Keberhasilan
pemerintah dalam memacu
pertumbuhan ekonomi sebesar
5,02 persen pada tahun 2016 atau lebih
tinggi jika dibandingkan dengan tahun 2015 yang tumbuh
sebesar 4,88 persen patut diapresiasi. Meski
pertumbuhan ekonomi ini dibawah target pemerintah, namun harus diakui bahwa
pertumbuhan ini mampu mengurangi tingkat pengangguran,
kemiskinan, dan
tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia dalam setahun terakhir. Namun demikian apakah
keberhasilan pembangunan ekonomi tersebut dinikmati secara merata oleh seluruh
lapisan masyarakat Indonesia?
Pertumbuhan
yang terjadi di hampir semua sektor perekonomian pada tahun 2016 mampu menurunkan
tingkat pengangguran hingga 10
ribu orang,
namun hal ini masih menyisakan
sejumlah pengangguran hingga 7,01 juta orang pada
kondisi Februari 2017. Demikian juga
untuk kemiskinan, meski tingkat kemiskinan mengalami penurunan sebanyak 250
ribu orang, namun masih menyisakan penduduk miskin yang mencapai 27,76 juta
orang atau sekitar 10,70 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Artinya dari
100 orang penduduk di Indonesia, terdapat 11 orang penduduk dalam kondisi miskin.
Penduduk miskin tersebut tersebar di perkotaan dan perdesaan, dengan jumlah
penduduk miskin di perdesaan paling
banyak yaitu mencapai 17,28 juta orang dan sisanya berjumlah 10,49 juta orang
tersebar di perkotaan.
Sama halnya dengan ketimpangan
pengeluaran yang
diukur dengan menggunakan gini rasio. Ketimpangan pengeluaran dapat digunakan sebagai
pendekatan terhadap ketimpangan pendapatan karena menggambarkan besaran
pendapatan yang mampu dibelanjakan oleh penduduk. Pada
kondisi September 2016 gini rasio Indonesia sebesar 0,394 atau mengalami
penurunan tipis jika dibandingkan
dengan kondisi Maret 2016 yang nilainya sebesar 0,397. Meski mengalami
penurunan, namun ketimpangan ini masih jauh dari yang ditargetkan oleh Presiden Joko Widodo dalam RPJMN dimana pada tahun 2019 nilai gini rasio sebesar
0,37. Adapun menurut ukuran
ketimpangan Bank
Dunia, Indonesia masuk ke dalam ketimpangan rendah karena persentase
pengeluaran pada kelompok
penduduk 40 persen terbawah sebesar 17,11
persen atau sedikit diatas
batas minimal persentase pengeluaran 17
persen.
Meski
ketimpangan pengeluaran mengalami penurunan, namun untuk kelompok pengeluaran
40 persen terbawah di perkotaan masih
tergolong
sedang, sedangkan di wilayah perdesaan tergolong ketimpangan rendah. Apabila dilihat dari
distribusinya, kelompok 20 persen kelas
atas di Indonesia menguasai 46,56 persen pengeluaran,
sedangkan kelas menengah Indonesia sebanyak 40 persen menguasai 36,33 persen
pengeluaran dan 40 persen kelas bawah Indonesia hanya menyumbang 17,11 persen
dari seluruh konsumsi pengeluaran di Indonesia.
Dalam
jangka waktu 1 tahun, terjadi peningkatan pengeluaran atau pendapatan dari
kelas bawah dan kelas menengah di Indonesia yang lebih cepat jika dibandingkan
dengan pengeluaran kelas atas
Indonesia. Peningkatan pendapatan kelas menengah sebesar 11,69 persen atau
lebih tinggi daripada kelas bawah Indonesia yang naik sebesar 4,56 persen, dan
kelas atas Indonesia yang meningkat
sebesar 3,83 persen. Hal ini berarti
bahwa pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang
dilakukan dalam setahun terakhir lebih banyak dimanfaatkan oleh kelas
menengah Indonesia.
Selain itu pertumbuhan kelas menengah Indonesia juga
dibuktikan dengan meningkatnya jumlah penduduk yang
membuka usaha baru karena semakin kondusifnya pengembangan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di hampir semua lapangan usaha.
Hal ini sejalan dengan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional
(Sakernas) pada bulan Agustus 2016 yang terdapat peningkatan jumlah wirausaha
baru sebanyak 1,8 juta orang atau 4,77 persen. Kelas
menengah Indonesia yang berpendidikan baik
dan
memiliki keterampilan serta melek
teknologi lebih bisa memanfaatkan peluang ekonomi tersebut jika
dibandingkan dengan kelas bawah di Indonesia. Terlebih di era digital seperti saat ini, dimana kesempatan dan peluang
usaha terbuka luas bagi kalangan yang melek teknologi, tidak terkecuali bagi
kelas menengah atas Indonesia.
Berkaca
pada hal di atas, maka untuk mengatasi ketimpangan pengeluaran sekaligus
pendapatan diperlukan program yang mampu menggerakkan ekonomi terutama kelas bawah Indonesia.
Masyarakat kelas bawah ini harus menjadi perhatian
utama karena pemerataan pendapatan pada kelompok ini sekaligus dapat mengurangi
tingkat kemsikinan di Indonesia. Karena harus diakui bahwa kantong-kantong
kemiskinan berada pada 40 persen kelompok pengeluaran paling bawah ini.
Tidak dapat dipungkiri
bahwa peningkatan pengeluaran dan pendapatan penduduk kelas
bawah ini tidak terlepas dari upaya
pemerintah dalam pembangunan infrastruktur padat karya dan beragam skema
perlindungan serta bantuan sosial yang dijalankan oleh pemerintah. Namun
demikian diperlukan program yang tidak hanya memberikan umpan saja namun juga
memberikan kailnya. Program tersebut berupa peningkatan
ketrampilan dan pemberian modal
usaha, sehingga dalam jangka panjang 40
persen kelas bawah ini mampu menciptakan usaha sendiri
yang mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga. Selain itu juga perlu adanya edukasi
dan perubahan pola pikir dalam memanfaatkan bantuan menjadi modal usaha, bukan
hanya sekedar menghabiskan bantuan untuk kebutuhan konsumtif. Sehingga harapan untuk mengatasi ketimpangan antar
kelompok pendapatan tinggi dan pendapatan rendah akan tercapai sekaligus angka
kemiskinan di Indonesia dapat ditekan.
Dimuat di harian Bali Post, 2 Juni 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar