 40 persen terbawah di perkotaan masih tergolong sedang, sedangkan di wilayah perdesaan tergolong ketimpangan rendah. Apabila dilihat dari distribusinya, kelompok 20 persen kelas atas di Indonesia menguasai 46,56 persen pengeluaran, sedangkan kelas menengah Indonesia sebanyak 40 persen menguasai 36,33 persen pengeluaran dan 40 persen kelas bawah Indonesia hanya menyumbang 17,11 persen dari seluruh konsumsi pengeluaran di Indonesia.
Dalam jangka waktu 1 tahun, terjadi peningkatan pengeluaran atau pendapatan dari kelas bawah dan kelas menengah di Indonesia yang lebih cepat jika dibandingkan dengan pengeluaran kelas atas Indonesia. Peningkatan pendapatan kelas menengah sebesar 11,69 persen atau lebih tinggi daripada kelas bawah Indonesia yang naik sebesar 4,56 persen, dan kelas atas Indonesia yang meningkat sebesar 3,83 persen. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang dilakukan dalam setahun terakhir lebih banyak dimanfaatkan oleh kelas menengah Indonesia.
Selain itu pertumbuhan kelas menengah Indonesia juga dibuktikan dengan meningkatnya jumlah penduduk yang membuka usaha baru karena semakin kondusifnya pengembangan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di hampir semua lapangan usaha. Hal ini sejalan dengan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada bulan Agustus 2016 yang terdapat peningkatan jumlah wirausaha baru sebanyak 1,8 juta orang atau 4,77 persen. Kelas menengah Indonesia yang berpendidikan baik dan memiliki keterampilan serta melek teknologi lebih bisa memanfaatkan peluang ekonomi tersebut jika dibandingkan dengan kelas bawah di Indonesia. Terlebih di era digital seperti saat ini, dimana kesempatan dan peluang usaha terbuka luas bagi kalangan yang melek teknologi, tidak terkecuali bagi kelas menengah atas Indonesia.
Berkaca pada hal di atas, maka untuk mengatasi ketimpangan pengeluaran sekaligus pendapatan diperlukan program yang mampu menggerakkan ekonomi terutama kelas bawah Indonesia. Masyarakat kelas bawah ini harus menjadi perhatian utama karena pemerataan pendapatan pada kelompok ini sekaligus dapat mengurangi tingkat kemsikinan di Indonesia. Karena harus diakui bahwa kantong-kantong kemiskinan berada pada 40 persen kelompok pengeluaran paling bawah ini.

Tidak dapat dipungkiri bahwa peningkatan pengeluaran dan pendapatan penduduk kelas bawah ini tidak terlepas dari upaya pemerintah dalam pembangunan infrastruktur padat karya dan beragam skema perlindungan serta bantuan sosial yang dijalankan oleh pemerintah. Namun demikian diperlukan program yang tidak hanya memberikan umpan saja namun juga memberikan kailnya. Program tersebut berupa peningkatan ketrampilan dan pemberian modal usaha, sehingga dalam jangka panjang 40 persen kelas bawah ini mampu menciptakan usaha sendiri yang mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga. Selain itu juga perlu adanya edukasi dan perubahan pola pikir dalam memanfaatkan bantuan menjadi modal usaha, bukan hanya sekedar menghabiskan bantuan untuk kebutuhan konsumtif. Sehingga harapan untuk mengatasi ketimpangan antar kelompok pendapatan tinggi dan pendapatan rendah akan tercapai sekaligus angka kemiskinan di Indonesia dapat ditekan.
Dimuat di harian Bali Post, 2 Juni 2017 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

#139 Kemiskinan Dalam Tekanan Inflasi

Tren penurunan jumlah penduduk miskin pasca pandemi sedikit terganggu dengan lonjakan inflasi yang terjadi pada akhir tahun 2022. Hal ini di...